Di era revolusi fisik, Lapang Merdeka Kota Sukabumi merupakan tempat pertemuan terbuka (out-door) warga Sukabumi. Sementara sebagai tempat pertemuan tertutup (in-door), BPU (Gedung Juang '45, sekarang) sering digunakan oleh warga Sukabumi. Ada hubungan antara penamaan 'Lapang Merdeka' dengan 'Gedung Juang '45'.
Di era kepemimpinan H.Zainudin Mulaibari, di Selatan Lapang Merdeka, tepatnya di alun-alun Kota Sukabumi didirikan monumen peringatan; pengibaran Sang Saka Merah Putih. Bendera pusaka dikibarkan di Kota Sukabumi pertama kali tepat di alun-alun, depan Mesjid Agung, monumen yang didirikan tersebut beruba: kendi air dan bendera. Kendi air menggambarkan taneuh atau lemah (tanah) dan cai (air), mewakili kecintaan warga Sukabumi kepada 'lemah cai' atau tanah air.
Lapang Merdeka di Era Kepemimpinan Muslikh dan Mulyono
Setengah dekade lalu, Lapang Merdeka di Kota Sukabumi mulai menampakkan deviasi fungsi. Penyimpangan fungsi lapang dari fungsi sebelumnya sebagai sebuah lapang; sebagai ruang publik, wisata warga, sarana olahraga, dan beberapa kegiatan publik yang tidak mengarah kepada hukum-hukum pasar. Perubahan itu menajam saat keramaian menjadi ciri khas Lapang Merdeka setiap hari Minggu.
Keramaian dalam pandangan ilmu ekonomi sering berbanding lurus dengan hadirnya hukum pasar, pedagang akan merasa diuntungkan oleh banyaknya aktifitas dan kerumunan orang. Tanpa harus dikondisikan pun, migrasi para pedagang kaki lima (PKL) dari tempat-tempat yang telah disediakan secara resmi oleh Pemerintah Kota berduyun-duyun menempati tempat yang seharusnya digunakan oleh masyarakat sebagai tempat aktifitas kegiatan olahraga. Ketidak-nyamanan karena dibiasakan dan berlangsung lama menjadi hal lumrah dan nyaman, tanpa persoalan. Bahkan, lambat laun, Pemerintah Kota Sukabumi di era kepemimpinan Muslikh-Mulyono menerapkan tarif retribusi pedagang kepada para pedagang di Lapang Merdeka tersebut.
Ledakan pedagang kaki lima (PKL) di Kota Sukabumi telah membawa perubahan begitu besar terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Pertama, trotoar sepanjang Jl. A Yani telah berubah menjadi rebutan antara pejalan kaki dengan para pedagang yang memajang dagangan mereka di depan pertokoan. Kedua, Jl. Kapt Harun Kabir telah berubah 80% sebagai gang besar dengan atribusi barang-barang dagangan di sepanjang jalan. Ketiga, Lapang Merdeka pun sejak dua tahun terakhir telah berubah fungsi menjadi "pasar Mingguan", aktifitas besar pasar muncul secara sporadis tanpa kita sadari, tahu-tahu setiap hari Minggu ramai antara pedagang dan pembeli.
Kenapa terjadi ledakan pedagang kaki lima (PKL) di Kota Sukabumi ini? Pedagang kaki lima (PKL) di Kota Sukabumi muncul sebagai jawaban terhadap pola hidup warga Kota, konsumtif dan gemar berbelanja barang-barang kelas dua. PKL Cimol mulai muncul pada tahun 2002, mereka menawarkan pakaian-pakaian bekas dan masih layak pakai, warga Sukabumi tanpa melihat sterilisasi dan hegenitas pakaian bekas tersebut secara terbuka menyukainya. Para pedagang kaki lima dari daerah Sumatera menjadikan Kota Sukabumi sebagai surga menggiurkan bagi aktifitas perdagangan mereka.
Faktor penyebab beralih fungsinya Rencana Tata Ruang Wilayah Kota adalah masa transisi, peralihan Kota dari Kota Praja (Kota Madya) menjadi Kota. Pola keramaian memusat, aktifitas pasar dan usaha memusat di pusat perkotaan sejak tahun 60an-sekarang. Belum ada kebijakan baru dari pemerintah Kota Sukabumi untuk melakukan pemekaran terhadap pusat-pusat keramaian di bidang perdagangan dan jasa ke wilayah-wilayah strategis lainnya. Aktifitas perdagangan dan jasa seolah dibiarkan secara alamiah keberadaannya. Masyarakat akan membuka lapangan usaha baru karena memang keinginan masyarakat saja, sementara pemerintah sendiri melalui Dinas Perizinan, Perisndustrian Perdagangan dan Koperasi mengambil keuntungan dengan menerbitkan Izin Usaha bagi para pengusaha baru. PKL sendiri luput dari sorotan ini, tanpa adanya penegakkan dan ketegasan dalam menempatkan mereka di tempat yang seharusnya disediakan oleh pemerintah.
Namun, pemerintah Kota sendiri sering menemui kesulitan ketika memulai kebijakan yang tepat; menempatkan dan memindahkan para pedagang ke tempat mereka (pasar), sering muncul respon kurang baik dengan alasan pasar baru yang disediakan oleh pemerintah itu tidak strategis, tidak dilalui oleh para pejalan kaki, sepi dari keramaian. Pernyataan seperti ini datang dari para pedagang sendiri. Kebijakan pemerintah pun sering termentahkan kembali oleh alasan-alasan seperti ini. Teori dalam hukum pasar, saling membutuhkan antara pembeli dan penjual sama sekali tidak memengaruhi hati para pedagang. Akibatnya mereka akan memilih tempat-tempat keramaian, membuka lapak dan tempat jualan secara illegal pun jadi, sayangnya retribusi pun mengalir terus.
Ambivalensi sikap dan kebijakan pemerintah Kota Sukabumi ini sangat wajar sebab; Pertama, Sukabumi sebagai sebuah Kota telah menempatkan diri sebagai Kota Pusat pelayanan jasa terpadu di bidang perdagangan, visi dan misi pun mengarah kepada hal-hal strategis di bidang ini. Maka, alangkah aneh jika Pemerintah melarang-larang warganya melakukan aktifitas di bidang perdagangan. Kedua, salah satu sumber PAD Kota Sukabumi dihasilkan dari pungutan retribusi. Ada keuntungan yang diambil oleh pemerintah meskipun harus mengorbankan ruang-ruang publik menjadi beralih fungsi dari fungsi sebelumnya.
Pro dan kontra terhadap fenomena sosial seperti ini terus terjadi. Perda yang mengatur hal ini seolah tetap tidak bisa menyelesaikan persoalan secara jernih. Peraturan Daerah sama sekali tidak mendapat respon positif fari para pedagang. Bahkan Lapang Merdeka saja tetap memperlihatkan aktivitas pasar Mingguan. Alasan begitu jelas muncul dari siapa pun: karena ini merupakan masalah uang, siapa bisa menghentikannya jika sesuatu telah berhubungan dengan uang? Toch tidak ada yang dirugikan? Sepintas memang benar, namun peralihan fungsi ruang publik seperti ini lambat laun akan menular kepada ruang publik lainnya. Tidak menjadi jaminan, jika pada satu saat nanti alun-alun tidak akan berubah fungsi seperti halnya Lapang Merdeka.
Kunci pokok persoalan ini adalah perluasan pusat-pusat keramaian harus dilakukan oleh Pemerintah, walaupun ini mustahil dilakukan akhir-akhir ini. Tumbal besar dari masa transisi sebuah kota adalah; semakin tergerusnya lahan-lahan pertanian menjadi daerah pemukiman, usaha, dan bisnis. Sebab, kebijakan pemerintah Kota Sukabumi sendiri mengarah kepada hal tersebut; sebuah Kota sebagai pusat pelayanan jasa terpadu di bidang perdagangan.
Lapang Merdeka Sekarang
Satu tahun terakhir, Pemkot Sukabumi telah mengambil langkah strategis dengan mengembalikan kembali Lapang Merdeka kepada fungsi sebagai ruang publik. Taman kota berukuran sederhana dibangun mengelilingi lapangan, penertiban PKL yang biasa meramaikan lapangan setiap hari Minggu dilakukan oleh Pemkot Sukabumi.
Alun-alun di depan Mesjid Agung telah ditata kembali, fungsi ruang publik mulai terlihat di dua tempat tersebut.
Di era kepemimpinan H.Zainudin Mulaibari, di Selatan Lapang Merdeka, tepatnya di alun-alun Kota Sukabumi didirikan monumen peringatan; pengibaran Sang Saka Merah Putih. Bendera pusaka dikibarkan di Kota Sukabumi pertama kali tepat di alun-alun, depan Mesjid Agung, monumen yang didirikan tersebut beruba: kendi air dan bendera. Kendi air menggambarkan taneuh atau lemah (tanah) dan cai (air), mewakili kecintaan warga Sukabumi kepada 'lemah cai' atau tanah air.
Lapang Merdeka di Era Kepemimpinan Muslikh dan Mulyono
Setengah dekade lalu, Lapang Merdeka di Kota Sukabumi mulai menampakkan deviasi fungsi. Penyimpangan fungsi lapang dari fungsi sebelumnya sebagai sebuah lapang; sebagai ruang publik, wisata warga, sarana olahraga, dan beberapa kegiatan publik yang tidak mengarah kepada hukum-hukum pasar. Perubahan itu menajam saat keramaian menjadi ciri khas Lapang Merdeka setiap hari Minggu.
Keramaian dalam pandangan ilmu ekonomi sering berbanding lurus dengan hadirnya hukum pasar, pedagang akan merasa diuntungkan oleh banyaknya aktifitas dan kerumunan orang. Tanpa harus dikondisikan pun, migrasi para pedagang kaki lima (PKL) dari tempat-tempat yang telah disediakan secara resmi oleh Pemerintah Kota berduyun-duyun menempati tempat yang seharusnya digunakan oleh masyarakat sebagai tempat aktifitas kegiatan olahraga. Ketidak-nyamanan karena dibiasakan dan berlangsung lama menjadi hal lumrah dan nyaman, tanpa persoalan. Bahkan, lambat laun, Pemerintah Kota Sukabumi di era kepemimpinan Muslikh-Mulyono menerapkan tarif retribusi pedagang kepada para pedagang di Lapang Merdeka tersebut.
Ledakan pedagang kaki lima (PKL) di Kota Sukabumi telah membawa perubahan begitu besar terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Pertama, trotoar sepanjang Jl. A Yani telah berubah menjadi rebutan antara pejalan kaki dengan para pedagang yang memajang dagangan mereka di depan pertokoan. Kedua, Jl. Kapt Harun Kabir telah berubah 80% sebagai gang besar dengan atribusi barang-barang dagangan di sepanjang jalan. Ketiga, Lapang Merdeka pun sejak dua tahun terakhir telah berubah fungsi menjadi "pasar Mingguan", aktifitas besar pasar muncul secara sporadis tanpa kita sadari, tahu-tahu setiap hari Minggu ramai antara pedagang dan pembeli.
Kenapa terjadi ledakan pedagang kaki lima (PKL) di Kota Sukabumi ini? Pedagang kaki lima (PKL) di Kota Sukabumi muncul sebagai jawaban terhadap pola hidup warga Kota, konsumtif dan gemar berbelanja barang-barang kelas dua. PKL Cimol mulai muncul pada tahun 2002, mereka menawarkan pakaian-pakaian bekas dan masih layak pakai, warga Sukabumi tanpa melihat sterilisasi dan hegenitas pakaian bekas tersebut secara terbuka menyukainya. Para pedagang kaki lima dari daerah Sumatera menjadikan Kota Sukabumi sebagai surga menggiurkan bagi aktifitas perdagangan mereka.
Faktor penyebab beralih fungsinya Rencana Tata Ruang Wilayah Kota adalah masa transisi, peralihan Kota dari Kota Praja (Kota Madya) menjadi Kota. Pola keramaian memusat, aktifitas pasar dan usaha memusat di pusat perkotaan sejak tahun 60an-sekarang. Belum ada kebijakan baru dari pemerintah Kota Sukabumi untuk melakukan pemekaran terhadap pusat-pusat keramaian di bidang perdagangan dan jasa ke wilayah-wilayah strategis lainnya. Aktifitas perdagangan dan jasa seolah dibiarkan secara alamiah keberadaannya. Masyarakat akan membuka lapangan usaha baru karena memang keinginan masyarakat saja, sementara pemerintah sendiri melalui Dinas Perizinan, Perisndustrian Perdagangan dan Koperasi mengambil keuntungan dengan menerbitkan Izin Usaha bagi para pengusaha baru. PKL sendiri luput dari sorotan ini, tanpa adanya penegakkan dan ketegasan dalam menempatkan mereka di tempat yang seharusnya disediakan oleh pemerintah.
Namun, pemerintah Kota sendiri sering menemui kesulitan ketika memulai kebijakan yang tepat; menempatkan dan memindahkan para pedagang ke tempat mereka (pasar), sering muncul respon kurang baik dengan alasan pasar baru yang disediakan oleh pemerintah itu tidak strategis, tidak dilalui oleh para pejalan kaki, sepi dari keramaian. Pernyataan seperti ini datang dari para pedagang sendiri. Kebijakan pemerintah pun sering termentahkan kembali oleh alasan-alasan seperti ini. Teori dalam hukum pasar, saling membutuhkan antara pembeli dan penjual sama sekali tidak memengaruhi hati para pedagang. Akibatnya mereka akan memilih tempat-tempat keramaian, membuka lapak dan tempat jualan secara illegal pun jadi, sayangnya retribusi pun mengalir terus.
Ambivalensi sikap dan kebijakan pemerintah Kota Sukabumi ini sangat wajar sebab; Pertama, Sukabumi sebagai sebuah Kota telah menempatkan diri sebagai Kota Pusat pelayanan jasa terpadu di bidang perdagangan, visi dan misi pun mengarah kepada hal-hal strategis di bidang ini. Maka, alangkah aneh jika Pemerintah melarang-larang warganya melakukan aktifitas di bidang perdagangan. Kedua, salah satu sumber PAD Kota Sukabumi dihasilkan dari pungutan retribusi. Ada keuntungan yang diambil oleh pemerintah meskipun harus mengorbankan ruang-ruang publik menjadi beralih fungsi dari fungsi sebelumnya.
Pro dan kontra terhadap fenomena sosial seperti ini terus terjadi. Perda yang mengatur hal ini seolah tetap tidak bisa menyelesaikan persoalan secara jernih. Peraturan Daerah sama sekali tidak mendapat respon positif fari para pedagang. Bahkan Lapang Merdeka saja tetap memperlihatkan aktivitas pasar Mingguan. Alasan begitu jelas muncul dari siapa pun: karena ini merupakan masalah uang, siapa bisa menghentikannya jika sesuatu telah berhubungan dengan uang? Toch tidak ada yang dirugikan? Sepintas memang benar, namun peralihan fungsi ruang publik seperti ini lambat laun akan menular kepada ruang publik lainnya. Tidak menjadi jaminan, jika pada satu saat nanti alun-alun tidak akan berubah fungsi seperti halnya Lapang Merdeka.
Kunci pokok persoalan ini adalah perluasan pusat-pusat keramaian harus dilakukan oleh Pemerintah, walaupun ini mustahil dilakukan akhir-akhir ini. Tumbal besar dari masa transisi sebuah kota adalah; semakin tergerusnya lahan-lahan pertanian menjadi daerah pemukiman, usaha, dan bisnis. Sebab, kebijakan pemerintah Kota Sukabumi sendiri mengarah kepada hal tersebut; sebuah Kota sebagai pusat pelayanan jasa terpadu di bidang perdagangan.
Lapang Merdeka Sekarang
Satu tahun terakhir, Pemkot Sukabumi telah mengambil langkah strategis dengan mengembalikan kembali Lapang Merdeka kepada fungsi sebagai ruang publik. Taman kota berukuran sederhana dibangun mengelilingi lapangan, penertiban PKL yang biasa meramaikan lapangan setiap hari Minggu dilakukan oleh Pemkot Sukabumi.
Alun-alun di depan Mesjid Agung telah ditata kembali, fungsi ruang publik mulai terlihat di dua tempat tersebut.
Posting Komentar untuk "Lapang Merdeka Kota Sukabumi"