Tidak ada yang tahu, masyarakat berperadaban mana yang pertama kali menjadi penghuni planet Bumi ini? Ketertataan semesta, kekompleks-annya, terstrukturnya, dan entah berapa besar volumenya menjadi bukti jika semesta merupakan satu rancangan dahsyat.
Ilmu sosial baru menyentuh dan menebak-nebak, peradaban manusia pertama lahir pada masa gelombang pertama; aksara mulai dikenal, partikularisasi dalam kehidupan, hingga ditemukannya roda. Masa sebelumnya adalah zaman pra-sejarah, masa batu besar, tua, tengah, dan muda. Dari berita ini bisa disimpulkan, sejak beberapa puluh atau ratus ribu tahun lalu masyarakat berperadaban telah menyebar di penjuru dunia. Tetap saja, tidak ada yang pernah tahu, dimana masyarakat berperadaban pertama tinggal?
Masyarakat di wilayah Mesopotamia mulai menyajikan jawaban sederhana terhadap pertanyaan ini. Masyarakat Khaldea melalui Epos Gilgamesh menyuguhkan sajian jawaban berbanding lurus dengan cerita tradisi Hebrew (Israiliyyat), konklusinya, tiga peradaban dan agama besar di dunia meyakini hal yang sama bahwa manusia pertama bernama Adam, hal ini cenderung menafikan teori-teori lain karena secara gamblang eksistensi Adam dan Hawa dilukiskan secara generatif dalam tiga kitab suci agama-agama yang berasal dari Timur Tengah ini.
Perjanjian lama menyajikan cerita kehidupan manusia dari generasi ke generasi. Seolah tidak ada yang terbantahkan meskipun dalam cerita-cerita dalam kitab suci ini bersifat abstraks dan dipenuhi oleh banyak hal ketidak-berimbangan. Masyarakat berperadaban seolah hanya memenuhi wilayah-wilayah di mana para utusan Tuhan hidup. Sangat efektif memang, ketika ayat tentang Adam berasal dari sorga, kemudian diturunkan ke Bumi bersama Hawa dibacakan dari waktu ke waktu, jawaban sementara itu seolah telah menjadi hal yang tidak terbantahkan. Tanpa membutuhkan penafsiran meskipun ayat-ayat tersebut harus dan memang memerlukan penafsiran serta kajian lebih serius.
Pertanyaan mendasar adalah: saat Tuhan menciptakan semesta ini beberapa Milyar tahun lalu, apakah dibiarkan tanpa isi? Sudah bisa dipastikan, apa pun yang diciptakanNya dibuat dengan penuh ketelitian dan tidak sia-sia. Perangkat keras bernama semesta ini termasuk di dalamnya manusia telah diciptakan secara beriringan pada satu masa, mustahil bumi dibiarkan begitu saja tanpa isi dan pengelolanya.
Masa lalu dipenuhi oleh misteri, seperti halnya sejarah kehidupan manusia awal jika pisau analisa yang digunakan bermacam-macam namun pada dasarnya hanya bersifat spekulatif bukan kritis. Sejarah manusia awal yang didasarkan pada pendekatan revelasi memiliki daya spekulatif cukup tinggi, seolah tidak bisa dikritik dari sudut mana pun, bahkan manusia cenderung tidak ingin memasuki ranah itu, ketika dalam kitab suci disebutkan Adam sebagai cikal bakal atau nenek moyang umat manusia, orang sudah menerima dengan lapang dada, pada dasarnya sebagian dari kita tidak mau tahu, sudah itu saja yang diambil.
Karena apa? Ketika melakukan kritisi terhadap eksistensi manusia pertama tersebut, manusia tidak akan mampu memberikan jawaban terhadap argumentasinya, apa nama manusia pertama? Di mana manusia pertama itu tinggal? Bagaimana permulaan hingga lahir manusia pertama, apakah sama dengan kita melalui siklus kehidupan normal? Apakah memang benar lahirnya manusia di bumi ini melalui rangkaian evolusi fisik dari bentuk sederhana kepada bentuk yang lebih kompleks? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tadi tetap bersifat spekulatif. Bahkan, ayat-ayat dalam kitab suci mana pun tidak menyoal secara utuh persoalan ini.
Tugas manusia sekarang bukan membawa persoalan ini pada ranah debat atau diskusi berkepanjang, bertele-tele, namun juga tanpa ujung yang jelas. Pendekatan untuk mengetahui manusia berperadaban pertama yang lahir di bumi ini adalah 'pendekatan kontemplatif'. Sebelum memasuki ke dalam dunia pengembaraan, siapa manusia pertama, hal penting yang harus dilakukan adalah mengenal terlebih dahulu, siapa diri kita? Sudahkah kita, bahkan saya pribadi, mengenal diri sendiri? Faktanya kita terlalu banyak mempersoalkan apa dan siapa yang berada di luar diri kita. Kita hanya mengenal nama dan bentuk fisik diri kita saja. Dari mulai dewasa hingga tua nanti, hanya tampilan fisik saja yang kita kenal bahkan kita pamerkan melalui photo-photo di berbagai media sosial. Namun bisa jadi, itu adalah salah satu perjalanan untuk mengenal lebih dalam siapa diri kita?
Logika pun menyimpulkan, saat kita bercermin siapa diri kita? Kita sedang berpijak di mana? Wajah kita memiliki ciri-ciri ras apa? Kemudian muncul persoalan lain, jika pada masa lalu manusia berasal dari dua pasang saja, kenapa pada masa beberapa ribu bahkan juta tahun lalu hingga sekarang muncul kelompok-kelompok manusia dengan berbagai ras, suku, atau etnis dengan berbeda-beda tampilan, postur, bentuk muka. Ada ledakan namun terstruktur. Apakah manusia pertama berupa sebuah komunitas atau benar-benar sepasang saja? Tetap menjadi sebuah misteri. Jawaban sementara terhadap persoalan ini adalah dengan melihat diri kita, maka patut diduga, Alloh telah menciptakan manusia secara berkelompok karena disesuaikan dengan fitrah manusia sendiri sebagai mahluk sosial. Sejauh ini, beberapa kajian paralogis pernah memberikan semacam jawaban awal. Proses penciptaan dari ruh hingga terpadunya antara ruh dan jasad manusia melalui sebuah transformasi berbagai unsur. Ini sulit dijelaskan dengan jalan singkat, pembentukan unsur-unsur menjadi manusia, adanya perubahan secara bertahap dalam waktu singkat (revolusi fisik) adalah berbanding terbalik dengan penemuan-penemuan modern tentang evolusi manusia dari hal sederhana menjadi hal kompleks.
Dalam memaparkan penciptaan atau permulaan manusia awal, baik wahyu maupun pengetahuan kontemporer tetap menyuguhkan persoalan fiktif, antara benar dan tidak. Wahyu memaparkan manusia pertama berasal dari tanah ketika pengetahuan (teori evolusi) memaparkan manusia berasal dari tanah lempung dan hangat lantas berkembang dari satu sel, beberapa sel, jutaan hingga milyaran sel. Tetap misteri namun harus diterima secara ikhlas.
Kang Warsa
Ilmu sosial baru menyentuh dan menebak-nebak, peradaban manusia pertama lahir pada masa gelombang pertama; aksara mulai dikenal, partikularisasi dalam kehidupan, hingga ditemukannya roda. Masa sebelumnya adalah zaman pra-sejarah, masa batu besar, tua, tengah, dan muda. Dari berita ini bisa disimpulkan, sejak beberapa puluh atau ratus ribu tahun lalu masyarakat berperadaban telah menyebar di penjuru dunia. Tetap saja, tidak ada yang pernah tahu, dimana masyarakat berperadaban pertama tinggal?
Masyarakat di wilayah Mesopotamia mulai menyajikan jawaban sederhana terhadap pertanyaan ini. Masyarakat Khaldea melalui Epos Gilgamesh menyuguhkan sajian jawaban berbanding lurus dengan cerita tradisi Hebrew (Israiliyyat), konklusinya, tiga peradaban dan agama besar di dunia meyakini hal yang sama bahwa manusia pertama bernama Adam, hal ini cenderung menafikan teori-teori lain karena secara gamblang eksistensi Adam dan Hawa dilukiskan secara generatif dalam tiga kitab suci agama-agama yang berasal dari Timur Tengah ini.
Perjanjian lama menyajikan cerita kehidupan manusia dari generasi ke generasi. Seolah tidak ada yang terbantahkan meskipun dalam cerita-cerita dalam kitab suci ini bersifat abstraks dan dipenuhi oleh banyak hal ketidak-berimbangan. Masyarakat berperadaban seolah hanya memenuhi wilayah-wilayah di mana para utusan Tuhan hidup. Sangat efektif memang, ketika ayat tentang Adam berasal dari sorga, kemudian diturunkan ke Bumi bersama Hawa dibacakan dari waktu ke waktu, jawaban sementara itu seolah telah menjadi hal yang tidak terbantahkan. Tanpa membutuhkan penafsiran meskipun ayat-ayat tersebut harus dan memang memerlukan penafsiran serta kajian lebih serius.
Pertanyaan mendasar adalah: saat Tuhan menciptakan semesta ini beberapa Milyar tahun lalu, apakah dibiarkan tanpa isi? Sudah bisa dipastikan, apa pun yang diciptakanNya dibuat dengan penuh ketelitian dan tidak sia-sia. Perangkat keras bernama semesta ini termasuk di dalamnya manusia telah diciptakan secara beriringan pada satu masa, mustahil bumi dibiarkan begitu saja tanpa isi dan pengelolanya.
Masa lalu dipenuhi oleh misteri, seperti halnya sejarah kehidupan manusia awal jika pisau analisa yang digunakan bermacam-macam namun pada dasarnya hanya bersifat spekulatif bukan kritis. Sejarah manusia awal yang didasarkan pada pendekatan revelasi memiliki daya spekulatif cukup tinggi, seolah tidak bisa dikritik dari sudut mana pun, bahkan manusia cenderung tidak ingin memasuki ranah itu, ketika dalam kitab suci disebutkan Adam sebagai cikal bakal atau nenek moyang umat manusia, orang sudah menerima dengan lapang dada, pada dasarnya sebagian dari kita tidak mau tahu, sudah itu saja yang diambil.
Karena apa? Ketika melakukan kritisi terhadap eksistensi manusia pertama tersebut, manusia tidak akan mampu memberikan jawaban terhadap argumentasinya, apa nama manusia pertama? Di mana manusia pertama itu tinggal? Bagaimana permulaan hingga lahir manusia pertama, apakah sama dengan kita melalui siklus kehidupan normal? Apakah memang benar lahirnya manusia di bumi ini melalui rangkaian evolusi fisik dari bentuk sederhana kepada bentuk yang lebih kompleks? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tadi tetap bersifat spekulatif. Bahkan, ayat-ayat dalam kitab suci mana pun tidak menyoal secara utuh persoalan ini.
Tugas manusia sekarang bukan membawa persoalan ini pada ranah debat atau diskusi berkepanjang, bertele-tele, namun juga tanpa ujung yang jelas. Pendekatan untuk mengetahui manusia berperadaban pertama yang lahir di bumi ini adalah 'pendekatan kontemplatif'. Sebelum memasuki ke dalam dunia pengembaraan, siapa manusia pertama, hal penting yang harus dilakukan adalah mengenal terlebih dahulu, siapa diri kita? Sudahkah kita, bahkan saya pribadi, mengenal diri sendiri? Faktanya kita terlalu banyak mempersoalkan apa dan siapa yang berada di luar diri kita. Kita hanya mengenal nama dan bentuk fisik diri kita saja. Dari mulai dewasa hingga tua nanti, hanya tampilan fisik saja yang kita kenal bahkan kita pamerkan melalui photo-photo di berbagai media sosial. Namun bisa jadi, itu adalah salah satu perjalanan untuk mengenal lebih dalam siapa diri kita?
Logika pun menyimpulkan, saat kita bercermin siapa diri kita? Kita sedang berpijak di mana? Wajah kita memiliki ciri-ciri ras apa? Kemudian muncul persoalan lain, jika pada masa lalu manusia berasal dari dua pasang saja, kenapa pada masa beberapa ribu bahkan juta tahun lalu hingga sekarang muncul kelompok-kelompok manusia dengan berbagai ras, suku, atau etnis dengan berbeda-beda tampilan, postur, bentuk muka. Ada ledakan namun terstruktur. Apakah manusia pertama berupa sebuah komunitas atau benar-benar sepasang saja? Tetap menjadi sebuah misteri. Jawaban sementara terhadap persoalan ini adalah dengan melihat diri kita, maka patut diduga, Alloh telah menciptakan manusia secara berkelompok karena disesuaikan dengan fitrah manusia sendiri sebagai mahluk sosial. Sejauh ini, beberapa kajian paralogis pernah memberikan semacam jawaban awal. Proses penciptaan dari ruh hingga terpadunya antara ruh dan jasad manusia melalui sebuah transformasi berbagai unsur. Ini sulit dijelaskan dengan jalan singkat, pembentukan unsur-unsur menjadi manusia, adanya perubahan secara bertahap dalam waktu singkat (revolusi fisik) adalah berbanding terbalik dengan penemuan-penemuan modern tentang evolusi manusia dari hal sederhana menjadi hal kompleks.
Dalam memaparkan penciptaan atau permulaan manusia awal, baik wahyu maupun pengetahuan kontemporer tetap menyuguhkan persoalan fiktif, antara benar dan tidak. Wahyu memaparkan manusia pertama berasal dari tanah ketika pengetahuan (teori evolusi) memaparkan manusia berasal dari tanah lempung dan hangat lantas berkembang dari satu sel, beberapa sel, jutaan hingga milyaran sel. Tetap misteri namun harus diterima secara ikhlas.
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Manusia Pertama (Bagian 1)"