Cerbung: Distorsi

Ini hidupku, kalian mengira hidupku bahagia? Memiliki pekerjaan enak, menerima gaji bulanan yang cukup, bukan untuk diri sendiri saja juga bisa dibagi dan dinikmati oleh orang-orang dekatku? Kalian akan menyangka, lelaki sepertiku akan dengan mudah diterima bekerja di perusahaan apa pun, teman-temanku pun berpikiran sama, mereka melihat dengan cermat masa laluku seperti apa. Di antara kalian, entah perempuan ataupun lelaki banyak yang memiliki anggapan, orang sepertiku dengan sebutan pintar, cerdas, atau apa pun yang sering berhubungan dengan persoalan-persoalan otak, IQ, kecerdasan, atau apa saja, kalian bisa menyebutnya.

Soal cinta? Ya, masalah itu sering menjadi hantu bagiku. Aku seperti kalian, manusia normal dan wajar, menyukai wanita berparas cantik, bersikap jujur, dan apalagi jika wanita itu mewangi semerbak parfum pada tubuhnya. Ya, benar.. sangat wajar. Setiap lelaki menyukai kecantikan, begitu pula sebaliknya seorang perempuan. Meskipun, ukuran kecantikan bukan sebatas pada wajah saja. Tempo hari, ada wanita berparas cantik namun temanku berbisik: dia itu tidak cantik! Entah menipu diri atau apa aku tidak tahu, jelasnya... aku dari sejak duduk di SMP hingga sekarang menyukai wanita berparas bersih, ayu, dan lembut. Dan.. kalian akan mengira, dengan mudah lelaki sepertiku bisa mendapat apa yang aku inginkan, bukan begitu?

Aku ingin sekali jujur kepada kalian sejak beberapa bulan lalu, namun selalu aku urungkan, karena ketidakberanianku saja, mungkin. Kebahagian selalu kalian lihat saat aku memperlihatkan seutas senyum, kalian bisa jadi menatapku berlama-lama. Beberapa di antara kalian sering mengirimkan pesan melalui BBM, WA, dan melalui akun-akun media sosial milikku, inti pesan yang disampaikan begitu beragam, lebih banyak mengupas hal remeh-temeh dalam kehidupan; di antara pesan yang kalian sampaikan ada yang menyoal, Tuhan, Agama, Budaya, dan hal apa saja yang sama sekali tidak pernah kita sangka sebelumnya persoalan ini akan menjadi sesuatu -bisa dikatakan trendi- di jaman internet dan kemajuan ini. Aku bukan tidak mau membalas atau membahas apa yang kalian tanya, jawabku padat saja, jalani jidup, tidak usah kalian rencanakan ini dan itu jika memang tidak akan sanggup kalian jalankan, mengalir saja. Faktanya, tidak sedikit kegagalan menghampiri apa yang selalu kita rencanakan. Memang misterius sekali hidup ini.

Di rumahku ada sebuah lemari pakaian, dia memiliki cermin pada satu pintu, ya.. pintu kanan. Setiap pagi setelah mandi, aku sering berlama-lama menatap cermin. Wajahku sering menampakkan hal menakutkan, aku selalu takut setiap bercermin, wajah sosok mahluk bergigi tajam dan bermuka penyok hadir dalam cermin. Awalnya aku bertanya dalam hati, inikah aku? Lelaki yang biasa akrab dan disebutkan sebagai lelaki tampan, dalam arti tidak jelek tapi cukup tampan di antara empat tokoh punawakawan dalam Wayang Golek. Namun pada cermin itu, wajahku begitu buruk, akankah kalian dan orang-orang di sekitarku tetap menyukaiku saat kalian atau mereka tahu dengan persis wajahku saat bercermin? Akan banyak di antara kalian yang berlari tunggang-langgang, entah takut kepadaku atau muak saat topengku terbuka.

Beberapa teman sekampung pernah menanyakan asal-usulku, dari mana aku? Siapa orangtuaku? Aku dianggap orang baru, padahal sudah hampir satu windu aku tinggal di kampung ini, setelah pindah dari kampung kelahiran. Bukan hanya teman, tetanggaku juga demikian, menanyakan asal-usulku. Padahal sejak pertama pindah ke kampung ini, aku sudah memberikan surat keterangan pindah kepada ketua RT, bahkan para tetangga pun sebenarnya sudah tahu, dari mana aku. Tapi biarlah, banyak jawaban terhadap sikap mereka, kalian akan memberikan pandangan, mereka selalu ingin tahu, atau apa lah. Terserah, bagiku hal itu adalah hal remeh-temeh, tidak menjadi soal dari mana aku berasal, semua pada akhirnya akan diam juga pada saat yang tepat. Sama halnya dengan teman dan tetanggku, sebagian dari kalian sampai saat ini masih bertanya-tanya, siapa sebenarnya aku ini? Aku akan mengisahkan hidupku yang sebenarnya kepada kalian, tentu dengan kejujuran. Jika kalian bertanya kepadaku tentang ‘siapa pendamping hidupku?’ atau ‘ aku memiliki cinta sejati atau tidak?’, akan aku katakan kepada kalian dengan jujur, sejujur-jujurnya.

Waktu kecil, bahkan sejak masih bayi, aku tidak tinggal bersama orangtua, kakek dan nenekku langsung mengambilku. Aku diurus dan dirawat oleh kakek dan nenek. Saat tumbuh besar, dalam otak kepalaku tertanam, kakek dan nenek adalah orangtuaku. Pandangan ini memengaruhi cara pandangku terhadap arti persaudaraan, anak-anak kakek tidak aku panggil paman atau bibi, tapi aku panggil sebagai kakak, o, iya.. termasuk ayah dan ibuku sendiri, aku pernah menganggapnya, mereka adalah kakak-kakakku. Sudah tentu, paman dan bibi bahkan kakek dan nenekku selalu mengarahkan, bahwa mereka termasuk ayah dan ibuku bukan kakakku. Nah, tentu kalian memahami, di masa kecil saja cara pandangku sudah seperti itu, mau dikatakan kacau atau di luar dugaan atau apa saja silakan. Kehilangan arah pikiran yang pasti? Bisa saja kalian menyebutnya demikian. Masalah kebahagiaan ketika kecil? Aku cukup bahagia, sebab kehidupan diisi oleh berbagai permainan yang hanya pantas dilakukan oleh anak-anak. Meskipun menurut penuturan seorang ahli jiwa pada sebuah rumah sakit di kotaku, masa lalu aku begitu hambar karena kehilangan arah tentang hal yang pasti, bercampurbaurnya antara hal yang pasti dengan kenisbian. Aku hanya mengangguk, tidak perlu kusanggah hasil uji test prikologi yang dia rangkum.

Menurut pendapat beberapa ahli, seorang anak pendiam itu tidak baik bagi kehidupannya di masa yang akan datang, benarkah? Menurut penuturan nenek, saat kecil aku sering dipuji oleh teman-teman nenek, aku ini berbeda dengan anak lain, karena pendiam, mereka menyebutku anak soleh karena di kampung, kesolehan biasa disandingkan dengan sikap diam. Orang-orang di kampung akan menyebut bandel, lengger, badeur, bangor kepada anak yang banyak berontak dalam hidup, tidak bisa diam. Pandangan teman-teman nenek terhadap aku semakin kuat saat aku memasuki umur tiga sampai empat tahun. Kakek dan nenek sangat telaten mengajarkan huruf hijaiyyah kepadaku, setiap sehabis maghrib aku diajarkan membaca huruf Arab itu, juga alfabet latin.

Saat menjelang akan memasuki usia empat tahun aku telah bisa membaca baik aksara latin juga aksara Arab. Kebiasaanku bisa dikatakan seperti orang atau anak gila, saat berjalan tanganku selalu digerakkan seperti sedang menulis di udara, sudah bisa dipastikan orang di sekitar akan bertanya-tanya, kenapa aku melakukan itu? Entahlah, tiba-tiba setiap hari secara spontan tanganku bergerak membentuk irama apa yang ada dalam pikiranku, jika dalam pikiran muncul : aku ingin makan, maka tanganku bergerak menuliskan isi pikiran itu, benar.. menuliskannya di udara, mengambang. Aku akrab dengan majalah, koran, dan Quran di usia empat tahun. Kekagetanku adalah saat menemukan sobekan kertas koran di jalan, tersusun aksara yang tidak pernah aku kenal sama sekali. Aku merasa bodoh sejak kecil, ternyata masih ada aksara lain yang tidak dan belum diajarkan oleh kakek dan nenek. Saat aku bawa kepada kakek, beliau mengatakan, itu aksara China. Kakek berjanji suatu saat akan mengajarkan itu kepadaku.

Masa kecil itulah yang memiliki pengaruh besar terhadap hidupku sekarang. Pernah ada diantara kalian menanyakan keyakinanku. Tentu saja ini masalah privasi, aku rahasiakan saja, meskipun dalam kartu identitas tertulis jelas nama salah satu agama, namun terlalu naif bagiku untuk mengatakan jika diri ini telah bisa mengamalkan apa yang diajarkan oleh agama. Aku pernah menjelma menjadi manusia paling fanatik terhadap agama. Dalam otakku tertanam virus jika agama orang lain adalah agama yang salah dan sangat sesat. Aku menganggap diriku sebagai calon penghuni sorga ketika telah mengerjakan amalan-amalan dan ritual yang telah sesuai dengan tuntunan. Saat itu aku hidup dalam kotak, pikiran dan cara pandang terhadap kehidupan terdistorsi, yang aku lihat hanya aku dan kelompokku, kamilah yang paling benar, mereka bahkan kalian salah, harus mengikuti cara hingga agamaku! Selain itu, siksa hidup akan menjumpai setiap orang yang berada di luar kotak dan sekat yang telah kami ciptakan. Distorsi dalam cara pandang ini membuat aku kaku namun nyaman dan tanpa beban saat menuding salah kepada siapa pun. Hidup hanya dua pilihan, ikut cara kami atau selain itu adalah kesesatan! Tidak ada toleransi apa pun dalam hidup.

Cara hidupku berubah ketika aku memandang diriku sendiri pada sebuah cermin. Betapa beragam sekali apa yang telah disematkan oleh Tuhan pada tubuhku ini. Terus terang, saat itu aku membuka seluruh pakaian, aku benar-benar telanjang di depan cermin. Wajah kusam akibat terlalu serius dalam mengadapi hidup beringsrut memudar, tiba-tiba pada bibirku merekah seutas senyum saat menatap cermin dan di hadapanku keluar sosok baru, manusia telanjang dengan wajah dihiasi hanya seutas senyum. Aku menertawakan ketelanjangan diri sendiri. Terus terang, setiap hari aku selalu melakukan hal itu, bertelanjang bulat di hadapan sebuah cermin sambil tersenyum. Ya, kalian sudah bisa menerkanya, sesekali sambil sedikit berjoget.

Sejak saat itu, setiap satu minggu sekali aku pergi ke tempat-tempat yang jauh dari keramaian dan ingar-bingar deru mesin kendaraan, duduk berlama-lama di bawah rapat dan rindangnya pepohonan. Aku telah keluar dan merdeka dari cengkeram dan jeruji kotak yang dibungkus oleh agama serta keberanian dalam membajak nama Tuhan untuk mencuri hak manusia lain. Masa kecilku kembali menemui diriku, aku menjadi seorang pendiam, saat teman-teman berbicara ini itu , aku menjadi lebih banyak mendengar dan mencerna, meskipun sesekali keluar kelakar sederhana. Tanganku kembali sering bergerak secara spontan, menuliskan apa pun yang muncul dalam pikiran, hampir tidak terbendung, segala hal ingin aku tulis di udara.

Perubahan dalam cara hidup itu telah mengguncang kehidupan istriku, kesalehanku dikatakan olehnya telah pudar diganti oleh kedunguan kekanak-kanakkan. Maka sangat tidak mungkinlah manusia dewasa harus bersanding dengan seorang anak. Dia menafsirkan, aku telah keluar dari hidup ini, dari aturan Tuhan, bahkan keluar dari agama Tuhan yang dianut oleh manusia normal. Lalu disimpulkan lebih jauh, perbedaan keyakinan ini telah menggugurkan ikatan lahir bathin. Benarkah seperti itu? aku ragu dengan kesimpulan yang telah dibuat oleh manusia-manusia dalam kotak itu. Namun aku pun ragu terhadap keutuhan ikatan lahir bathin antara aku dengan dia. Hingga pada suatu malam, dia menangis tersedu, memelukku erat sekali, aku membalasnya sambil memejamkan mata, air mata pun mengalir. “ Cinta dan kasihku begitu besar kepadamu, namun kita harus berpisah.” Bisiknya. Dan kisah paling indah dalam hidupku pun berlalu. Ya aku telah berjuang, bagaimana cara mengasihi dan mencitai wanita itu, namun karena aku telah berada di luar kotak, perjuangan apa pun tidak akan digubris oleh para manusia kotak. Kalian akan menyebutku seorang yang telah gagal, seperti seorang lelaki yang memiliki arit tajam namun halaman rumah tetap dipenuhi oleh rerumputan. Tapi pikiranku berbeda dengan kalian, ketika dalam genggaman, aku sedang memegang arit tajam dan halaman rumahku tetap ditumbuhi oleh rerumputan, bagiku, arit yang kupegang tetap merupakan arit tajam, persoalan rumput adalah hal lain. Sebut saja aku egois.(Kang Warsa)

(Bersambung)

Posting Komentar untuk "Cerbung: Distorsi"