"Selamatkan Akidah Umat Islam", kalimat tersebut terpampang dengan jelas pada baligho dan spanduk saat issue adanya aliran-aliran atau sempalan kembali diwacanakan di negara ini. Pestasbihan kebenaran pun dilakukan, dalil-dalil naqli dan aqli berseliweran memenuhi ruang perdebatan. Tafsir-tafsir terhadap dalil dikeluarkan dengan sangat fasih oleh semua pihak, dan pada akhirnya? Dead-lock, pihak ini memiliki tafsir ini, sebaliknya, pihak itu juga memiliki tafsir itu.
Akidah Umat Islam mana yang mau diselamatkan sementara pikiran-pikiran kalut terus menghantui hampir mayoritas agamawan di dunia ini. Bukan hanya dalam Islam saja, dalam dunia ke-kristenan pun kecamuk penyelamatan iman umat manusia itu begitu menggelora. Jika akidah telah terselamatkan, iman telah kokoh, kenapa kecamuk masih terjadi? Perang pemikiran pun terus berlangsung. Padahal, jika saja akidah telah terselamatkan, keegoisan harus sudah tidak ada lagi dalam diri kita, bukan?
Saya ambil contoh sederhana: tiga pilar agama: Iman, Islam, Ihsan. Tekad, Ucap, dan Lampah. Niat, proses, hasil. Iman berarti ada di tataran akidah:tekad. Keyakinan, fondasi kita meyakini Alloh. Ketauhidan, meyakini dengan sepenuh hati Alloh Esa, berbeda dengan mahluk, tidak memiliki atribut-atribut mahluk. Saat kita berbicara mengenai keyakinan kepada Alloh, seberapa yakin jika kita benar-benar yakin kepada-Nya? Saat ini, kita masih menyembah sujud kepada materi, keluhan, biji tasbih dianggap kuno sementara satu tombol keypad hp rusak, bukan main kita sangat kesal. Seperti itukah akidah yang terselamatkan?
Hal lain, kognisi kita masih banyak menyematkan atribut mahluk kepada Alloh. Manusia berperang, saling bunuh, berdalih atas perintah Tuhan. Apa bisa diterima Tuhan memerintahkan manusia saling bunuh? Tuhan tidak sekejam itu. Saat ini, kita masih meyakini dualisme pandangan tentang Tuhan: sifat baik sekaligus buruk. Pengasih dan penyayang, namun pada saat yang sama kita meyakini Tuhan pemberi adzab, siksa, hukuman. Dualisme sifat merupakan bentuk deviasi dari ketauhidan. Jika dualisme diyakini ada dalam Tuhan, artinya kognisi kita telah memberikan atribusi mahluk kepada-Nya.
Akidah harus diselamatkan, maka selamatkanlah pikiran kita terlebih dahulu dalam memandang Alloh sebagai Yang Maha Tinggi dan Maha Berbeda dengan kita dan mahluk-Nya.
Tapi, ya sudahlah, jika Anda masih percaya Tuhan maha penyiksa, silakan jaga keyakinan itu. Tapi jangan kau rebut siksaan Tuhan itu lantas Anda menyiksa manusia lain dengan mengatasnamakan-Nya. Tuhan saja telah berani dioknumkan.
Ada sebuah cerita dari negeri kuno bernama Yunani. Plato sangat gerah dengan tingkah polah kaum agamawan yang semakin menjadi-jadi saja dalam membuat dogma tentang dewa-dewi. Dewa tertinggi Zeus, digambarkan sebagai seorang bijak sekaligus egois, gemar menusuk dengan trisulanya. Demi alasan itu, Plato memilih untuk menjadi seorang gnostik, meyakini Tuhan dengan utuh, berbeda dengan pandangan umum waktu itu.
Pada akhirnya, ternyata perbedaan itu dibuat oleh kita juga.
Akidah Umat Islam mana yang mau diselamatkan sementara pikiran-pikiran kalut terus menghantui hampir mayoritas agamawan di dunia ini. Bukan hanya dalam Islam saja, dalam dunia ke-kristenan pun kecamuk penyelamatan iman umat manusia itu begitu menggelora. Jika akidah telah terselamatkan, iman telah kokoh, kenapa kecamuk masih terjadi? Perang pemikiran pun terus berlangsung. Padahal, jika saja akidah telah terselamatkan, keegoisan harus sudah tidak ada lagi dalam diri kita, bukan?
Saya ambil contoh sederhana: tiga pilar agama: Iman, Islam, Ihsan. Tekad, Ucap, dan Lampah. Niat, proses, hasil. Iman berarti ada di tataran akidah:tekad. Keyakinan, fondasi kita meyakini Alloh. Ketauhidan, meyakini dengan sepenuh hati Alloh Esa, berbeda dengan mahluk, tidak memiliki atribut-atribut mahluk. Saat kita berbicara mengenai keyakinan kepada Alloh, seberapa yakin jika kita benar-benar yakin kepada-Nya? Saat ini, kita masih menyembah sujud kepada materi, keluhan, biji tasbih dianggap kuno sementara satu tombol keypad hp rusak, bukan main kita sangat kesal. Seperti itukah akidah yang terselamatkan?
Hal lain, kognisi kita masih banyak menyematkan atribut mahluk kepada Alloh. Manusia berperang, saling bunuh, berdalih atas perintah Tuhan. Apa bisa diterima Tuhan memerintahkan manusia saling bunuh? Tuhan tidak sekejam itu. Saat ini, kita masih meyakini dualisme pandangan tentang Tuhan: sifat baik sekaligus buruk. Pengasih dan penyayang, namun pada saat yang sama kita meyakini Tuhan pemberi adzab, siksa, hukuman. Dualisme sifat merupakan bentuk deviasi dari ketauhidan. Jika dualisme diyakini ada dalam Tuhan, artinya kognisi kita telah memberikan atribusi mahluk kepada-Nya.
Akidah harus diselamatkan, maka selamatkanlah pikiran kita terlebih dahulu dalam memandang Alloh sebagai Yang Maha Tinggi dan Maha Berbeda dengan kita dan mahluk-Nya.
Tapi, ya sudahlah, jika Anda masih percaya Tuhan maha penyiksa, silakan jaga keyakinan itu. Tapi jangan kau rebut siksaan Tuhan itu lantas Anda menyiksa manusia lain dengan mengatasnamakan-Nya. Tuhan saja telah berani dioknumkan.
Ada sebuah cerita dari negeri kuno bernama Yunani. Plato sangat gerah dengan tingkah polah kaum agamawan yang semakin menjadi-jadi saja dalam membuat dogma tentang dewa-dewi. Dewa tertinggi Zeus, digambarkan sebagai seorang bijak sekaligus egois, gemar menusuk dengan trisulanya. Demi alasan itu, Plato memilih untuk menjadi seorang gnostik, meyakini Tuhan dengan utuh, berbeda dengan pandangan umum waktu itu.
Pada akhirnya, ternyata perbedaan itu dibuat oleh kita juga.
Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya dengan jaringan 3 Indonesia.
Posting Komentar untuk "Selamatkan"