Kalian mengira, karena pandangan-pandanganku ada beberapa perbedaan dengan kalian, jika aku ini termasuk orang yang berusaha melecehkan keyakinan yang selama ini dianut oleh sebagian besar manusia? Tidak demikian, aku hanya berusaha keluar dari kotak itu, saat aku berada di luar kotak, aku menjadi lebih bisa melihat secara keseluruhan kota-kotak yang berserakan di sekitarku, pandanganku menjadi lebih obyektif melihat bagian luar, bentuk, warna, dan ukuran kotak-kotak tersebut.
Aku tidak merasa takut disebut manusia paling benar, yang selalu aku takutkan adalah menunjuk diriku lah manusia yang merasa paling benar di dunia ini. Aku juga tidak memandang keyakinan-keyakinan yang kalian anut, kalian ributkan, kalian perdebatkan, dan kalian tasbihkan kebenarannya sebagai hal yang salah, tidak begitu. Tidak ada yang salah, jika sudut pandang atau persepsi yang kalian gunakan. Persoalan ada pada posisi, jarak, dan ketajaman mata kita saja.
Aku menjunjung tinggi perbedaan yang ada dalam kehidupan, sebuah keniscayaan. Namun sebagai manusia, aku menolak secara serius jika hanya karena perbedaan lalu melahirkan persinggungan, konflik, dan pertumpahan darah. Tentu, apa yang harus aku hormati dari pertempuran kelompok dengan kelompok hingga menimbulkan kematian? Keserakahan harus aku sebut sebagai jiwa pahlawan? Tidak! Bumi Tuhan ini pada dasarnya mampu memenuhi kebutuhan seluruh manusia, namun kerakusan itu lah sebagai pemantik munculnya kelaparan dan kemiskinan!
Dulu, aku diajari tentang etika oleh kakek dan nenek. Nilai kemanusiaan harus didahulukan daripada keyakinan apa pun yang kita anut, begitu kata mereka kepadaku. Jika manusia hanya menilai orang lain dengan agama dan keyakinan yang dianutnya, maka sudah bisa dipastikan kehidupan ini akan hambar, tidak akan muncul sikap saling menghargai, bahkan akan melahirkan eksklusifitas, merasa diri paling sempurna dari orang atau kelompok lain.
Aku pernah menempuh perjalanan dalam hidup ini, pada suatu waktu aku masuk ke dalam gerakan-gerakan keagamaan dari kelompok yang terbuka hingga kelompok radikal. Di sana ada perbedaan, antara open mind dan doktrin. Saat bergabung dengan kelompok yang lebih terbuka, aku diberi kebebasan menjelajahi apa pun, saat aku berada di antara manusia-manusia radikal, aku diajari bagaimana menekan kelompok lain dengan prinsip yang aku anut. Aku pernah bergabung dengan kelompok yang ingin mendirikan Negara berlandaskan hukum agama, aku pun pernah aktif di dalam kegiatan kemasyarakatan, bahkan aku pun sering berbuat salah, omong besar jika di dunia ini tidak ada manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan dalam hidupnya!
Aku pernah masuk ke dalam rumah-rumah ibadah agama lain, aku duduk di dalamnya sambil menikmari requim di dalam gereja, menyimak mantra-mantra baghawat-gita, menatap lama patung-patung di dalam kelenteng, duduk bersila di dekat patung Sang Budha, menapaki patung lembu yang menghadap syiwa di Prambanan.
Sekarang? Aku tidak memilih menjadi apa pun kecuali ingin menjadi manusia saja. Aku hanya ingin menjalani hidup ini, melanjutkan perjalananku. Jangan salahkan aku karena aku tidak akan pernah menyalahkan kalian lagi, juga.. aku tidak akan mengajak-ajak kalian harus mengikuti langkahku, berjalan saja pada jalur yang harus kalian lalui.
Kalian bisa menyebut langkahku terlalu lambat atau terlalu cepat, silakan tafsirkan oleh kalian, karena aku tidak mungkin menjadi pengadil bagi hidupku sendiri. Bahkan, jika menurut kalian aku berada di jalan salah, tegur aku! Tidak perlu sungkan. Kalian bisa menyebutku sebagai penganut Jabariyyah, manusia pasif, jujur.. aku tidak mengerti masalah-masalah seperti itu, jelasnya.. aku tidak hanya menerima, sesekali aku biasa memberi. Tuhan telah menakdirkanku seperti ini, namun aku pun diberi kemerdekaan untuk berpikir dan bertindak.
Bagaimana aku bisa hidup dengan baik jika tidak mengikuti hukum-hukum dalam agama? Aku memosisikan diri, hukum-hukum dalam agama apapun dibuat untuk melahirkan keteraturan sosial. Aku ikuti itu. Tidak ada manusia menyetujui orang berbuat salah. Asalkan, jangan kalian bajak nama Tuhan dengan mengatasnamakan hukum-hukum agama demi keuntungan pribadi dan kelompok. Namun, tidak perlu aku bahas persoalan ini, kalian sudah dewasa. (kang warsa)
Bersambung
Aku tidak merasa takut disebut manusia paling benar, yang selalu aku takutkan adalah menunjuk diriku lah manusia yang merasa paling benar di dunia ini. Aku juga tidak memandang keyakinan-keyakinan yang kalian anut, kalian ributkan, kalian perdebatkan, dan kalian tasbihkan kebenarannya sebagai hal yang salah, tidak begitu. Tidak ada yang salah, jika sudut pandang atau persepsi yang kalian gunakan. Persoalan ada pada posisi, jarak, dan ketajaman mata kita saja.
Aku menjunjung tinggi perbedaan yang ada dalam kehidupan, sebuah keniscayaan. Namun sebagai manusia, aku menolak secara serius jika hanya karena perbedaan lalu melahirkan persinggungan, konflik, dan pertumpahan darah. Tentu, apa yang harus aku hormati dari pertempuran kelompok dengan kelompok hingga menimbulkan kematian? Keserakahan harus aku sebut sebagai jiwa pahlawan? Tidak! Bumi Tuhan ini pada dasarnya mampu memenuhi kebutuhan seluruh manusia, namun kerakusan itu lah sebagai pemantik munculnya kelaparan dan kemiskinan!
Dulu, aku diajari tentang etika oleh kakek dan nenek. Nilai kemanusiaan harus didahulukan daripada keyakinan apa pun yang kita anut, begitu kata mereka kepadaku. Jika manusia hanya menilai orang lain dengan agama dan keyakinan yang dianutnya, maka sudah bisa dipastikan kehidupan ini akan hambar, tidak akan muncul sikap saling menghargai, bahkan akan melahirkan eksklusifitas, merasa diri paling sempurna dari orang atau kelompok lain.
Aku pernah menempuh perjalanan dalam hidup ini, pada suatu waktu aku masuk ke dalam gerakan-gerakan keagamaan dari kelompok yang terbuka hingga kelompok radikal. Di sana ada perbedaan, antara open mind dan doktrin. Saat bergabung dengan kelompok yang lebih terbuka, aku diberi kebebasan menjelajahi apa pun, saat aku berada di antara manusia-manusia radikal, aku diajari bagaimana menekan kelompok lain dengan prinsip yang aku anut. Aku pernah bergabung dengan kelompok yang ingin mendirikan Negara berlandaskan hukum agama, aku pun pernah aktif di dalam kegiatan kemasyarakatan, bahkan aku pun sering berbuat salah, omong besar jika di dunia ini tidak ada manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan dalam hidupnya!
Aku pernah masuk ke dalam rumah-rumah ibadah agama lain, aku duduk di dalamnya sambil menikmari requim di dalam gereja, menyimak mantra-mantra baghawat-gita, menatap lama patung-patung di dalam kelenteng, duduk bersila di dekat patung Sang Budha, menapaki patung lembu yang menghadap syiwa di Prambanan.
Sekarang? Aku tidak memilih menjadi apa pun kecuali ingin menjadi manusia saja. Aku hanya ingin menjalani hidup ini, melanjutkan perjalananku. Jangan salahkan aku karena aku tidak akan pernah menyalahkan kalian lagi, juga.. aku tidak akan mengajak-ajak kalian harus mengikuti langkahku, berjalan saja pada jalur yang harus kalian lalui.
Kalian bisa menyebut langkahku terlalu lambat atau terlalu cepat, silakan tafsirkan oleh kalian, karena aku tidak mungkin menjadi pengadil bagi hidupku sendiri. Bahkan, jika menurut kalian aku berada di jalan salah, tegur aku! Tidak perlu sungkan. Kalian bisa menyebutku sebagai penganut Jabariyyah, manusia pasif, jujur.. aku tidak mengerti masalah-masalah seperti itu, jelasnya.. aku tidak hanya menerima, sesekali aku biasa memberi. Tuhan telah menakdirkanku seperti ini, namun aku pun diberi kemerdekaan untuk berpikir dan bertindak.
Bagaimana aku bisa hidup dengan baik jika tidak mengikuti hukum-hukum dalam agama? Aku memosisikan diri, hukum-hukum dalam agama apapun dibuat untuk melahirkan keteraturan sosial. Aku ikuti itu. Tidak ada manusia menyetujui orang berbuat salah. Asalkan, jangan kalian bajak nama Tuhan dengan mengatasnamakan hukum-hukum agama demi keuntungan pribadi dan kelompok. Namun, tidak perlu aku bahas persoalan ini, kalian sudah dewasa. (kang warsa)
Bersambung
Posting Komentar untuk "Cerbung: Distorsi 3"