Refleksi Pilpres 2014: Perang Badar dan Suksesi Tahta Jawa Jilid II

Pemilihan Presiden tahun 2014 ini diwarnai dengan berbagai analogi terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu. Amien Rais menyebutkan Pilpres identik dengan "Perang Badar", pertempuran antara Kaum Muslimin dengan Kaum Quraisy di sebuah tempat bernama Badar. Amien menyebut pilpres sebagai kancah pertempuran di Badar tentu dengan alasan, Pilpres diselenggarakan pada Bulan Romadlon.

Beberapa pengamat menyayangkan, analogi Amien Rais ini terlalu kasar jika menyebut pemilihan sebagai sebuah perang, pertempuran, dan perseteruan. Meskipun, pada dasarnya masa-masa sebelum pilpres sendiri terlihat dipenuhi oleh kehura-huraan umpatan, hasudan, perang pemikiran, dan saling klaim paling benar. Secara kontekstual, maka pendapat Amien Rais ini bisa dikatakan mendekati hal yang benar.

Analogi Amien disitir oleh Arbi Sanit sebagai ketidak-tepatan dalam menganalogikan satu hal terhadap hal lain; antara agama dan persoalan murni politik. Hal ini jika dicerna oleh masyarakat umum akan menimbulkan berbagai penafsiran; dalam perang –baik itu Holy War atau pun perang atas nama Negara- cara apa pun dihalalkan. Penganalogian Amien, pilpres terhadap perang badar dikhawatirkan akan mengarahkan siapa pun yang tergabung di dalam penyelenggaraan pilpres ini jatuh ke dalam kubangan "Terrorisme of Politics", politik yang dilandasi oleh pemikiran kekerasan.

Lebih jauh, derivasi  Amien terhadap analogi ini lebih menjurus terhadap aspek kejiwaan, Perang Badar identik dengan keikhlasan, kemenangan yang diraih dengan niat tulus dalam membela keyakinan. Namun pada sisi lain, Amien membenturkan analogi Perang Badar sebagai bentuk keikhlasan dengan Perang Uhud yang identik dengan kekuasaan, harta rampasan perang. Fakta Sejarah menyebut, kemenangan dalam perang Badar dan kekalahan dalam perang Uhud, meski pun pada perang Uhud ini pada akhirnya pasukan Muslimin mendapatkan kemenangan.
Amien hendak mendekatkan konteks keagamaan dengan politik namun dengan lokasi dan kejadian yang lebih jauh. Bagi kelompok penganut logosentrisme penganalogian ini akan tepat, akan tetapi bagi para pemegang teguh politik praktis murni, penganalogian ini dirasakan cukup mengusik.

Kosmologi Jawa, Sunda, bahkan dalam berbagai peradaban dunia, kehadiran seorang "Satria Piningit" merupakan bentuk idealis dan harapan sebagian besar kelompok. Mayoritas manusia merindukan kehadiran sosok "Satria Piningit". Ini merupakan simbol, dalam kosmologi Jawa dan Sunda tertera dalam dua naskah kuno, Ronggowarsito Jayabaya dan Uga Wangsit Siliwangi. Jayabaya menyebut "Satria Piningit", dalam Uga Wangsit Siliwangi disebut " Budak Angon", dalam tradisi semitik disebut "Imam Mahdi atau Mesiah".

Tiga penyebutan ini secara substansi memiliki akar kesamaan makna. Satria Piningit merupakan orang yang mendapatkan wahyu cakraningrat, dipingit oleh kekuatan relijius. Budak Angon merupakan manusia yang akan memiliki pola asuh, secara langsung karena telah diasuh sebelumnya secara benar. Mesiah secara harfiah adalah seorang pejalan. Masing-masing tim pemenangan berusaha meraih simpati pemilih dengan melakukan pendekatan ke dalam kajian paralogis ini, lebih kasar berani menyentuh hal-hal klenik.

Pembusukan dalam proses pemilihan presiden tahun ini mengarah kepada cara mengolah kebohongan menjadi kebenaran. Klaim terhadap leluhur masing-masing calon masih menjadi primadona. Meskipun, jika ditarik dengan silsilah kekuarga antara Prabowo dengan Jokowi sebetulnya masih memiliki garis keturunan kepada Raja dan Patih Mataram.

Melalui pendekatan sejarah, kondisi Mataram di era kepemimpinan Pakubuwono II memang diwarnai oleh meningkatnya suhu politik. Perseteruan antara Pakubowono II dengan sang patih Cakrajaya terlihat begitu mencolok. Persaingan kekuasaan antara dua kelompok, Ratu Amangkurat yang memiliki kedekatan dengan VOC harus berhadapan dengan Cakrajaya seorang patih anti VOC. Keramaian politik seperti perang tanding ini mewarnai Suksesi Tahta Jawa Ke-dua.

Secara tidak langsung, Pakubuwono II karena masih memiliki kedekatan dengan Amangkurat lebih memilih melakukan kolabirasi dengan VOC. Keruntuhan Kesultanan Surakarta disebabkan oleh hubungan baik antara Pakubuwono II dengan VOC, penyesalan Pakubuwono II karena telah membantu peristiwa "Geger Pecinan", pemberontakan etnis Tionghoa terhadap VOC mengharuskannya mendekati kembali VOC demi alasan kekuasaan. Politik memang didasari oleh "kepentingan". Langkah Pakubuwono II , sebagai syarat mutlak dari VOC adalah harus mengusir Patih Natakusuma dari Kartasura, pengusiran ini berbuah pemberontakan besar-besaran oleh kelompok anti VOC. Surakarta ambruk, kekuasaan semakin bobrok, pada akhirnya Pakubuwono II memberikan kekuasaan secara penuh kepada Von Hodendroff, seorang VOC yang menjabat sebagai Gubernur di bagian Jawa Timur Laut.

Kesepakatan-kesepakatan seperti ini, kompromi politik demi meraih dan mengamankan kekuasaan kelompok pada dasarnya akan kembali diambil alih oleh orang lain, VOC sebagai kongsi perdagangan Belanda namun memiliki akses politik penuh dalam menguasai sebuah wilayah.

Demi melihat fakta sejarah di atas, penganalogian Amien Rais, Pilpres terhadap Perang Badar sebetulnya terlalu premature. Sebab, suhu politik Timur Tengah dengan Wilayah Jawa begitu berbeda. Suhu Politik Timur Tengah (Arab) tidak terlalu dipenuhi oleh kolaborasi dan kompromi-kompromi politik bertele-tele, kecuali bersifat lugas antara A dan B. Sementara di dalam suksesi Tahta Jawa, segalanya bisa saja terjadi, akal bulus dan kelicikan pun dianggap wajar. (*)

KANG WARSA

Posting Komentar untuk "Refleksi Pilpres 2014: Perang Badar dan Suksesi Tahta Jawa Jilid II"