Sejak pembukaan lahan tertutup menjadi areal pemukiman sederhana di tahun 1600-an, adanya pertambahan penduduk dari tahun ke tahun, pada awalnya kehidupan masyarakat Balandongan generasi pertama bersifat komunal. Lahan-lahan tertutup mulai dibuka menjadi lahan garapan. Pengerjaannya dilakukan secara bersama-sama. Awal abad ke-20, telah terpola bentuk pemukiman memanjang, di mana masyarakat membangun perumahan mereka mengikuti alur jalan utama.
Struktur masyarakat Balandongan hingga tahun 1900-an ditandai oleh dua ciri utama, secara vertikal telah terbentuk dua lapisan masyarakat; kelompok pemangku kepentingan (lapisan atas) atau tokoh masyarakat dan masyarakat umum (Lapisan Bawah). Hanya saja, tidak terdapat kesenjangan terlalu besar antara lapisan atas dengan bawah ini. Sementara secara horisontal tidak terdapat perbedaan yang cukup signifikan, sebab bagaimana pun juga, dalam sebuah masyarakat komunal, kehidupan yang berjalan dan berkembang bersifat homogen, kehidupan mereka berlangsung sebagaimana masyarakat agraris pada umumnya. Tidak terdapat perbedaan krusial dalam hal keyakinan, budaya, etika, dan aspek-aspek sosial lainnya.
Masyarakat Balandongan –identik dengan kondisi masyarakat Sunda – meyakini sepenuhnya, para tokoh masyarakat ini sebagai kelompok yang mampu menyelesaikan tugas-tugas bagaimana cara "ngokolakeun lembur jeung ngaheuyeuk kampung." Mempercayai sepenuhnya ini bukan berarti mereka melepaskan tanggungjawab terhadap kewajiban mereka dalam membangun kampungnya sendiri. Dalam masyarakat Balandongan awal telah terbina konsep tritangtu, dimana setiap komponen masyarakat mengerjakan kewajiban sesuai dengan tugas masing-masing. Tritangtu karesian, kasepuhan, dan keratuan mengalami morfologi dalam realitas kehidupan; adanya tokoh agama, guru, dan kekuasaan. Tokoh-tokoh tersebut berbeda dengan tokoh masyarakat Balandongan kontemporer, mareka tidak mengambil alih peran satu tokoh, mereka lebih banyak melakukan komunikasi dan internalisasi bidang-bidang kehidupan. Misalkan, Haji Sulaeman tidak pernah menginginkan dirinya menjadi tetua atau kepala kampung, kepala kampung diberikan sepenuhnya kepada Ama Erpol.
Kehomogenan masyarakat dalam keyakinan ditandai oleh keteguhan mereka memegang tradisi leluhur yang telah berasimilasi dengan Islam. Meskipun mereka telah memeluk Islam, namun sampai tahun 1960-an, etika dan budaya yang telah diwariskan oleh leluhur tetap dipegang teguh oleh masyarakat. Dan secara horizontal, partikularisasi hanya terjadi pada beberapa segmen kehidupan; kelompok petani, tokoh agama, guru, dan pedagang. Profesi guru sangat dihormati oleh karena tidak sembarang orang bias menjadi guru, kecuali dituntut memahami ilmu agama, juga harus merupakan lulusan dari sekolah setingkat di atas SR (Sakola Rakyat), beberapa guru yang telah mengajar masyarakat Balandongan sejak tahun 1930-1960 antara lain; Abah Syafri, Atmadja, Haji Sulaeman, dan Haji Ilyas. Dari tahun 1970-2016 telah lahir guru-guru agama dan Sekolah Dasar seperti; M. Odang, M. Zaenal Arifin, Endang Hasbulloh, Endang Abdurrahman, M. Zakaria, M. Jenal Arifin, Ujang Dedi Humaedi, dan Tatang Supriatna.
Pranata sosial pertama yang lahir di Balandongan sudah tentu adalah pendidikan rumahan, pada masyarakat awal, pendidikan etika dilakukan oleh masyarakat kepada anak-anak difokuskan di rumah-rumah. Setelah selesai melakukan pendidikan di rumah, setelah seorang anak menginjak usia enam tahun kemudian dimasukkan ke lembaga pendidikan tidak formal, pengajian di mesjid atau rumah para kyai. Sampai pada tahun 1935, lembaga pendidikan non formal berupa Madrasah Diniyyah dan pondok pesantren kemudian disinergikan menjadi Sakola Rakyat dibangun oleh masyarakat. Sekolah Rakyat kemudian dipindahkan dari Balandongan Kidul ke Balandongan Kaler pada tahun 1960-an, di era Orde Baru nama sekolah diganti kembali menjadi SDN Sudajayahilir I dan II. Karena terletak di Balandongan, di awal reformasi, SDN Sudajayahilir I dan II diganti kembali menjadi SDN Balandongan.
Lahirnya pranata sosial di bidang pendidikan ini telah mengundang rasa penasaran Belanda untuk mengawasi kampung ini. Satu minggu sekali para tentara Belanda melakukan pengawasan dan merazia rumah-rumah penduduk yang dicurigai menyembunyikan para pejuang kemerdekaan. Pengawasan lebih ketat dilakukan oleh Belanda pada tahun 1940, pasca insiden pembunuhan tentara Belanda di wilayah perbatasan Balandongan dan Kampung Pangkalan. Informasi yang tersebar, pembunuhan tersebut sebenarnya dilakukan oleh kelompok cikal bakal gerombolan yang dikemudian sering melakukan aksi terror kepada masyarakat di tahun 1950-an.
Pranata sosial di bidang kekuasaan telah terbentuk di tahun 1912, masyarakat Balandongan melalui kesepakatan-kesepakatan atau konsensus-konsensus mendirikan sebuah balai pertemuan, rumah panggung berukuran besar sebagai tempat pertemuan antara tokoh masyarakat dengan masyarakat umum. Rumah besar ini memiliki sebuah Balandongan, panggung atau dalam masyarakat Sunda dinamai papayon, inilah yang melatarbelakangi perkampungan baru tersebut diberi nama Balandongan.
Peran serta perempuan belum terlihat sejak kampung ini diberi nama Balandongan. Perempuan masih bertindak sebagai ibu rumah tangga yang memiliki peran menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga saja. Meskipun demikian, di masa perjuangan kemerdekaan, beberapa perempuan telah berani memosisikan diri mereka sebagai petugas logistik yang menyiapkan konsumsi bagi pejuang-pejuang kemerdekaan, adalah seorang perempuan bernama Ambu Hadwi yang telah mengabdikan diri sebagai petugas logistik di masa perjuangan kemerdekaan.
Konstelasi politik pasca kemerdekaan di Balandongan tidak menggambarkan kemajemukan yang cukup signifikan. Mayoritas masyarakat Balandongan sebagai bagian dari masyarakat santri memilih Masyumi sebagai aliran politik yang mereka pegang. Memang ada beberapa orang yang memilih menjadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), namun hal tersebut dilakukan secara diam-diam juga di antara mereka hanya tercatat sebagai anggota yang "ditulis tonggong' saja. Hingga pada tahun 1950an, beberapa anggota PKI ini bergerak menjadi anggota gerombolan, masyarakat menamai mereka "gorombolan". Kelompok gerombolan ini terkoneksi dengan gerakan gerombolan yang lebih besar di daerah Parungseah. Informasi yang berkembang sampai sekarang memang masih simpang siur, mereka sering dikaitkan dengan gerakan-gerakan kaum komunis, dan pada saat yang sama kegiatan mereka sering dikaitkan dengan gerakan DI/TII. Secara politis, gerakan DI/TII sebenarnya tidak terlalu berpengaruh di Sukabumi pada tahun itu, berbeda dengan gerakan-gerakan PKI, mereka memiliki target atau sasaran yang jelas dan lebih realistis, yaitu Pemilu 1955. Asumsi yang saya kemukakan, gerakan kaum gerombolan ini lebih termotivasi oleh PKI yang memang memiliki basis kekuatan di wilayah Baros sebelah Timur (sekarang Jubleg).
Di masa Orde Baru, kebencian masyarakat Balandongan terhadap kaum komunis telah begitu mengakar. Semangat ini bukan hanya membuktikan keberhasilan pemerintah dalam mempropagandakan anti komunis, lebih dari itu, gerakan-gerakan kelompok komunis memang telah banyak melukai masyarakat Balandongan. Pada tahun 1950-an, sebuah rumah dibakar oleh para gerombolan, mereka melakukan terror kepada masyarakat, kemudian terjadi pengungsian besar-besaran ke daerah Selatan, pada saat itulah, kaum gerombolan melakukan perampokan dan menjarah harta masyarakat.
Memasuki tahun 1980-an, terjadi perubahan besar-besaran dalam kehidupan masyarakat Balandongan. Kelompok-kelompok sosial terbentuk, masyarakat telah memosikan diri mereka pada paguyuban-paguyuban sesuai dengan apa yang mereka minati. Lahir perkumpulan olahraga bulutangkis bernama PB. Balebat, kelompok Bola Voli, paguyuban pencak silat, kelompok ibu-ibu pengajian, dan PKK. Kelompok perempuan memperlihatkan minat mereka, setiap hari Kamis di rumah Ibu Mimin diselenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang tata boga, tata busana, membordir manual, dan teknik menyulam pada kain strimin. Hasil sulaman para perempuan tersebut dipajang di rumah mereka sendiri, ditempel pada dinding. Bukan hanya diikuti oleh para ibu rumah tangga, para gadis remaja pun memperlihatkan antusias sangat tinggi dalam kegiatan ini.
Sampai tahun ini, struktur masyarakat Balandongan telah jauh berbeda dengan masyarakat generasi awal; keheterogenan telah muncul, bukan hanya terdiri dari etnis Sunda saja, di Balandongan telah banyak pendatang dari berbagai suku dan etnis; Jawa, Batak, dan Minang. Aliran dalam keyakinan dan agama pun telah menunjukkan kekomplekan, tidak hanya ada N.U dan Muhammadiyah, Salafy, JT, HTI, dan Tarbiyyah pun telah hadir. Bahkan menjelang masa reformasi di Balandongan berkembang gerakan Darul Arqom dan N11, sampai saat ini dua gerakan ini sudah tidak diminati lagi oleh masyarakat karena dinilai terlalu banyak 'membual' dengan mengatasnamakan agama. Organisasi dan paguyuban kepemudaan pun berkembang secara sporadis. Hal ini menunjukkan telah terjadi perubahan dari masyarakat rural perdesaan menuju masyarakat urban perkotaan di Balandongan.
KANG WARSA
Posting Komentar untuk "Struktur Masyarakat Balandongan (1900-2016)"