Hukuman Mati

Beberapa WNI, sejak tahun 1980-an, telah dieksekusi hukuman mati dengan cara dipancung di Arab Saudi. Stigma yang muncul sejak saat itu, seolah tidak ada loby sama sekali dari pemerintah Indonesia kepada pemerintah Saudi Arabia untuk menghentikan eksekusi hukuman mati, dengan kata lain “ seolah kecil sekali ‘itikad baik dari pemerintah Negara ini untuk menyelamatkan warga negaranya.” Bahkan, senjata paling ampuh yang biasa digunakan oleh para pegiat hak asasi manusia pun terlihat tumpul, biasanya jika ada hukuman mati para pegiat se-antero dunia menyerukan: ini bertentangan dengan HAM.

Secara umum, jika digeneralisasi, sebenarnya tidak ada hukuman - dalam bentuk apa pun - sesuai dengan nilai kemanusiaan, baik dengan cara dipenjara, dikerangkeng dalam jeruji besi, apalagi sampai dipancung dan dibunuh. Semua terlihat berlawanan dengan hak dan nilai kemanusiaan. Yang harus dipikir ulang oleh para penegak hukum di dunia ini adalah memberikan hukuman kepada pelaku kejahahatan bukan dengan cara melenyapkan manusia atau nilai kemanusiannya, kecuali membunuh kejahatan yang telah dilakukan oleh para pelaku kejahatan. Ada alasan, dengan cara dihukum akan menimbulkan efek jera dan membuat orang lain harus berpikir ulang untuk berlaku jahat. Namun masalah kriminalitas sama sekali tidak dibatasi oleh pikiran, dipengaruhi oleh berbagai hal dan faktor, baik dari dalam diri pelaku kejahatan juga kesempatan dan keadaan yang memengaruhinya. Orang baik pun pernah berlaku jahat, hanya beda tingkatan saja.

Setiap Negara memiliki kedaulatan masing-masing untuk menentukan dan menegakkan hukum apa yang harus diberlakukan di negaranya. Pada dasarnya, hukum dan penegakkannya dilatar belakangi oleh konsensus umum, kesepakatan, dan nilai yang berlalu di Negara bersangkutan. Negara A tidak bisa mencampuri urusan penegakkan hukum Negara B, sebab Negara sendiri telah dibatasi oleh kedaulatan masing-masing. Hanya saja, kecuali adanya hukum yang berlaku di masing-masing Negara, Negara di dunia ini pun telah mengakui baik secara de jure atau pun de facto adanya hukum dan aturan internasional sebagai sebuah kesepakatan. Celah ini, bisa dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia melakukan ‘loby’ kepada pemerintah Negara mana pun untuk menghentikan hukuman mati yang dijatuhkan kepada para WNI.

Tidak heran, pemerintah Australia melakukan cara apa pun, membujuk pemerintah Indonesia agar menghentikan eksekusi mati terhadap dua orang warga negaranya. Negara memiliki peran – membela dengan cara apa pun – warga Negara. Saat loby sulit dilakukan, maka pemerintah Australia meneror sisi psikologi pemerintah Indonesia dengan menyebut bantuan yang telah diberikan oleh Negara tersebut saat terjadi bencana tsunami di Aceh. Ini terjadi, efek yang ditimbulkannya adalah agar gaung hukuman mati yang telah dan akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia terdengar ke seantero dunia. Memunculkan deviasi wacana, menimbulkan pro dan kontra pemikiran baik di luar mau pun di dalam negeri, dan pada akhirnya melahirkan kebimbangan dalam diri pemerintah Indonesia untuk melakukan eksekusi hukuman mati kepada dua orang gembong narkoba tersebut.

Terhadap kejahatan sendiri, Negara apalagi agama apa pun telah menyatakan perlawanan dan melakukan tindakan-tindakan pencegahan daripada tekanan. Agama telah memberikan batasan yang jelas, setiap kejahatan merupakan dosa , pelaku dosa akan memetik hasil perbuatannya baik di dunia ini atau pun di akhirat kelak. Namun, kenapa kejahatan semakin timbul dengan varian-varian baru? Karena akar persoalan dari tindak kejahatan tersebut jarang tersentuh baik oleh Negara juga agama. Yang lahir adalah sikap-sikap refresif setelah kejahatan terjadi. Karena sampai saat ini manusia secanggih apa pun belum menemukan alat ukur mental manusia lain, maka harus ditemukan upaya-upaya baru dalam memupuk mental manusia agar tetap pada fitrahnya. Semua manusia – pada dasarnya - memiliki mental baik, kejahatan dipengaruhi oleh mental kurang baik, mental kurang baik dipengaruhi oleh keadaan. Kejahatan jarang terjadi dilakukan oleh orang-orang di Negara Skandinavia dan New Zealand karena dua wilayah tersebut telah mapan secara ekonomi ataupun pemikirannya. Lahirnya gembong narkoba, begal motor, perjudian, korupsi, dan kejahatan-kejahatan lain pada dasarnya dipengaruhi oleh “ketidak mampuan manusia dalam memenuhi kebutuhan dasar” dalam hidup ini. Ketidak mampuan ini berbanding lurus dengan regulasi pemerintah dan penanaman budaya di dalam masyarakat. Pemerintah buruk sudah dipastikan akan melahirkan warga Negara buruk juga. Kebijakan pemerintah yang memiskinkan dan memandulkan warga Negaranya akan melahirkan warga Negara haus, serakah, dan mudah mencaci maki apa yang mereka lihat.

Hukuman Mati Berasal dari Tuhan?

Banyak manusia mengira bahwa hukuman mati yang tertulis dalam kitab suci merupakan perintah dari Tuhan. Sebenarnya, hukuman mati merupakan konsensus dan kesepakatan dalam kehidupan manusia. Hukuman pancung telah dilakukan oleh Hammurabi dan bangsa Babilonia. Kesepakatan untuk memancung, membalas, dan membunuh para pembunuh ini lahir karena ketidak mampuan Negara dalam mengelola warga negaranya. Pengelolaan sumber daya alam strategis tidak bisa terdistribusikan dengan baik, warga Negara berlaku jahat, mencuri, membunuh, sementara untuk menghentikan hal tersebut pemerintah dengan begitu sederhana mengambil jalan pintas; bunuh setiap pelaku kejahatan; mata dibalas mata, hidung dibalas hidung, telinga dengan telinga. Eksekusi dilakukan di muka umum agar menimbulkan rasa takut, agar warga Negara tidak membangkang terhadap pemerintah, meskipun hidup mereka dibalut ketidak cukupan.

Penegakkan hukum seperti di atas memang memiliki maksud agar tercipta ketertiban sosial, namun ketidak ajegan cara berpikir manusia sering mengklaim jika hukuman mati seperti itu merupakan perintah Tuhan. Itulah kecerdikan manusia dalam menakut-nakuti manusia lain dengan paradigma ke-Tuhanan. Secara harfiah, Tuhan sama sekali tidak akan memerintahkan keburukan, saling membunuh, jahat, curang, tipuan, kemunafikan. Hanya kebaikan yang akan diberikan oleh Tuhan kepada manusia.

Tapi fakta dan realita, seolah kejahatan ini tetap ada, kenapa Tuhan membiarkannya? Yang harus dipikir oleh manusia adalah konsepsi aturan yang telah diturunkan oleh Tuhan di alam semesta ini. Kejahatan timbul sebagai akibat. Kausalitas yang terjadi di dunia ini merupakan sistim yang telah diciptakan oleh Tuhan. Persoalan-persoalan kehidupan harus diselesaikan mengikuti hukum sebab akibat ini. Jika pemerintah bersikap baik, bisa mendistribusikan hasil sumber daya strategis kepada warga Negara secara adil, jika regulasi pemerintah ini berpihak pada kesejahteraan seluruh warga Negara, maka akibat yang akan terjadi adalah kebaikan akan mewarnai kehidupan ini. Selama hal tersebut masih sulit dilakukan, maka tetap saja kejahatan, hukuman mati, atau apa pun akan tetap mewarnai kehidupan. Sebagai alternatif dan jalan pintas, dengan mudah manusia akan menuding dan membawa-bawa inilah hukum Tuhan yang seadil-adilnya. Jika nama Tuhan telah dimasukkan ke dalam aturan siapa bisa melarang? Orang Atheis pun ketika diikat tangan dan kakinya kemudian dieksekusi mati dengan mengatasnamakan Tuhan, dia akan berkata: Tuhan, kenapa kamu biarkan aku seperti ini?

Lho, tapi kenapa banyak orang yang kita lihat serba cukup, mobil mewah, rumah megah, tetap saja melakukan kejahatan seperti korupsi? Bukankah kebutuhan-kebutuhan dasar hidupnya telah terpenuhi? Justru mereka belum menemukan kebutuhan dasar hidup: kepuasan lahir bathin. Dan itulah uniknya manusia, selalu merasa tidak pernah cukup dengan anugerah dari Tuhan. Bila perlu, Tuhan pun dijadikan senjata untuk mencapai tujuan. Dan Saya yakin, mereka melakukan korupsi pun dipengaruhi oleh banyak faktor; desakan dari atas, bawah, dan samping. Menjadi manusia benar itu sangat sulit, ternyata lebih mudah merasa paling benar.

KANG WARSA

Posting Komentar untuk "Hukuman Mati"