Masalah sebenarnya, ketika kita bercermin lantas muncul sosok mahluk paling menakutkan bukan terletak hanya dari cermin kotor, belah, dan rusak. Juga dari diri kita sendiri. Namun, kapasitas, kualitas, dan ukuran kecantikan serta ketampanan seseorang bukan barang yang dipesan. Karena tidak dipesan, maka ini tidak terlepas dari sebuah obyektifitas. Sudah tentu, subyektifitas harus dilepas, dan Melepas subyektifitas inilah yang sulit. Cara pandang kita terhadap persoalan dan masalah (padahal bukan masalah, kecuali permainan yang dibuat oleh sebuah kelompok) telah menjebak diri kita kepada subyektifitas. Benar dan salah tidak ditempatkan pada posisi yang seharusnya, bukan ukuran jika benar itu adalah benar, dan salah itu adalah salah, melainkan adanya desakan dari diri kita, seorang Subyek. Bukan mengamati obyek yang sedang diamati.
Jarang sekali dari sekian ratus ribu juta di antara kita mengerti bahwa permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa ini adalah sebuah permainan, permainan yang menyeret diri kita ke dalam arus saling himpit, mendahului sesama, berdesak-desakan. Demonstrasi yang dilakukan hakikatnya tidak perlu disertai bakar-bakaran ban, penghancuran sebuah gedung, apalagi penembakan. Namun, disana ada desakan dan keterdesakan, ada hak-hak yang direnggut. Adanya proses saling salah menyalahkan. Sementara yang disalahkan tidak merasa salah, karena terdesak oleh subyektifitas diri, mempertahankan kebenaran, pembelaan terhadap apa yang telah diucapkan sebelumnya, tentang aturan.
Kita pernah bahkan sering menyalahkan, ambruknya struktur negara ini, morat-maritnya kehidupan, dan rusaknya tatanan moral adalah kesalahan dari para pemimpin negara ini, tidak bisa mengartikulasikan antara hukum yang dibuat dengan kehidupan sebenarnya. Ini berujung pada, mandulnya hukum, tajamnya hukum kepada kelompok-kelompok marjinal. Maka di sana ada keterdesakan untuk meminta bentuk pertangungjawaban kepada para pemimpin negeri ini, agar kesalahan mereka diubah. Sementara, para pemimpin menyalahkan, karena rakyat yang dipimpinnya lah yang tidak mengerti keadaan yang sebenarnya. Semakin rumit, karena di sana ada proses saling salah menyalahkan.
Namun pada saat yang sama, kerumitan seperti ini dimanfaatkan juga oleh mereka yang sejatinya benar-benar salah. Mereka bersembunyi di balik tirai: jangan saling salah menyalahkan, ini adalah saatnya bekerja… bekerja… dan bekerja. Saling salah menyalahkan bukan solusi yang tepat untuk keluar dari masalah. Nah, sebetulnya ada baiknya ini dicerna dengan jernih. Patokan benar dan salah memang telah ada, baik secara kebiasaan, adat, ataupun hukum tertulis. Maka, tidak benar jika pelanggaran terhadap kebiasaan yang ada dianggap benar dan harus dilindungi, harus ada aturan dan hukuman yang ditegakkan di sana. Kembali, kadang aturan dan hukuman yang ditegakkan pun tidak terlepas dari sisi-sisi subyektifitas. Dengan mudah hukuman bisa menjadi kendur ketika berhadapan dengan siapa yang dihukum.
Pandangan , penglihatan menjadi suram, bias, maka semakin runyam dan rumitlah kehidupan ini. Benar sekali, kehidupan ini tidak sesederhana apa yang sering diucapkan oleh para motivator itu. Antara harapan dan kenyataan memang tidak selalu berbanding lurus. Intinya, kehidupan ini harus selaras antara apa yang diharap dengan sikap-sikap kita. Saya, bisa menjadi manusia paling celaka, ketika… apa yang sering saya tulis sama sekali tidak mencerminkan kehidupan saya sebenarnya. Ini adalah kemunafikan. Penegakan hukuman bagi pelaku kejahatan besar sama dengan pelaku kejahatan kecil bahkan lebih berat pelaku kejahatan kecil merupakan kemunafikan dari penegakan hukum. Banyak basa-basinya para politikus dalam berdalih adalah bukti dari kemunafikan politik. Berbedanya antara apa yang ditulis dibaligo-baligo yang dipenuhi aneka gambar kesuksesan dan kesejahteraan rakyat dengan kenyataan sebenarnya adalah bukti kemunafikan negara.
Obyektifitas dalam menilai sesuatu adalah dengan melihat sebenarnya obyek tersebut. Seperti kata Rasulullah, Jika saja Fatimah Binti Muhammad terbukti mencuri, maka tidak segan-segan Aku akan memotong tangannya.Inilah obyektifitas, tidak melihat pelaku, siapa orangnya, namun dilihat apa yang dilakukan oleh orang tersebut. Ketika nilai-nilai ini telah tercerabut dari kehidupan kita, maka jangan heran… masalah, permainan, dan saling salah menyalahkan akan tetap menjadi warna cerah dalam kehidupan bangsa ini. Membakar mobil ketika demonstrasi akan tetap dilakukan oleh para pendemo, walaupun mereka tahu, bahwa perbuatan seperti itu sama sekali tidak dibenarkan. Seperti kata salah seorang ulama salaf: Kita tahu, kita memusuhi kesalahan, namun sikap kita sering terlihat bermesraan dengan kesalahan tersebut.
Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya dengan jaringan Indosat.
Posting Komentar untuk "Takarannya Subyektifitas"