Beban Ganda Malnutrisi bagi Indonesia

PESAN UTAMA

  • Di Indonesia, 37,2% balita bertubuh pendek (stunting) dan kesadaran masyarakat akan hal ini masih rendah.
  • Stunting bisa mengurangi produktivitas seseorang pada usia muda, kemudian meningkatkan risiko terkena penyakit tidak menular saat tua – ini adalah beban ganda malnutrisi.
  • Sebuah studi menunjukkan bahwa beban ganda malnutrisi di Indonesia semakin mengkhawatirkan.
  • Banyak hasil pembangunan yang telah dicapai oleh Indonesia. Menurunnya tingkat kematian balita – dari 85 tiap 100 kelahiran pada tahun 1990, menjadi 31 pada 2012 – adalah salah satunya.
  • Namun, masalah stunting, atau tubuh pendek, masih menjadi masalah besar.

Banyak masyarakat Indonesia belum menyadari besarnya masalah ini. Umumnya, Indonesia lebih memperhatikan berat badan kurang untuk menentukan kondisi gizi. Tetapi, bila menggunakan ukuran ini saja, masalah gizi akan nampak sudah teratasi karena tingkat berat badan sangat kurang hanya 5,4% dari seluruh balita di Indonesia.

Faktanya, 8,4 juta balita, atau 37,2%, dari seluruh balita terkena stunting dan perlu mendapat perhatian lebih karena akan berdampak panjang dalam hidup seseorang. Antara tahun 2010 hinga 2013 kasus stunting naik dari 35,6% menjadi 37,2%.

“Salah satu tantangan mengatasi stunting di Indonesia adalah tubuh pendek sering dianggap wajar karena faktor keturunan,” kata Prof. Dr. Endang Achadi, pakar gizi dari Universitas Indonesia.

“Masalah sebenarnya bukan tubuh pendek,” tambahnya. “Tetapi kalau seseorang terkena stunting, proses-proses lain di dalam tubuh juga terhambat, seperti pertumbuhan otak yang berdampak pada kecerdasan.”

Dampak panjang beban ganda malnutrisi

Kekurangan gizi pada anak-anak bisa mulai terjadi pada tahap sangat awal dalam hidup. Saat seorang anak menerima asupan gizi yang kurang baik saat masih dalam kandungan, tubuhnya akan “terprogram” agar bisa bertahan hidup dalam kondisi gizi yang kurang. Akibat “pemrograman” ini, apabila kelak ia hidup dalam lingkungan dengan asupan gizi yang mudah diperoleh, tubuh mereka akan sangat rentan terhadap obesitas sehingga mudah terkena penyakit tidak menular seperti diabetes dan jantung.

  • Stunting adalah tanda kurang gizi kronis, dan dampak paling merugikan adalah terhadap perkembangan otak: 
  • Stunting mengurangi IQ sebesar 5-11 poin
  • Nilai sekolah anak-anak jadi lebih rendah
  • Anak-anak yang lahir dengan berat badan kurang punya peluang 2,6 kali lebih kecil untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi
  • Pemasukan anak-anak dengan stunting 10 persen lebih rendah.

Saat anak terkena stunting, produktivitas mereka akan berkurang saat usia muda – capaian pendidikan lebih rendah menghasilkan pekerjaan dengan pemasukan lebih kecil. Bila diiukti dengan kenaikan berat badan tinggi saat tua, mereka akan berisiko terkena obesitas dan penyakit lain yang terkait pola makan. Ini adalah beban ganda malnutrisi.

Penyebab beban ganda malnutrisi di Indonesia

  • Ada banyak penyebab beban ganda malnutrisi. Sebuah studi Bank Dunia menyoroti empat faktor utama di Indonesia:
  • Meningkatknya usia harapan hidup berkontribusi terhadap perubahan pola penyakit dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular.
  • Naiknya kekayaan nasional disertai naiknya ketersediaan makanan membuat konsumsi lemak per kapita naik dua kali lipat. Makanan olahan juga dikonsumsi dengan tingkat yang lebih tinggi, khususnya di wilayah perkotaan.
  • Banyak kota tidak ramah bagi pejalan kaki sehingga tidak mendukung aktivitas fisik, selain itu tempat-tempat yang menyediakan makanan sehat terbatas. Mereka yang bekerja dan sekolah tidak punya banyak pilihan selain makanan siap saji di luar rumah.
  • Budaya dan tradisi mempengaruhi gizi ibu hamil dan anak-anak, serta norma sosial membuat perempuan menikah saat masih muda. Faktor-faktor ini berkontribusi terhadap naiknya kasus kelahiran dengan berat badan kurang.

Dampak dari segi ekonomi

Dampak beban ganda malnutrisi tidak hanya dirasakan individu. Ekonomi juga terkena dampaknya; kerugian akibat stunting dan malnutrisi diperkirakan setara dengan 2-3% PDB Indonesia.

“Semakin banyak kasus penyakit tidak menular di Indonesia telah mengakibatkan naiknya pengeluaran bagi pemerintah, khususnya untuk jaminan kesehatan nasional,” kata Doddy Izwardy, Direktur Nutrisi di Kementerian Kesehatan. “Biaya tertinggi jaminan kesehatan nasional adalah untuk perawatan stroke, diabetes dan gagal ginjal.”

Penyakit tidak menular kini menjadi penyebab 60% kematian. Beban ganda malnutrisi jelas menjadi masalah bagi Indonesia dan memerlukan perhatian lebih.

Beban ganda malnutrisi juga akan menghambat potensi dari transisi demografis Indonesia, dimana rasio penduduk usia tidak bekerja terhadap penduduk usia kerja akan menurun.

“Yang seharusnya menjadi bonus demografi bisa menjadi beban demografi,” kata Prof. Soekirman, Direktur Yayasan Kegizian untuk Pengembangan Fortifikasi Pangan Indonesia.

Menurut Prof. Endang Achadi: “Agar bisa melibatkan kerjasama berbagai pihak, stunting perlu dikaitkan dengan kecerdasan rendah dan penyakit kronis, agar kita bisa meningkatkan mutu bangsa kami.”

Sumber: Laporan triwulan Bank Dunia

Posting Komentar untuk "Beban Ganda Malnutrisi bagi Indonesia"