Capitol merupakan sebuah gedung, terletak di Jl. Ahmad Yani. Dari zaman kolonial hingga awal tahun 90-an, warga Sukabumi menyebut jalan ini: Jalan Raya.
Capitol adalah pusat pertokoan. Kecuali ada pertokoan, sampai awal tahun 2000, di gedung ini terdapat juga sebuah bioskop. Pada tahun 1990-an, di bioskop ini sering diputar film-film Mandarin.
Bahkan saat dunia sineas Indonesia kehilangan ide-ide perfilm-an, di bioskop Capitol sering diputar film-film 'beradegan ranjang". Hal tersebut semakin menambah stigma negatif dari masyarakat Sukabumi terhadapnya. Di kampung-kampung sering terdengar nada sarkastik berbau sinisme: capitol merupakan pusat mangkal para WTS murahan.
Meskipun dibenci dan dicap sebagai sebuah gedung bersifat antagonis busuk, saat-saat tertentu - seperti bulan Puasa - gedung ini disesaki oleh para pengunjung.
Dari tahun 1980 - 1995, arena permainan anak-anak - sebanding Time Zone saat ini - menjadi tujuan utama para orangtua untuk menghibur anak-anak mereka. Juga, banyak anak-anak dari pelosok dan daerah-daerah pinggiran berdatangan sekadar untuk melihat-lihat saja wahana permainan anak.
Capitol bukan hanya sebatas bangunan megah yang telah berdiri sejak zaman kolonial, selama hampir 60 tahun, gedung yang didirikan di sebelah Timur alun-alun Kota Sukabumi ini merupakan simbol kekuatan ' kaum urban'.
Sesuai maknanya, Capitol berarti: pusat keriuhan, keramaian, pusat kota dimana telah menjadi tujuan orang-orang Sukabumi di hari-hari tertentu. Sebuah pesona betapa gigihnya kapitalisme merayu siapapun agar menyentuhnya. Seorang anak di tahun 80-an akan merasa bangga mengatakan: "Aku tadi ke Capitol!" Saat pulang dari pusat kota.
Namun tetap saja, kapitalisme lama akan semakin usang dan dimakan sejarah. Kemudian melahirkan kapitalisme baru. Untuk memikat orang-orang ketika kehidupan semakin maju, gedung sebesar Capitol sudah tidak bisa lagi dijadikan umpan efektif membujuk rayu manusia modern.
Di paruh dekade 90-an telah dibangun berbagai pusat perbelanjaan besar dalam bingkai 'mega-mall'. Capitol sebagai simbol kapitalisme tua semakin rapuh, digantikan oleh simbol-simbol yang lebih segar. Gedung-gedung raksasa baru tersebut tidak hanya menawarkan hiburan, namun menawarkan hal lebih besar dari itu: sebuah transaksi pasar bebas; pengunjung bebas melihat, memilih, memegang, dan memutuskan.
Memang, gedung Capitol masih berdiri sampai saat ini dengan sendi-sendi rapuh, dia telah berjalan menyusuri waktu. Di masa tuanya harus bersaing dengan gedung-gedung baru dan segar. Ya, sebenarnya Capitol sendiri telah runtuh tergantikan oleh 'Supermall, Ramayana, Giant, bahkan oleh simbol kecil kapitalisme seperti Alfamart dan Indomaret.
Kang Warsa
Sent from my BlackBerry®
Capitol adalah pusat pertokoan. Kecuali ada pertokoan, sampai awal tahun 2000, di gedung ini terdapat juga sebuah bioskop. Pada tahun 1990-an, di bioskop ini sering diputar film-film Mandarin.
Bahkan saat dunia sineas Indonesia kehilangan ide-ide perfilm-an, di bioskop Capitol sering diputar film-film 'beradegan ranjang". Hal tersebut semakin menambah stigma negatif dari masyarakat Sukabumi terhadapnya. Di kampung-kampung sering terdengar nada sarkastik berbau sinisme: capitol merupakan pusat mangkal para WTS murahan.
Meskipun dibenci dan dicap sebagai sebuah gedung bersifat antagonis busuk, saat-saat tertentu - seperti bulan Puasa - gedung ini disesaki oleh para pengunjung.
Dari tahun 1980 - 1995, arena permainan anak-anak - sebanding Time Zone saat ini - menjadi tujuan utama para orangtua untuk menghibur anak-anak mereka. Juga, banyak anak-anak dari pelosok dan daerah-daerah pinggiran berdatangan sekadar untuk melihat-lihat saja wahana permainan anak.
Capitol bukan hanya sebatas bangunan megah yang telah berdiri sejak zaman kolonial, selama hampir 60 tahun, gedung yang didirikan di sebelah Timur alun-alun Kota Sukabumi ini merupakan simbol kekuatan ' kaum urban'.
Sesuai maknanya, Capitol berarti: pusat keriuhan, keramaian, pusat kota dimana telah menjadi tujuan orang-orang Sukabumi di hari-hari tertentu. Sebuah pesona betapa gigihnya kapitalisme merayu siapapun agar menyentuhnya. Seorang anak di tahun 80-an akan merasa bangga mengatakan: "Aku tadi ke Capitol!" Saat pulang dari pusat kota.
Namun tetap saja, kapitalisme lama akan semakin usang dan dimakan sejarah. Kemudian melahirkan kapitalisme baru. Untuk memikat orang-orang ketika kehidupan semakin maju, gedung sebesar Capitol sudah tidak bisa lagi dijadikan umpan efektif membujuk rayu manusia modern.
Di paruh dekade 90-an telah dibangun berbagai pusat perbelanjaan besar dalam bingkai 'mega-mall'. Capitol sebagai simbol kapitalisme tua semakin rapuh, digantikan oleh simbol-simbol yang lebih segar. Gedung-gedung raksasa baru tersebut tidak hanya menawarkan hiburan, namun menawarkan hal lebih besar dari itu: sebuah transaksi pasar bebas; pengunjung bebas melihat, memilih, memegang, dan memutuskan.
Memang, gedung Capitol masih berdiri sampai saat ini dengan sendi-sendi rapuh, dia telah berjalan menyusuri waktu. Di masa tuanya harus bersaing dengan gedung-gedung baru dan segar. Ya, sebenarnya Capitol sendiri telah runtuh tergantikan oleh 'Supermall, Ramayana, Giant, bahkan oleh simbol kecil kapitalisme seperti Alfamart dan Indomaret.
Kang Warsa
Sent from my BlackBerry®
Posting Komentar untuk "Capitol"