Cerbung: Distorsi 2

Aku sangat menyukai bahkan lebih cenderung kepada mencintai musik classic, seperti saat menuliskan cerita hidupku ini, aku sedang mendengarkan Canon in D Major Pachelbel. Dulu, saat masih duduk di bangku sekolah dasar , aku membaca sebuah majalah di rumah paman, dalam majalah tersebut , pada rubrik feature mengulas tuntas Chopin, seorang bahkan aku sebut raja pianis dari Prancis. Terus terang, aku tidak mengerti sama sekali tentang hal tersebut, tapi ada semacam romantisme bagaimana jika aku bisa memainkan Nocturno? Hal yang sangat tidak mungkin, sebab aku dilahirkan bukan dari keluarga pemusik, mereka hanya penikmat musik pop dan dangdut saja, tidak lebih dari itu. Di rumahku , tidak memiliki alat-alat musik entah itu tradisional maupun modern. Orang yang memiliki alat musik - seperti gitar saja - masih dikatakan  sangat jarang di kampungku waktu itu. Saat membaca halaman per halaman tentang Chopin , muncul rasa penasaran, aku menanyakan apa itu zaman Romantisme kepada guru di sekolah, beliau menyukai musik juga, namun sama sekali tidak memahami apa yang aku tanyakan.

Benar, sejak kecil aku diajarkan tentang definisi bahwa hidup ini sebagai perjalanan panjang oleh nenek buyutku. Simpulan besarnya nanti akan ditemukan di masa ketika aku telah sampai pada titik jenuh. Ada banyak kesalahan pandang dalam mendefinisikan hidup, di antara kalian memang telah menempati sebuah masa kejayaan teknologi, namun belum tentu bisa mencerna dengan jernih mengenai kehidupan seperti apa yang telah diucapkan oleh nenek buyutku.

Ketika kecil aku tertarik pada Chopin, itu memiliki arti di masa lalu – entah berapa juta tahun lalu – aku memang pernah mengalami hidup dan berhubungan dengan hal-hal tentang musik atau bisa juga, dalam diriku mengalir darah para leluhur yang pernah bersentuhan dengan musik? File atau dokumen masa lalu terus diwariskan dari generasi ke generasi secara genetika, aku meyakini hal itu, meskipun sampai saat ini belum ada penelitian serius terhadap persoalan seperti ini.

Saat duduk di bangku SMP, jawaban terhadap pertanyaan: apa itu zaman romantisme, aku dapatkan dari buku seni musik. Aku mulai mulai berkenalan dengan Hayden, Vivaldi, Boccherini, Mozart, dan komponis-komponis ‘jadul’ lainnya. Tetap saja, perkenalan sebagai sebuah pengantar itu tidak membuatku puas, sebab aku hanya membaca tanpa mendengarkan karya-karya mereka. Kalian mengatakan hal tersebut dengan nama: pengetahuan.

Aku percaya pada satu hal, alam akan melakukan konspirasi terhadap segala upaya yang kita lakukan. Jika seseorang memiliki maksud baik, secara otomatis dan sistematis alam akan melakukan konspirasi dan mendukung kita, kalian biasa menyebutnya sebagai sebuah kebetulan. Padahal, di dalam kehidupan ini sama sekali tidak akan pernah kita temui segala sesuatu bersifat kebetulan. Segalanya telah diatur secara sistematis oleh-Nya, Eintsein menyebutkan: Tuhan tidak sedang bermain dadu, tidak ada perjudian dalam hidup ini. Segalanya terpola dan terstruktur dengan baik. Melalui tangan ayahku, tiba-tiba telingaku mendengar gesekan biola, “ Ayah, jangan dipindahkan gelombang radionya!” Pintaku waktu itu. Ayah mengerti dalam ketidakfahaman.

Aku menyimak baik-baik, entah apa judul lagu tersebut, yang aku ingat adalah nama stasiun radio tersebut, Classic FM, pada saluran FM yang selalu memutar musik klasik. Sejak saat itu, hampir setiap hari aku menyimak baik-baik berbagai musik klasik di dalam kamar, aku menjadi manusia penyendiri, namun tidak murung, aku masuk ke dalam dunia orchestra, sesekali membayangkan kehidupan ketika lagu-lagu yang aku dengar mulai dipentaskan di zamannya. Bisa jadi, di zaman itu bukan hal aneh, sama halnya ketika kita saat ini akrab dengan band-band modern.

Kebiasaan itu tidak diwariskan secara genetika oleh keluargaku, mereka bukan pemusik, tidak mengenal Bethoven, mereka hanya tahu Ali Usman, Mashabi, dan Koes-Plus. Aku baru tahu beberapa tahun terakhir, menurut penelitian musik klasik sebaiknya diperdengarkan kepada ibu-ibu hamil atau bayi yang baru dilahirkan.

Kalian akan setuju denganku, kebiasaan dan cara hidup sama sekali bukan warisan secara genetika, jika pun ada yang mengatakan, seperti para penganut behaviourisme sosial, kebiasaan ditentukan oleh lingkungan sosial di mana manusia berada, namun tidak menjadi jaminan jika di sebuah kampung santri tidak akan terjadi penyimpangan sosial. Kembali kepada manusia sendiri, di masa lalu, ketika manusia belum lahir ke dunia ini, tidak memiliki hak memilih ingin menjadi ini atau itu, namun ketika telah memasuki kehidupan ini, maka pilihan tersebut menjadi sebuah keniscayaan.

Aku bukan seonggok wayang golek, namun bukan juga sesosok yang angkuh bisa ini dan itu. Kata nenek buyutku, segalanya telah diatur secara cermat oleh Yang Maha Kuasa, namun akan lebih baik jika takdir jelek dihindari dengan cara mendekati takdir yang lebih baik.

Aku selalu mencoba memahami  hukum dan ketetapan yang telah pasti di dalam kehidupan ini. Hukum kausalitas, sebab akibat, ini merupakan sebuah ajaran tentang keadilan Tuhan kepada mahluk-Nya. Jika aku melakukan ini maka akibat itu akan aku terima. Aku berbeda pandangan dalam beberapa hal dengan kalian, jika kalian menanyakan tentang reinkarnasi kepadaku, aku akan menjawab dengan sederhana, hal itu bisa dan mungkin saja terjadi sebagai sebuah sistem bagaimana keadilan Tuhan berjalan.

Jika kalian masih memiliki keyakinan Tuhan akan memberikan siksaan pedih kepada para pendosa, maka aku tidak memiliki keyakinan seperti itu. Sebab bagiku sudah sangat jelas, Tuhan adalah lautan kasih dan sayang, tidak memiliki kejelekan apa pun, jika Tuhan memberikan siksaan pedih kepada mahluk-Nya, dikemanakan sifat kasih dan sayangNya? Tidak ada alasan apa pun, jika kalian meyakini siksaan Tuhan merupakan bentuk kasih dan sayangNya, dari segi atau sisi mana alasan itu bisa diterima?

Bagiku, jika Tuhan Maha Kasih dan Sayang, maka dalam sifat-sifat Nya pun nihil dari siksa-menyiksa. Titik. Jangan kalian ikuti keyakinanku seperti ini, bisa jadi hal ini merupakan kesalahanku dalam memandang Tuhan.

Keadilan Tuhan aku yakini dalam bentuk sebab dan akibat. Beberapa tahun lalu aku pernah merenungkan kondisi fisik tetanggaku, maaf aku sebutkan, dia telah kehilangan kakinya sejak lahir, hidup hanya dengan satu kaki, manusia-manusia seperti kita patut bersyukur telah dikaruniai organ tubuh dengan lengkap dan sempurna. Lalu aku bertanya? Kenapa tetanggaku harus hidup hanya dengan satu kaki? Apakah murni kesalahan orangtua misalkan ibunya mengonsumsi makanan yang bisa mengganggu pertumbuhan kaki sang bayi saat di dalam kandungan? Atau kalian akan menyebutnya sebagai takdir Tuhan. Jika demikian kenapa Tuhan harus menciptakan hal yang tidak diharapkan oleh manusia, terutama kejelekan? Jawaban persoalan ini aku rangkum sendiri, aku menjadi begini dan hidup di dunia kembali karena belum bisa dan mampu menyelesaikan tugas dengan sempurna, seorang lelaki harus hidup dengan satu kaki karena dia harus memikul akibat perbuatan yang dilakukannya dalam kehidupan sebelumnya.

Konsepnya pun sangat jelas, saat manusia meninggal, dia akan kembali kepada Tuhan, kembali kepada Tuhan tentu harus dalam keadaan suci dan bersih, tanpa kebersihan hati dan jiwa maka manusia akan sangat jauh bisa kembali kepada-Nya ketika meninggal, lalu ke mana? Manusia harus menjalani hidup kembali di dunia ini, sebagai akibat dari perbuatannya di masa lalu. Terus menerus sampai manusia menjadi suci kembali. Khan tetap saja, peran Tuhan begitu besar? Benar, namun Tuhan telah menciptakan hardware dan perangkat lunak di alam semesta ini dengan sangat sistematis dan cerdas, serta cermat, jika aku berbuat baik maka secara otomatis aku akan memanen kebaikan juga.

Jadi , aku memohon kepada kalian, jangan kalian menghalangiku memiliki keyakinan seperti ini. Di antara kalian pernah mengecapku sebagai orang yang memiliki keyakinan Timur Kuno, aku tidak mengerti terhadap hal-hal itu! Kalian pernah mengatakan, aku ini orang yang tidak mengakui sorga dan neraka itu ada. Tidak demikian, bagiku, tempat kembali manusia adalah Tuhannya, bukan dua tempat itu. Sorga dan neraka dalam pandanganku adalah keadaan dan kehidupan yang sedang kita jalani saat ini, sebagai akibat dari sikap-sikap kita di masa lalu.

Apakah aku tidak meyakini akhirat? Aku meyakininya, namun dengan paradigm berbeda, akhirat bagiku merupakan hasil dari sebuah proses, satu jam ke depan, dua jam, tiga, sampai waktu tak terbatas, di masa yang akan datang itulah akhirat, konklusi dari apa yang telah kita jalankan. Saat aku tidak melakukan istirahat yang cukup dan hak-hak tubuhku aku abaikan, sudah dipastikan aku akan menerima akibat jelek di akhirat (beberapa jam kemudian). Mengenai akhirat setelah kehidupan ini, persoalan itu merupakan hak Tuhan, apakah Tuhan akan menciptakan kembali alam lain setelah dunia ini padam atau sama sekali tidak akan menciptakan apa pun itu Hak Tuhan, bukan Hak aku atau hak manusia untuk mengungkit-ungkitnya.

Aturan-aturan dalam agama merupakan produk hokum hasil pikiran manusia adalah upaya agar manusia menjadi lebih baik. Tidak ada kejelekan apa pun dalam agama yang kalian anut, kesalahan adalah ketika agama kalian artikulasikan secara tidak tepat. Ketika agama telah kalian jadikan topeng pembungkus untuk menutupi maksud tersembunyi, cita-cita politik, dan keinginan-keinginan lahiriah lainnya. Aku dan kalian sudah pasti memiliki pandangan sama, agama lahir untuk menghindarkan manusia dari kekacauan bukan sebaliknya setelah agama lahir manusia malah hidup dalam kekacauan, konflik, pertikaian, juga perang. Aku tidak pernal menemukan -dalam agama apa pun – darah manusia halal, nyawa manusia begitu murah, tidak… benar.. demi Tuhan, aku tidak pernah menemukan dalil-dalil tentang itu.

Sekali lagi jangan pernah kalian percaya kepadaku, yakinlah terhadap apa yang telah kalian yakini. Seperti hanya aku begitu yakin, aku menjadi begini karena di masa lalu aku begitu. Entah sampai kapan, sampai aku benar-benar bisa kembali kepada Tuhan dalam keadaan pasrah, ikhlas, dan bersih. (Kang Warsa)

Bersambung…

Posting Komentar untuk "Cerbung: Distorsi 2"