Sembilan bulan lalu, hampir setiap pemberitaan di berbagai media menyoal tentang cuaca ekstrim. Saat cuaca panas, tiba-tiba hujan turun, atau sebaliknya. Ketika itu, manusia pun ramai-ramai mewaspadai perubahan cuaca secara sporadis ini, mitos baru dimunculkan, cuaca ekstrim akan memicu berbagai penyakit, jelas sekali, penyakit yang muncul adalah rasa takut berlebihan.
Saya baru saja mendiskusikan persoalan ini dengan beberapa kawan melalui BlackBerry Messenger (BBM), kata kunci yang saya tawarkan adalah "keseimbangan alam". Sampai pertengahan September ini kekeringan telah melanda beberapa wilayah di Indonesia. Kemarau sudah hampir lebih dari 6 bulan. Terhadap fenomena alam seperti ini, banyak manusia 'mengomel dan mencaci' kembali alam. Bahkan merengek kepada Tuhan agar segera diturunkan hujan.
Jika ditelaah dengan pikiran jernih, saat ini, alam sedang berusaha berbuat baik kepada manusia, alam sedang berusaha menyesuaikan kembali keseimbangannya. Artinya, karena di dalam mata ajar IPS, IPA, bahkan IAD pun dijelaskan jika daerah di katulistiwa memiliki dua musim, panas dan hujan. Maka, tidak ada anomali apa pun ketika musim kemarau telah mencapai selama 6 bulan. Artinya keseimbangan alam dengan kewajarannya sudah mulai membaik.
Jarang sekali penelitian dilakukan untuk membuka cakrawala baru dalam berpikir, apa akibat yang terjadi ketika wilayah di ktulistiwa memiliki dua musim. Padahal, terdapat hal positif dalam hal ini, antara lain saat kemarau berlangsung selama enam bulan, unsur hara dalam tanah melakukan adaptasi atau penyesuaian dengan kondisi cuaca. Resapan unsur hara oleh tumbuhan diminimalkan. Kemudian, sisa atau cadangan air yang terdapat di Gunung Gede akan didistribusikan kepada daerah-daerah di sekitar gunung, beberapa jenis tumbuhan akan memompa ribuan kubik air perjam. Bisa dibayangkan bagaimana harmoni alam terhadap kita? Meskipun kita kadang sering bersuudzan bahkan menyakiti mereka, namun mereka tetap tunduk dan patuh pada hukum obyektifitas yang telah diciptakan oleh Alloh.
Selama satu windu kemarau pun, sisa cadangan air yang diendapkan di Gunung Gede tidak akan pernah habis hanya untuk memenuhi kebutuhan air warga Sukabumi.
Namun, di daerah pinggiran seperti pajampangan, banyak lahan kering kerontang, tidak produktif lagi. Jawaban harus dikembalikan kepada manusia sendiri, sejak puluhan tahun lalu berapa ribu hektar lahan-lahan di daerah Selatan Sukabumi itu tidak dimanfaatkan secara maksimal, lahan-lahan tersebut hanya dibeli dan dimiliki lantas dibiarkan hanya ditanami semak perdu atau ilalang? Masihkah alam yang harus disalahkan?
Bisa jadi, kekeringan yang dirasakan saat kemarau ini disebabkan oleh kerakusan manusia sendiri yang ingin memiliki lahan dengan tanpa tujuan merawatnya. Atau kerakusan dalam bentuk lain, merusak alam dengan tanpa memberikan kompensasi apa pun terhadap alam itu sendiri. Artinya, hubungan kita dengan alam sampai saat ini masih menyentuh pada derajat hubungan Tuan dengan Budak atau Pemilik Sapi dengan Sapi Perahan.
Kang Warsa.
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
Posting Komentar untuk "Kemarau dan Keseimbangan Alam"