Monyet jeung Kuya

Penulis cerita binatang atau  fabel ternama memang Aesof, seorang penulis dari sebuah pulau kecil di Ionia. Namun, fabel sebagai cerita rakyat atau folklor pun telah di kenal begitu luas di masyarakat Nusantara, bisa jadi, karena keheterogenan flora dan fauna di wilayah ini, entah berapa ratus ribu fabel yang menyebar di masyarakatnya, diceritakan dari generasi ke generasi.

Di Tatar Sunda ada fabel 'Sakadang Monyet jeung Sakadang Kuya". Dengan berbagai derivasi dan turunan cerita yang dibahasakan baik di rumah oleh orangtua kepada anak-anaknya juga di sekolah oleh para guru kepada para siswanya. Pembahasaan fabel Sakadang Monyet jeung Kuya ini merupakan media penyampaian pesan-pesan moral dalam kehidupan. Antara rasionalisme yang dianut oleh Sakadang Monyet atau sikap Deep Thinking yang sering dilakukan oleh Sakadang Kuya.

Fabel Sakadang Monyet jeung Kuya merupakan sebuah refleksi dan proyeksi kehidupan dua masyarakat; masyarakat yang hidup di pegunungan dan yang tinggal di dekat perairan (bantaran sungai dan tepi danau), masyarakat berburu dan meramu. Dalam ilmu sosial karakter utama masyarakat gunung adalah keras, teguh, mengutamakan paguyuban, komunalis, karakter mereka dibentuk oleh lingkungan pegunungan. Sementara ciri utama masyarakat yang tinggal di bantara sungai dan tepi danau memiliki karakter sungguh-sungguh dan tenang, lebih banyak diam, mayoritas masyarakat Sunda memiliki karakter ini. Pada beberapa ribu tahun lalu karakter ini dimiliki oleh karuhun Sunda dan dimanfaatkan dalam bentuk meditasi dan berpikir kontemplatif.

Di Kota Sukabumi terdapat beberapa 'kampung' yang menggunakan kata Gunung dan Situ, seperti; Gunungpuyuh, Gunung Parang, Lembursitu, Situmekar, Situendah, dan Situgede. Namun untuk saat ini, misalkan Lembursitu, kita sama sekali tidak menemukan ada tanda-tanda bahwa di daerah tersebut ada sebuah telaga besar atau danau saat ini. Padahal, penamaan sebuah kampung atau lembur di masa lalu selalu identik dengan kondisi alam di daerah tersebut. Pertanyaan mendasar dari fakta yang terlihat sekarang adalah : kemanakah telaga besar tersebut?

Bukan tanpa alasan jika di daerah yang memanjang dari Santiong hingga Tegallega pada jaman dahulu memiliki beberapa telaga purba, kontur alam di daerah tersebut bisa dijadikan salah satu alasan. Perkampungan Santiong, Pangkalan Kulon, dan Tegal Jambu hingga abad ke 18 masih memiliki nama Situgede, saat ini, bekas sebuah telaga purba terlihat dari kontur alam sebelah barat santiong hingga ke Bojongloa merupakan cekungan dengan kedalaman puluhan meter yang telah menjadi areal persawahan dan pemukiman penduduk. Kontur alam ini begitu terlihat jelas jika dilihat dari Cipanengah Hilir dan Tegal Jambu.

Untuk wilayah Lembursitu, tanda-tanda jika pada jaman dahulu pernah memiliki telaga purba adalah kontur alam yang membentang dari Bojongloa hingga Tegallega dan Pasar Saptu membentuk cekungan (calubek) dengan kedalaman beberapa meter. Patut diduga, karena telaga purba ini hilang karena beberapa adanya perubahan lapisan atas kerak bumi sebagai akibat pergeseran lempeng Cimandiri.

Telaga-telaga purba itu kini telah hilang membentuk areal persawahan (rawa), sejalan dengan sudah jarangnya dibahasakan fabel Sakadang Monyet jeung Sakadang Kuya di dalam kehidupan masyarakat. Cerita yang akan menarik di masa yang akan datang adalah tentang hilangnya persawahan akibat digerus oleh pabrik-pabrik yang sudah mulai mengakar di daerah perbatasan kota dan kabupaten Sukabumi.

Kang Warsa

Edisi Cetak:

Posting Komentar untuk "Monyet jeung Kuya"