Kenapa masyarakat di daerah Mesopotamia tersebut menyembah dewi Kesuburan, Ishtar? Ada beberapa alasan, dalam masyarakat gurun, bulan merupakan benda angkasa yang ditunggu-tunggu ketika malam gelap. Pola hidup nomaden masyarakat gurun yang telah terbiasa melakukan perjalanan atau perpindahan tempat pada malam hari sangat membutuhkan alat penerang dan penunjuk arah mata angin. Bulan dan gemintang dijadikan pedoman, sebagai penunjuk, bentuk terima kasih mereka kepada dua benda angkasa tersebut yaitu dengan membuat patung atau arca sesembahan sebagai proyeksi dewi Bulan-Bintang. Menjadi alasan lain, pola pikir ini berpengaruh besar terhadap pengetahuan astronomi masyarakat di Babilonia hingga ke Ur.
Korelasi sederhana antara keyakinan yang dianut oleh masyarakat Babilonia-Ur dengan perjalanan spiritual Ibrahim adalah sebuah morfologi keyakinan yang dianut oleh 'Sang Bapak Monotheisme' tersebut. Banyak di antara kita masih memiliki dugaan, proses penemuan 'Tuhan' oleh Ibrahim hanya berlangsung selama tiga hari saja, dari mulai Ibrahim memiliki anggapan Bulan, Bintang, hingga Matahari sebagai Tuhan. Padahal, penemuan jati diri dalam bingkai spiritualitas memerlukan waktu cukup panjang. Hanya saja, sebagian besar dari kita selalu ingin mengambil cara-cara pintas dalam memberikan pandangan terhadap satu hal. Bahkan, kita akan selalu diliputi rasa takut untuk mengatakan jika Ibrahim pernah menyembah benda-benda angkasa, bisa jadi berhala dan patung sebelum menemukan sebuah konklusi tentang konsep 'Ketuhanan' yang jelas.
Keyakinan atau sistem religi yang dianut oleh masyarakat mana pun pada mulanya bersifat Hetnoteis, setiap etnis menganut keyakinan sesuai dengan pandangan masing-masing kaum atau suku. Sistem keyakinan kemudian dilembagakan menjadi agama resmi masyarakat melalui kekuasaan, politik, bahkan paksaan. Hingga sekarang, beberapa keyakinan dan sistem religi masih menganut Hetnoteisme, misalkan; Yahudi, Sunda Wiwitan, Kaharingan, dan keyakinan-keyakinan lokal lainnya. Pemujaan terhadap Ishtar disebarluaskan ke wilayah di sekitar Mesopotamia, terjadi deviasi, di masyarakat Arab kuno, Ishtar diyakini sebagai Dewi Air, di pinggir sumur Zamzam sebuah patung ditempatkan. Dalam tradisi Aramia, Istar atau Easter diyakini sebagai Dewi yang menumbuhkan pucuk-pucuk dedaunan. Bisa jadi, deviasi ini terjadi sebagai pengaruh dari lingkungan dan kondisi alam di mana sebuah masyarakat tinggal. Di masa sekarang, Bulan dan Bintang dijadikan simbol mulai dari bendera, partai politik, lembaga dan organisasi, rumah sakit, menara mesjid, serta emblem-emblem lainnya oleh negara-negara Islam.
Deviasi tidak hanya terjadi dalam sistem religi saja, berbagai wiracarita, folklor, dan cerita yang berkembang di masyarakat pun mengalami pembiasan. Tradisi biblikal menyebutkan perjalanan Ibrahim berlangsung dari Babel hingga Ur, tanpa menyentuh daerah Haran yang berbukit-bukit. Sementara dalam cerita-cerita masyarakat Arab diyakini, Ibrahim pernah singgah ke Haran, Mekkah kemudian membangun Ka'bah bersama anaknya dari Hagar (Hajar), Ismail.
Namun, kita sama sekali tidak akan pernah tahu secara pasti, siapa Ibrahim? Keyakinan apa yang dianut olehnya? Sebab, menemukan sejarah dan kehidupan di masa lalu merupakan hal yang tidak mudah, seperti kita sedang mencari sebutir mutiara di antara tumpukan jerami. Jalan pintasnya, cukup dengan meyakini kepada berita-berita yang berkembang dan diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi, hingga tertulis dalam kitab-kitab suci sebagai wahyu atau firman Tuhan.
Kang Warsa
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
Posting Komentar untuk "Easter, Ibrahim, dan Ketidaktahuanku"