Sistem Pendidikan, Kultur Kepiting, dan Kekerasan



Dunia pendidikan di Sukabumi kembali menghadapi ‘persoalan’ moral, seorang siswi kelas II SDN Cimanggu, Kecamatan Sukalarang, Kabupaten Sukabumi meninggal akibat dianiaya oleh tiga orang siswa. 

Proses hukum – penahanan - terhadap anak di bawah umur pun harus berbenturan dengan Undang-Undang No 11 dan 12 Tahun 2013 tentang Sistem Peradilan anak. Hukum memang sulit ajeg sebagai dirinya sendiri, sebab bagaimana pun dipengaruhi oleh apa yang ada di luar hukum itu sendiri. 

Refresifitas hukum menjadi terlihat lemah ketika berbenturan dengan hukum itu sendiri. Maka harus dicari solusi dan akar persoalan penyebab lahirnya ‘kebuasaan’ bukan hanya dilakukan oleh orang dewasa juga oleh anak di bawah umur.

Karena dipengaruhi oleh faktor yang berada di luar hukum, maka penyebab lahirnya pelanggaran hukum menjadi sorotan utama, terlebih ketika persoalan yang muncul lahir dari degradasi moral di dalam kehidupan. 

Penerapan Sistem pendidikan yang kurang maksimal di negara ini sering dijadikan rujukan lahirnya kebuasan dalam dunia pendidikan kerap terjadi beberapa tahun terakhir . Sudah pasti menyalahkan penerapan sistem pendidikan akan melahirkan ketidakdilan dalam memandang persoalan. 

Siapa pun yang bergerak dalam aktivitas pendidikan harus mengkaji secara utuh dan lebih serius munculnya persoalan dalam dunia pendidikan dari kasus tawuran hingga penganiayaan . Faktor penyebab ‘kekerasan’ di dunia pendidikan sangat kompleks.

Sistem Pendidikan di negara ini dan Revolusi Mental


Satu tahun terakhir ini, warga negara terlalu sibuk memikirkan revolusi mental atau moral hanya dalam ranah wacana dan status di media sosial. Sementara pada tataran das-sein, lahir kesenjangan antara apa yang diwacanakan secara hiperbolik dengan kenyataan yang ada. 

Revolusi mental dan moral diteriakkan sementara kehidupan sendiri semakin diwarnai oleh aksi-aksi kejahatan di luar batas kemanusiaan. Moralitas tersungkur ke titik terendah peradaban. Karena satu hal, revolusi mental dan moral bukan sebatas pada kata-kata, teknis pelaksanaannya lebih penting. 

Bagaimana bisa revolusi mental dan moral mewujud ketika masih ada kepala daerah atau para pejabat negara ini saling baku hantam, perang mulut, kasar dalam bersikap? Lahirnya kekerasan dalam kehidupan bukan karena hidup semakin keras dan penuh tantangan, ini lebih dipengaruhi oleh kekagetan kultural dari sebagian mayoritas warga negara terhadap kondisi baru. Depresi lahir dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak diimbangi oleh ketahanan mental dan kultur di dalam kehidupan.

Sistem pendidikan diterapkan secara gegabah – saya sangat yakin setiap sistem yang dibuat memiliki maksud kebaikan – oleh penafsiran diri kita. Setiap sekolah secara kelembagaan menginginkan capaian prestasi yang diraih oleh sekolah. 

Diciptakan perlombaan dan olimpiade memiliki tujuan merangsang bakat dan minat siswa. Bukan persoalan dan penyebab lahirnya kekerasan, kekerasan lahir justru dari beban anak terhadap mata ajar dan lama waktu kegiatan belajar di kelas, juga dipengaruhi oleh bagaimana suasana kegiatan belajar dan mengajar yang diciptakan di dalam kelas. KBM sudah tentu berbeda dengan memenjarakan anak atau peserta didik.

Jika ditelaah, kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pascareformasi terhadap peningkatan mutu pendidikan masih bersifat top-down. Saat ini saja, ketika kurikulum 2013 menggantikan KTSP muncul perdebatan panjang hingga lahir sebuah konklusi; setiap sekolah dibolehkan memilih kurikulum mana yang akan digunakan. Penerapan kurikulum dengan standar bertaraf internasional dan memperhatikan dinamika kemajuan pun tidak diimbangi oleh perangkat lunak dan piranti keras pendidikan.

Sebagai contoh; regulasi baru dalam dunia pendidikan di negara ini mengharuskan setiap pendidik menyiapkan perangkat pembelajaran bersifat administrasi an sich, menuliskan histori dan kronologi saat pembelajaran dengan durasi waktu mencapai tiga jam, menilai secara utuh peserta didik dari akademik hingga sikap. 

Sayang sekali, regulasi seperti ini terkesan dipaksakan oleh pemerintah dan memuculkan formalitas baru dalam dunia pendidikan. Tenaga pendidik, jika tidak bisa mengomposisikan waktu, maka waktu yang tersedia akan habis hanya untuk mengisi persoalan tetek-bengek administrasi di sekolah, jika tidak cukup waktu maka akan menjadi pekerjaan rumah dan dibawa pulang. 

Belum lagi, ketidakseimbangan apa yang diraih oleh para tenaga pendidik, untuk guru honorer saja , negara ini masih pelit memberikan penghargaan baik reward secara moral apalagi finansial. Sampai saat ini, sekolah-sekolah swasta masih bertanya-tanya terhadap keterlambatan pencairan dana BOS oleh pemerintah. 

Wacana yang berkembang, Irjen Kementerian Pendidikan di negara ini belum menandatangani berkas pencairan BOS. Harus bagaimana, pemerintah mendesain agar pendidikan lebih maju sementara perangkat dan fasilitas sederhana dalam pendidikan pun sulit didapat oleh sekolah.

Hal lain yang menjadi persoalan pendidikan di negara ini adalah; komposisi mata ajar dan komposisi antara tenaga pengajar dengan peserta didik. Dua hal ini berpengaruh besar terhadap capaian pendidikan. 

Komposisi mata ajar di setiap sekolah dipenuhi oleh mata ajar yang melelahkan peserta didik. Hal-hal yang bersifat rekreatif seperti pengajaran seni rupa, seni musik, muatan lokal begitu minim. Bagaimana bisa perasaan manusia menjadi halus saat seni yang seharusnya mendapat porsi lebih malah dianak tirikan?

Begitu pula komposisi jumlah peserta didik dengan tenaga pendidik, di negara yang telah maju dalam pendidikannya, perbandingan ideal jumlah siswa dengan guru sebesar 10 :1 bahkan hingga 8:1, di negara ini perbandingannya bisa mencapai 35: 1. 

Apa artinya? negara sangat kekurangan tenaga pendidik, negara sangat lemah dalam membangun sarana dan prasarana pendidikan, maka lahirnya pendidikan dengan sistem begitu melangit walakin saaya-aya dalam prosesnya. Dalam istilah Sunda dikenal ‘kumaha bréhna baé”. Ini tidak bisa dimungkiri.

Kultur Kepiting


Leviathan merupakan hak manusia, namun bukan dalam tataran fisik. Persaingan secara sehat merupakan hak asasi manusia, sayang sekali, saat ini di dalam kehidupan kita telah lahir kultur kepiting. 

Dalam satu wadah, beberapa kepiting tidak akan rela melepaskan kepiting lain keluar dari wadah tersebut. Saat seekor kepiting akan keluar dari wadah, oleh kepiting-kepiting lain akan ditarik kembali ke bawah. Inilah potret leviathan dalam kehidupan kita sekarang. 

Persaingan dijadikan persinggungan, berbeda keyakinan saja harus ditebus oleh perang dan pertumpahan darah. Muncul pertanyaan, hal ini disebabkan oleh apa?

Lihat ke sekeliling! Kerusakan alam oleh hasil produk manusia. Apakah Plumbum dan zat-zat yang dihasilkan dari proses emisi bahan bakar dan mesin-mesin tidak mengusik struktur sel dalam diri manusia. 

Sudah pasti ini sangat berpengaruh. Struktur sel dalam tubuh manusia menjadi lebih agresif ketika ke dalam diri manusia telah dirasuki oleh zat-zat yang seharusnya tidak bole masuk ke dalam tubuh. 

Disempurnakan oleh pengaruh sosial dan kultural urban. Kenapa, dengan sangat mudah manusia bisa menghardik manusia lain hanya saat dirinya dilihat begitu lama? Sulitkah manusia menerima kehadiran manusia lain? 

Sudah begitu agresifkah semangat manusia dalam menghardik dan menyakiti manusia lain tanpa mengedepankan rasa atau nurani? Ini merupakan tantangan dan obyek penelitian dari –kita – yang mengaku manusia berpendidikan.

Sebagai salah seorang pendidik, Saya akan tetap mengatakan (baca:membela) sekolah bukan satu-satunya faktor lahirnya kekerasan siswa terhadap siswa lain atau guru terhadap siswa. Keluarga dan masyarakat bertanggungjawab terhadap lahirnya hal ini. 

Pertanyaan sederhana terhadap setiap keluarga adalah; berapa lama anak bersentuhan langsung dengan keluarga? Rata-rata hanya 3-4 jam dari 24 jam. Mayoritas keluarga mengandalkan pranata sosial lain seperti pendidikan dan pengajian. 

Dan, muara persoalan terletak pada regulasi-regulasi atau kebijakan umum pemerintah dalam pengimplementasiannya.

Posting Komentar untuk "Sistem Pendidikan, Kultur Kepiting, dan Kekerasan"