Empat hari lalu, Saya mengatakan kepada beberapa teman, harus terjalin satu pararel yang utuh antara keimanan dan kesadaran. Lebih jauh bisa dikatakan, antara wahyu dan akal itu harus pararel, seirama, berbanding lurus, dan tentu saja bisa diaplikasikan dalam kehidupan secara selaras, tidak bertabrakan atau terdapat kontradiksi antara satu dengan lainnya. Sebab, jika terjadi benturan antara wahyu dan akal, bisa dikatakan: wahyu tidak akan membumi dan akal akan selalu berkutat di bumi tanpa menatap nilai-nilai langit.
Beberapa teman memberikan komentar dan pemikirannya; Pertama, di antara mereka ada yang bersikap wajar, biasa-biasa saja dalam memberikan respon terhadap bahasan wahyu dan akal. Kedua, ada yang menyetuji dengan sangat malu-malu. Dan ketiga, mereka cenderung memberikan pikiran, tidak harus selalu wahyu dan akal pararel. Wahyu yang immanent dan akal yang profane adalah antara hal yang tak terhingga dengan hal yang begitu terbatas.
Persoalannya, bukan antara hal tak terhingga dengan keserbaterbatasan. Ada sebuah kejadian, keimanan tanpa kesadaran jika diaplikasikan dalam kehidupan akan melahirkan kecarutmarutan, contoh: nilai yang terkandung dalam sila ke-1 Pancasila adalah keimanan, keyakinan manusia kepada Tuhan. Akan tetapi, tidak cukup sampai pada 'beriman kepada Tuhan YME' saya hidup ini. Di dalam masyarakat kita telah lahir anomi, ketika nilai tentang keimanan tidak terejawantahkan dalam kehidupan nyata, lahir hal-hal aneh, sebagai contoh: kita mengaku sebagai manusia paling beriman dan paling benar dalam berkeyakinan, namun ketika melihat kemacetan di jalan, jalan-jalan di negara ini meskipun di perkampungan-perkampungan tidak menunjukkan bentuk jalan sesuai harapan, penumpukan sampah di TPSS hingga meluber ke jalan-jalan, dalam kondisi seperti itu, terus terang, semua orang masih meyakini Tuhan pada level 300% malah. Namun nilai-nilai Ketuhanan; bersih, suci, keteraturan, ketertiban, sama sekali jauh dalam kehidupan ini. Kita beriman dan tanpa berkesadaran.
Di negara-negara berkembang potret seperti ini bisa disebut hal biasa. Dari India hingga Indonesia, dan dari Mexico hingga Brazil, persoalan kemacetan, penumpukan sampah, selokan-selokan kotor, kerap ditemui. Penyebab kemacetan pun beragam, salah satunya, proses pembangunan dan perbaikan jalan di negara-negara berkembang sering dilakukan dengan tanpa mempertimbangkan akses jalan alternatif. Mereka hanya membagi setengah badan jalan bagi kendaraan-kendaraan, atau tutup-buka akses jalan, walhasil, arus lalu lintas semakin padat, merayap, bahkan terhenti sama sekali, disempurnakan dengan taburan debu. Dalam kondisi seperti itu, keimanan diuji, namun tetap saja yang keluar dari mulut para pengemudi dan pengguna jalan adalah kalimat serapah terhadap keadaan: " Goblok, lagi-lagi macet!" Dan keimanan yang sering didengungkan harus melahirkan sikap sabar pun hilang seketika.
Penting dilakukan penelitian lebih serius, di negara-negara berkembang (Asia, Afrika, dan Amerika Selatan), agama dan keyakinan justru begitu gencar didengungkan. Islam , Hindu,dan Katolik menjadi agama mayoritas di tiga benua tersebut. Namun saat dihadapkan pada persoalan sebagaimana disebutkan, seolah agama-agama yang dianut tersebut tidak memiliki solusi jitu terhadap masalah yang ada. Seolah, agama sangat kecil sekali memengaruhi kesadaran masyarakat dalam mengaplikasikan ajaran yang ada dalam hampir semua kitab suci. Di dalam wahyu kita kerap menjumpai dalil: Sesungguhnya Alloh sangat mencintai para pelaku kebersihan. Tidak cukup dengan dalil naqli, dilengkapi oleh sebuah ungkapan: kebersihan sebagian dari iman. Maka, di sanalah pentingnya kesadaran harus melengkapi keimanan masyarakat telah terbukti. Sejak kecil, kita dibiasakan berwudhu, thoharoh, 'beberesih' dalam istilah Sunda, dengan tanpa harus dielaborasi lebih detail menjadi kebersihan lahir dan bathin pun semua orang akan mengetahui apa itu bersih? Lawan dari kotor.
Muncullah beberapa asumsi, negara-negara di tiga benua tadi begitu identik dengan kemiskinan. Negara terjajah, dan sebutan lainnya. Angka kemiskinan masih di atas 30% - 40%. Dari sudut pandang mana? Diukur oleh pendapatan masyarakat (daya beli), pendidikan, dan kesehatan. Ada standar ukuran HDI atau Indeks Pembangunan Manusia. Namun jika ukuran tersebut dibandingkan dengan Sumber Daya Alam yang dimiliki oleh banyak negara di dunia ke-tiga, 80% pasokan kebutuhan pokok disuplay oleh negara-negara dunia ketiga. Bahan mentah dan bahan baku diekspor ke negara maju, diproduksi oleh mereka, setelah menjadi barang-barang berupa alat pemuas kebutuhan didistribusikan kembali ke negara-negara berkembang, dibeli dengan sangat mahal pun tidak menjadi soal. Negara maju mengambil keuntungan dari pengelolaan Sumber Daya Alam yang dibeli dengan murah di negara berkembang. Jika saja, kesadaran terhadap betapa kaya sekali sumber daya strategis dimiliki oleh negara-negara berkembang, tinggal satu hal yang harus mereka miliki, keinginan belajar dan kemauan keras mengelola secara mandiri sumber daya alam strategis tersebut. Dengan penafsiran sederhana saja bisa disimpulkan, negara-negara maju tidak akan pernah memiliki niat untuk melakukan embargo apa pun kepada Indonesia, karena mereka sangat memiliki ketergantungan kepada negara ini.
Keimanan tanpa kesadaran sudah bisa dipastikan akan melahirkan pandangan-pandangan membabi-buta. Dalam budaya Sunda sering didengar pribasa: " Marebutkeun cangkang, bari poho kana eusi". Kita hanya akan takluk dan patuh pada simbol-simbol yang diciptakan. Jubah, pakaian, dan sorban dijadikan rebutan. Penampilan, dagu apakah harus berjanggut, jidat apakah harus memiliki tanda hitam, dan hal-hal bersifat bungkus lainnya. Substansi dari semua itu adalah kepantasan, kesopanan, kecocokan, jarang disentuh. Baku hantam dan debat atau diskusi sering menyentuh hal-hal terlalu melangit, seperti aliran dan madzhab dalam agama dijadikan topik bahasan, disuguhkan dalam tontonan, petani dan pedagang pun larut dalam diskusi seperti itu, bisa dibayangkan, para petani yang seharusnya mendiskusikan bagaimana membuat bibit unggul, cara menyemai bibit cabe, malah larut dalam ingar bingar diskusi Sunni dan Syi'ah. Hidup menjadi tidak berjalan dengan sangat wajar.
Agama berarti "ageman hirup" adalah apa yang kita pegang saat ini harus dipertahankan. Agama para petani adalah tani, agama para pedagang adalah berdagang, agama para penulis adalah menulis, agama para guru adalah mendidik. Jika agama ini dicampur adukkan oleh seseorang, misalnya: petani ingin mengambil agama para teknokrat, sudah bisa dipastikan pembuatan jalan pun akan dilakukan dengan tata cara pertanian. Akan muncul kesalahan yang lebih besar daripada manfaat yang bisa diraih. []
Kang Warsa
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
Beberapa teman memberikan komentar dan pemikirannya; Pertama, di antara mereka ada yang bersikap wajar, biasa-biasa saja dalam memberikan respon terhadap bahasan wahyu dan akal. Kedua, ada yang menyetuji dengan sangat malu-malu. Dan ketiga, mereka cenderung memberikan pikiran, tidak harus selalu wahyu dan akal pararel. Wahyu yang immanent dan akal yang profane adalah antara hal yang tak terhingga dengan hal yang begitu terbatas.
Persoalannya, bukan antara hal tak terhingga dengan keserbaterbatasan. Ada sebuah kejadian, keimanan tanpa kesadaran jika diaplikasikan dalam kehidupan akan melahirkan kecarutmarutan, contoh: nilai yang terkandung dalam sila ke-1 Pancasila adalah keimanan, keyakinan manusia kepada Tuhan. Akan tetapi, tidak cukup sampai pada 'beriman kepada Tuhan YME' saya hidup ini. Di dalam masyarakat kita telah lahir anomi, ketika nilai tentang keimanan tidak terejawantahkan dalam kehidupan nyata, lahir hal-hal aneh, sebagai contoh: kita mengaku sebagai manusia paling beriman dan paling benar dalam berkeyakinan, namun ketika melihat kemacetan di jalan, jalan-jalan di negara ini meskipun di perkampungan-perkampungan tidak menunjukkan bentuk jalan sesuai harapan, penumpukan sampah di TPSS hingga meluber ke jalan-jalan, dalam kondisi seperti itu, terus terang, semua orang masih meyakini Tuhan pada level 300% malah. Namun nilai-nilai Ketuhanan; bersih, suci, keteraturan, ketertiban, sama sekali jauh dalam kehidupan ini. Kita beriman dan tanpa berkesadaran.
Di negara-negara berkembang potret seperti ini bisa disebut hal biasa. Dari India hingga Indonesia, dan dari Mexico hingga Brazil, persoalan kemacetan, penumpukan sampah, selokan-selokan kotor, kerap ditemui. Penyebab kemacetan pun beragam, salah satunya, proses pembangunan dan perbaikan jalan di negara-negara berkembang sering dilakukan dengan tanpa mempertimbangkan akses jalan alternatif. Mereka hanya membagi setengah badan jalan bagi kendaraan-kendaraan, atau tutup-buka akses jalan, walhasil, arus lalu lintas semakin padat, merayap, bahkan terhenti sama sekali, disempurnakan dengan taburan debu. Dalam kondisi seperti itu, keimanan diuji, namun tetap saja yang keluar dari mulut para pengemudi dan pengguna jalan adalah kalimat serapah terhadap keadaan: " Goblok, lagi-lagi macet!" Dan keimanan yang sering didengungkan harus melahirkan sikap sabar pun hilang seketika.
Penting dilakukan penelitian lebih serius, di negara-negara berkembang (Asia, Afrika, dan Amerika Selatan), agama dan keyakinan justru begitu gencar didengungkan. Islam , Hindu,dan Katolik menjadi agama mayoritas di tiga benua tersebut. Namun saat dihadapkan pada persoalan sebagaimana disebutkan, seolah agama-agama yang dianut tersebut tidak memiliki solusi jitu terhadap masalah yang ada. Seolah, agama sangat kecil sekali memengaruhi kesadaran masyarakat dalam mengaplikasikan ajaran yang ada dalam hampir semua kitab suci. Di dalam wahyu kita kerap menjumpai dalil: Sesungguhnya Alloh sangat mencintai para pelaku kebersihan. Tidak cukup dengan dalil naqli, dilengkapi oleh sebuah ungkapan: kebersihan sebagian dari iman. Maka, di sanalah pentingnya kesadaran harus melengkapi keimanan masyarakat telah terbukti. Sejak kecil, kita dibiasakan berwudhu, thoharoh, 'beberesih' dalam istilah Sunda, dengan tanpa harus dielaborasi lebih detail menjadi kebersihan lahir dan bathin pun semua orang akan mengetahui apa itu bersih? Lawan dari kotor.
Muncullah beberapa asumsi, negara-negara di tiga benua tadi begitu identik dengan kemiskinan. Negara terjajah, dan sebutan lainnya. Angka kemiskinan masih di atas 30% - 40%. Dari sudut pandang mana? Diukur oleh pendapatan masyarakat (daya beli), pendidikan, dan kesehatan. Ada standar ukuran HDI atau Indeks Pembangunan Manusia. Namun jika ukuran tersebut dibandingkan dengan Sumber Daya Alam yang dimiliki oleh banyak negara di dunia ke-tiga, 80% pasokan kebutuhan pokok disuplay oleh negara-negara dunia ketiga. Bahan mentah dan bahan baku diekspor ke negara maju, diproduksi oleh mereka, setelah menjadi barang-barang berupa alat pemuas kebutuhan didistribusikan kembali ke negara-negara berkembang, dibeli dengan sangat mahal pun tidak menjadi soal. Negara maju mengambil keuntungan dari pengelolaan Sumber Daya Alam yang dibeli dengan murah di negara berkembang. Jika saja, kesadaran terhadap betapa kaya sekali sumber daya strategis dimiliki oleh negara-negara berkembang, tinggal satu hal yang harus mereka miliki, keinginan belajar dan kemauan keras mengelola secara mandiri sumber daya alam strategis tersebut. Dengan penafsiran sederhana saja bisa disimpulkan, negara-negara maju tidak akan pernah memiliki niat untuk melakukan embargo apa pun kepada Indonesia, karena mereka sangat memiliki ketergantungan kepada negara ini.
Keimanan tanpa kesadaran sudah bisa dipastikan akan melahirkan pandangan-pandangan membabi-buta. Dalam budaya Sunda sering didengar pribasa: " Marebutkeun cangkang, bari poho kana eusi". Kita hanya akan takluk dan patuh pada simbol-simbol yang diciptakan. Jubah, pakaian, dan sorban dijadikan rebutan. Penampilan, dagu apakah harus berjanggut, jidat apakah harus memiliki tanda hitam, dan hal-hal bersifat bungkus lainnya. Substansi dari semua itu adalah kepantasan, kesopanan, kecocokan, jarang disentuh. Baku hantam dan debat atau diskusi sering menyentuh hal-hal terlalu melangit, seperti aliran dan madzhab dalam agama dijadikan topik bahasan, disuguhkan dalam tontonan, petani dan pedagang pun larut dalam diskusi seperti itu, bisa dibayangkan, para petani yang seharusnya mendiskusikan bagaimana membuat bibit unggul, cara menyemai bibit cabe, malah larut dalam ingar bingar diskusi Sunni dan Syi'ah. Hidup menjadi tidak berjalan dengan sangat wajar.
Agama berarti "ageman hirup" adalah apa yang kita pegang saat ini harus dipertahankan. Agama para petani adalah tani, agama para pedagang adalah berdagang, agama para penulis adalah menulis, agama para guru adalah mendidik. Jika agama ini dicampur adukkan oleh seseorang, misalnya: petani ingin mengambil agama para teknokrat, sudah bisa dipastikan pembuatan jalan pun akan dilakukan dengan tata cara pertanian. Akan muncul kesalahan yang lebih besar daripada manfaat yang bisa diraih. []
Kang Warsa
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
Posting Komentar untuk "Keimanan dan Kesadaran"