Sejarah tidak pernah meninggalkan kita. Dia akan membekas dalam setiap ruang ingatan. Orang Prancis menyebut bahwa sejarah adalah pengulangan dari sejarah-sejarah sebelumnya, ini jebakan idealisme. Dipercaya atau pun tidak pandangan ini akan terus diyakini oleh beberapa bahkan sebagian besar orang. Maka ditarik sebuah simpulan sederhana, apa yang terlihat di dalam dunia kekinian adalah tipuan semata, sementara substansi yang tersimpan di dalamnya merupakan fenomena abadi sejak sejarah manusia lahir hingga sejarah manusia ini selesai.
Dunia keilmuan bisa saja mengurai – sejarah kemanusiaan dibagi ke dalam fase-fase kehidupan- seperti perkembangan manusia itu sendiri dalam rahim ibunya. Seorang evolusionis bisa mengklaim dengan teori-teori evolusi , sejarah yang lahir ini besar dipengaruhi oleh seleksi alam, mencari ras paling unggul, di dalamnya ada persinggungan dan persaingan alamiah yang tidak bisa ditawar-tawar lagi jika seorang manusia ingin tetap eksis dan berada dalam lingkaran “struggle for life”, perjuangan untuk tetap hidup. Landasan berpijaknya adalah terhadap pola hidup di luar manusia – seperti binatang- . Disederhanakanlah dalam sebuah pandangan, hidup bukan aturan halal dan haram, melakukan sesuatu tidak didasarkan pada benar dan salah, kecuali oleh hari ini kita harus bagaimana agar bisa hidup. Acuannya terhenti pada sebuah dasar pemikiran: Pada mulanya, segala sesuatu itu dibolehkan.
Tampilan dan substansi dari pemikiran ini adalah sejarah akan tetap berlangsung sama. Tidak ada kesempurnaan dimiliki oleh siapa pun. Tapi kesempurnaan tetap ditentukan oleh keperpihakan siapa pencetus teori tersebut. Ruang objektivitas tidak dijadikan dasar penilaian kemuliaan manusia. Takaran kehidupan menjadi lebih sederhana, dimengerti atau tidak. Sejarah manusia pun dilahirkan oleh peran besar “otak kiri”, dimana peran akal atau rasio ditempatkan sebagai Tuhan baru. Sedikit sekali menghadirkan semangat memberi daripada kelicikan merampas , mengeksploitasi, menjabel, dan merampok apa yang bukan menjadi milik kita. Dunia hadir sebagai ladang “akal-akalan”. Segalanya bisa diselesaikan dengan kepiawaian rasio. Ukuran kebaikan dan kebenaran adalah: dimengerti atau sama sekali tidak dimengerti.
Hedonisme awal kaum Epikuros sebagai faham pemikiran yang mengutamakan pencapaian kebahagian lahir bathin, penegasannya adalah kemakmuran hidup, kebahagiaan hidup bisa dicapai jika bathin manusia telah mengalami ketenangan. Namun, karena sejarah seolah memang diciptakan oleh para pemenang dari pertarungan kehidupan dalam lingkaran evolusi ini, Hedonisme awal ini dimasukkan ke dalam kotak titik balik: ketenangan bathin akan dicapai jika manusia telah bisa memenuhi dan mencukupi kebutuhan lahiriahnya. Otak kiri menerima ini, begitu logis jika Tuhan baru bernama Uang , Gelar, Jabatan, dan kedudukan telah diraih oleh manusia, maka ini akan berbanding lurus dengan timbulnya kebagahian bathiniah manusia itu. Tidak heran, seorang Jeremy Bentham menyebut pandangan ini sebagai ideologi yang hanya pantas dimiliki oleh “Babi”.
Akibat langsung dari pemikiran radikal seperti ini adalah: Tuhan tidak hanya ditentang karena keberadaannya yang diragukan, namun Tuhan adalah imaji yang diciptakan oleh manusia sendiri. Tuhan harus lahir dalam bentuk baru dan bisa disederhanakan dalam rumus matematik. Agama dan ajaran diakali agar masuk akal, hingga dilembagakan. Seperti seorang Samiri yang telah mengakali Bani Israil dengan menghadirkan Tuhan Baru yang bisa dilihat langsung berupa seekor patung lembu. Manusia pun dituntut untuk mengikuti arus kehidupan seperti ini; kemuliaan akan diraih jika pencapaian-pencapaian prestasi bisa dilihat pada seberapa besar penghasilan perhari bahkan perjam, baju kebesaran apa yang dipakai, dan kedudukan apa yang sedang dijabat saat ini. Perlombaan untuk mendapatkan Tuhan Baru ini tidak bisa dihindari.
Pernyataan paling berani yang lahir dari rahim pemikiran seperti ini adalah: Tuhan bisa didiskusikan hingga kepada hal detail dari-Nya, dan pada akhirnya Tuhan bisa digonta-ganti. Hingga sampai saat ini, kita terlalu banyak mendiskusikan Tuhan dengan pemikiran dangkal!
Di sudut lain, dari rahim pemikiran ini pun lahir fundamentalisme keyakinan. Armstrong tidak menyudutkan jika munculnya radikalisme keberagamaan terjadi begitu saja. Radikalisme tidak hanya ada dalam agama tertentu, semua agama, semua keyakinan, semua ideologi memiliki ini. Radikalisme dalam keberagamaan merupakan saudara kembar dari kebebasan berpikir ada pada posisi ekstrim. Meskipun, telunjuk dunia selalu menyalahkan dan menyudutkan agama tertentu terhadap munculnya radikalisme ini namun sejarah tidak akan pernah berbohong: jauh sebelum menara Kembar WTC ambruk, ribuan anak-anak di Palestina dibunuh oleh Zionis Israel, ribuan warga Irak harus kehilangan nyawa dan tempat tinggal pasca penyerangan pasukan Multi-Nasional. Beberapa bulan pasca peledakan bom bali, ratusan warga Papua kelaparan di dekat pertambangan emas Free-Port.
Sejarah tidak akan pernah meninggalkan kita jika ukurannya adalah benar dan salah. Seperti halnya sejarah kemanusiaan yang telah dihadirkan oleh Tuhan dalam Kitab Suci tentang kisah Musa dan Fir’aun. Objektivitas dari kisah-kisah kenabian adalah: Kebenaran tidak akan pernah ditegakkan oleh kekasaran sikap. Kebenaran hanya akan tegak jika disampaikan melalui proses yang baik, seperti halnya Musa memperlihatkan keMaha Kuasaan Tuhan melalui mu’jizatnya dari sekedar mengajak perang kepada Fir’aun. Siapa akan memihak kepada Fir’aun ketika dia sebagai penguasa bersikap tidak adil terhadap bangsa lain, karena terjebak ke dalam pemikiran logosentrisme kebangsawanan dirinya sebagai Pewaris abadi Dewa Matahari?
Sama halnya dengan kisah Isa yang merelakan ditampar pipi kirinya jika pipi kanan ditampar oleh orang lain. Ini bukan sikap lembek karena takut, kecuali sebuah uji rasa bahwa kebenaran tidak ditampilkan oleh kebuasan sikap. Dan para Nabi telah melakukannya dengan sempurna, seperti halnya Rasulullah ditanya oleh seorang sahabat: “ Kenapa Rasulullah tidak membinasakan orang-orang Munafik?” Maka beliau memberikan sebuah jawaban, “ Apa kata ummat manusia, Jika seorang Rasul membunuh manusia?”
Dan terus terang, Para Nabi dari Adam - Muhammad tidak pernah mendirikan kerajaan politis!
Dalam kehidupan bernegara pun ada satu fenomena unik, jika hedonisme, Pig Philosofy dijadikan landasan berpijak dijadikan dasar utama bernegara, ini hanya akan melahirkan keanehan sekaligus rasa getir dan paradoks dalam kehidupan. Siapa tidak merasa heran sekaligus salut ketika setiap tanggal 17 Agustus, para Veteran dan kakek –nenek yang telah berjuang membawa Negara ini kepada alam kemerdekaan, tanpa difasilitasi secara istimewa oleh Negara, namun mereka masih khidmat menghormati bendera Merah Putih? Lihat, betapa mengherankannya wilayah-wilayah perbatasan Negara ini dan belum mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah pusat namun di sana sang Saka merah putih tetap dikibarkan?
Pun, ketika radikalisme keyakinan menjadi panglima kehidupan, maka rasa aman dalam kehidupan bernegara pun akan hilang. Padahal rujukan halal dan haram sesuatu pun tidak melulu ditegaskan atau dilugaskan seketika. Padahal, hukum potong tangan bagi para pencuri pun tidak dijatuhkan seketika. Padahal, hukum Qishos kepada para pembunuh pun tidak tiba-tiba ditegakkan hari itu juga. Segalanya ditentukan oleh proses seadil-adilnya bukan proses yang diakal-akali agar kesalahan tidak bisa dibuktikan.
Dunia keilmuan bisa saja mengurai – sejarah kemanusiaan dibagi ke dalam fase-fase kehidupan- seperti perkembangan manusia itu sendiri dalam rahim ibunya. Seorang evolusionis bisa mengklaim dengan teori-teori evolusi , sejarah yang lahir ini besar dipengaruhi oleh seleksi alam, mencari ras paling unggul, di dalamnya ada persinggungan dan persaingan alamiah yang tidak bisa ditawar-tawar lagi jika seorang manusia ingin tetap eksis dan berada dalam lingkaran “struggle for life”, perjuangan untuk tetap hidup. Landasan berpijaknya adalah terhadap pola hidup di luar manusia – seperti binatang- . Disederhanakanlah dalam sebuah pandangan, hidup bukan aturan halal dan haram, melakukan sesuatu tidak didasarkan pada benar dan salah, kecuali oleh hari ini kita harus bagaimana agar bisa hidup. Acuannya terhenti pada sebuah dasar pemikiran: Pada mulanya, segala sesuatu itu dibolehkan.
Tampilan dan substansi dari pemikiran ini adalah sejarah akan tetap berlangsung sama. Tidak ada kesempurnaan dimiliki oleh siapa pun. Tapi kesempurnaan tetap ditentukan oleh keperpihakan siapa pencetus teori tersebut. Ruang objektivitas tidak dijadikan dasar penilaian kemuliaan manusia. Takaran kehidupan menjadi lebih sederhana, dimengerti atau tidak. Sejarah manusia pun dilahirkan oleh peran besar “otak kiri”, dimana peran akal atau rasio ditempatkan sebagai Tuhan baru. Sedikit sekali menghadirkan semangat memberi daripada kelicikan merampas , mengeksploitasi, menjabel, dan merampok apa yang bukan menjadi milik kita. Dunia hadir sebagai ladang “akal-akalan”. Segalanya bisa diselesaikan dengan kepiawaian rasio. Ukuran kebaikan dan kebenaran adalah: dimengerti atau sama sekali tidak dimengerti.
Hedonisme awal kaum Epikuros sebagai faham pemikiran yang mengutamakan pencapaian kebahagian lahir bathin, penegasannya adalah kemakmuran hidup, kebahagiaan hidup bisa dicapai jika bathin manusia telah mengalami ketenangan. Namun, karena sejarah seolah memang diciptakan oleh para pemenang dari pertarungan kehidupan dalam lingkaran evolusi ini, Hedonisme awal ini dimasukkan ke dalam kotak titik balik: ketenangan bathin akan dicapai jika manusia telah bisa memenuhi dan mencukupi kebutuhan lahiriahnya. Otak kiri menerima ini, begitu logis jika Tuhan baru bernama Uang , Gelar, Jabatan, dan kedudukan telah diraih oleh manusia, maka ini akan berbanding lurus dengan timbulnya kebagahian bathiniah manusia itu. Tidak heran, seorang Jeremy Bentham menyebut pandangan ini sebagai ideologi yang hanya pantas dimiliki oleh “Babi”.
Akibat langsung dari pemikiran radikal seperti ini adalah: Tuhan tidak hanya ditentang karena keberadaannya yang diragukan, namun Tuhan adalah imaji yang diciptakan oleh manusia sendiri. Tuhan harus lahir dalam bentuk baru dan bisa disederhanakan dalam rumus matematik. Agama dan ajaran diakali agar masuk akal, hingga dilembagakan. Seperti seorang Samiri yang telah mengakali Bani Israil dengan menghadirkan Tuhan Baru yang bisa dilihat langsung berupa seekor patung lembu. Manusia pun dituntut untuk mengikuti arus kehidupan seperti ini; kemuliaan akan diraih jika pencapaian-pencapaian prestasi bisa dilihat pada seberapa besar penghasilan perhari bahkan perjam, baju kebesaran apa yang dipakai, dan kedudukan apa yang sedang dijabat saat ini. Perlombaan untuk mendapatkan Tuhan Baru ini tidak bisa dihindari.
Pernyataan paling berani yang lahir dari rahim pemikiran seperti ini adalah: Tuhan bisa didiskusikan hingga kepada hal detail dari-Nya, dan pada akhirnya Tuhan bisa digonta-ganti. Hingga sampai saat ini, kita terlalu banyak mendiskusikan Tuhan dengan pemikiran dangkal!
Di sudut lain, dari rahim pemikiran ini pun lahir fundamentalisme keyakinan. Armstrong tidak menyudutkan jika munculnya radikalisme keberagamaan terjadi begitu saja. Radikalisme tidak hanya ada dalam agama tertentu, semua agama, semua keyakinan, semua ideologi memiliki ini. Radikalisme dalam keberagamaan merupakan saudara kembar dari kebebasan berpikir ada pada posisi ekstrim. Meskipun, telunjuk dunia selalu menyalahkan dan menyudutkan agama tertentu terhadap munculnya radikalisme ini namun sejarah tidak akan pernah berbohong: jauh sebelum menara Kembar WTC ambruk, ribuan anak-anak di Palestina dibunuh oleh Zionis Israel, ribuan warga Irak harus kehilangan nyawa dan tempat tinggal pasca penyerangan pasukan Multi-Nasional. Beberapa bulan pasca peledakan bom bali, ratusan warga Papua kelaparan di dekat pertambangan emas Free-Port.
Sejarah tidak akan pernah meninggalkan kita jika ukurannya adalah benar dan salah. Seperti halnya sejarah kemanusiaan yang telah dihadirkan oleh Tuhan dalam Kitab Suci tentang kisah Musa dan Fir’aun. Objektivitas dari kisah-kisah kenabian adalah: Kebenaran tidak akan pernah ditegakkan oleh kekasaran sikap. Kebenaran hanya akan tegak jika disampaikan melalui proses yang baik, seperti halnya Musa memperlihatkan keMaha Kuasaan Tuhan melalui mu’jizatnya dari sekedar mengajak perang kepada Fir’aun. Siapa akan memihak kepada Fir’aun ketika dia sebagai penguasa bersikap tidak adil terhadap bangsa lain, karena terjebak ke dalam pemikiran logosentrisme kebangsawanan dirinya sebagai Pewaris abadi Dewa Matahari?
Sama halnya dengan kisah Isa yang merelakan ditampar pipi kirinya jika pipi kanan ditampar oleh orang lain. Ini bukan sikap lembek karena takut, kecuali sebuah uji rasa bahwa kebenaran tidak ditampilkan oleh kebuasan sikap. Dan para Nabi telah melakukannya dengan sempurna, seperti halnya Rasulullah ditanya oleh seorang sahabat: “ Kenapa Rasulullah tidak membinasakan orang-orang Munafik?” Maka beliau memberikan sebuah jawaban, “ Apa kata ummat manusia, Jika seorang Rasul membunuh manusia?”
Dan terus terang, Para Nabi dari Adam - Muhammad tidak pernah mendirikan kerajaan politis!
Dalam kehidupan bernegara pun ada satu fenomena unik, jika hedonisme, Pig Philosofy dijadikan landasan berpijak dijadikan dasar utama bernegara, ini hanya akan melahirkan keanehan sekaligus rasa getir dan paradoks dalam kehidupan. Siapa tidak merasa heran sekaligus salut ketika setiap tanggal 17 Agustus, para Veteran dan kakek –nenek yang telah berjuang membawa Negara ini kepada alam kemerdekaan, tanpa difasilitasi secara istimewa oleh Negara, namun mereka masih khidmat menghormati bendera Merah Putih? Lihat, betapa mengherankannya wilayah-wilayah perbatasan Negara ini dan belum mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah pusat namun di sana sang Saka merah putih tetap dikibarkan?
Pun, ketika radikalisme keyakinan menjadi panglima kehidupan, maka rasa aman dalam kehidupan bernegara pun akan hilang. Padahal rujukan halal dan haram sesuatu pun tidak melulu ditegaskan atau dilugaskan seketika. Padahal, hukum potong tangan bagi para pencuri pun tidak dijatuhkan seketika. Padahal, hukum Qishos kepada para pembunuh pun tidak tiba-tiba ditegakkan hari itu juga. Segalanya ditentukan oleh proses seadil-adilnya bukan proses yang diakal-akali agar kesalahan tidak bisa dibuktikan.
Posting Komentar untuk "Bukan Akal-akalan"