Tidak ada catatan sejarah, sejak kapan penduduk generasi pertama menetap dan tinggal di Balandongan, dari mana generasi pertama itu berasal, apa yang mereka bawa saat pertama kali tinggal di daerah subur yang dipenuhi oleh kerapatan pepohonan. Penelusuran mengenai hal ini hanya bisa dilakukan menurut penyampaian cerita dan informasi dari mulut ke mulut. Masyarakat generasi pertama yang pertama kali tinggal di Balandongan berasal dari daerah utara dan timur Jawa Barat. Mereka mulai menempati daerah ini pada tahun 1500-an. Membuka lahan tertutup menjadi daerah pemukiman, kemudian saat Belanda datang ke Sukabumi mulai dibangun jalan umum yang menghubungkan pemukiman baru ini ke jalan utama, Jl Pelabuan II (sekarang).
Etika dan budaya yang berkembang dalam masyarakat generasi pertama hingga masa pergolakan kemerdekaan di Balandongan ini tidak jauh berbeda dengan etika dan budaya yang ada di tatar Sunda. Sebagai sebuah kerajaan, Pajajaran telah menempatkan orang-orang terpelajar ke daerah kekuasaannya. Bukti dari hal ini adalah adanya pengakuan dari beberapa orang di Balandongan, pada tahun 1970-an, mereka memiliki koneksi langsung sebagai keluarga Pajajaran. Pengakuan ini dibuktikan dengan beberapa hal, garis keturunan kerabat dan keluarga mereka dari generasi ke generasi bertindak dan menempati posisi strategis dalam kehidupan; menjadi tetua kampung, pemangku kepentingan, tokoh agama, dan jabatan-jabatan penyebaran etika serta budaya di kampung ini.
Masyarakat Balandongan, sejak generasi pertama hingga masa kemerdekaan mengembangkan ajaran totalitas sebagaimana manusia Sunda mengamalkan ajaran ini. Bentuk totalitas ini terwujud dalam etika dan budaya masyarakat waktu itu dengan mengembangkan sikap-sikap seperti:
A. Kerukunan
Masyarakat Balandongan mencintai kerukunan, keharmonian, menghindari konflik dan pertikaian terbuka. Kerukunan itu sendiri tidak hanya berlaku pada hubungan antara manusia saja, mereka dituntut hidp rukun dengan lingkungan atau alam dan dengan lingkungan tidak kasat mata. Mereka menghormati satu sama lain, seorang anak dilarang bersuara lebih keras kepada orang yang lebih tua. Tidak dibenarkan siapapun menyinggung perasaan orang lain. Keharmonisan atau keharmonian mereka dengan alam terpacar dari kebiasaan masyarakat, di setiap halaman rumah hingga tahun 80-an, masyarakat biasa menanam berbagai pohon, perkampungan dihijaukan oleh kerapatan berbagai pohon besar. Orang-orang yang lebih tua mengajarkan bagaimana generasi muda jangan sampai melakukan pengrusakan terhadap lingkungan dan alam.
Masyarakat pun dituntut harus akur dan harmonis dengan lingkungan gaib. Di tahun 1800-an, masyarakat Balandongan memang telah mengenal agama baru, Islam, namun mereka tidak menghilangkan tradisi yang telah lama hidup di masyarakat. Keharmonisan mereka dengan lingkungan gaib mewujud dalam sikap seperti yang diyakini oleh masyarakat, jika seseorang di malam hari melewati jalan yang ditumbuhi pepohonan besar sebaiknya meminta izin terlebih dahulu kepada si penunggu pohon. Ada juga cerita yang berkembang, seseorang tidak boleh sombong ketika memasuki tempat-tempat tertentu. Mereka menghormati arwah karuhun, setiap ada peristiwa-peristiwa besar mereka akan menghubungkannya dengan kemarahan Karuhun yang sudah tidak dihormati lagi oleh generasi baru. Setiap musim bercocok tanam dan musim panen, para petani biasa menyuguhkan sesajian kepada penunggu dan pemilik tumbuhan padi.
Bagaimana tata cara mereka mengabdi kepada Gusti Allah? Masyarakat Balandongan menempatkan Pangeran Anu Maha Kawasa pada kedudukan yang lebih tinggi. Hubungan sakral antara manusia dengan Pangerannya berbeda dengan hubungan manusia dengan sesama, lingkungan, dan hal-hal gaib. Masyarakat Balandongan generasi pertama cukup melakukan kontemplasi atau tapa saat melakukan pengabdian kepadaNya. Ketika Islam telah dianut oleh masyarakat pun kebiasaan ini masih dipegang teguh oleh mereka.
B. Kesopanan
Masyarakat Balandongan memiliki keyakinan, keharmonisan dan kerukunan tidak mungkin bisa tercapai jika dalam hidup antar individu tidak memiliki sikap sopan dan santun kepada orang lain. Sopan santun harus menjadi pilar kehidupan. Tata titi duduga peryoga masyarakat harus merefleksikan penghormatan kepada orang lain. Dalam penggunaan bahasa, harus dibedakan bagaimana seseorang yang lebih muda berkata kepada mereka yang lebih tinggi atau tua. Sikap ini bukan mencitrakan feodalisme melainkan sebagai upaya menempatkan manusia pada posisi yang seharusnya. Kesopanan masyarakat terlihat dari cara mereka melakukan komunikasi dengan sesama. Seseorang akan tetap mengatakan "sumuhun" kepada pernyataan orang lain meskipun bisa saja pernyataannya disangkal dengan kata "lain kitu". Namun bukan percekcokan yang mereka junjung tinggi, mereka lebih memilih bagaimana agar hidup dengan sesama tetap berlangsung rukun.
C. Keselarasan
Tidak jauh berbeda dengan dua etika dan budaya sebelumnya, keselarasan antara kehidupan lahir dan batin sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Balandongan. Cita-cita ideal yang diharapkan oleh masyarakat yaitu tercapainya ketentraman lahir dan batin dalam kehidupan. Masyarakat melakukan konsensus dan kesepakatan agar keselarasan hidup tercapai. Kesepakatan ini mewujud dalam bentuk tekanan masyarakat, mereka akan memghindari pertikaian apa dan bagaimanapun, tidak dibolehkan seseorang berkelahi dengan orang lain, jika terjadi hal demikian akan dikucilkan oleh masyarakat. Dua ikatan dalam kehidupan harus diakui oleh masyarakat, ikatan kekerabatan dan ikatan batin. Persaudaraan secara garis keturunan dan persaudaraan yang disebabkan oleh kesamaan emosi. Pengendalian emosi dalam menciptakan keselarasan hidup begitu ditekankan, dalam keadaan sedih, marah, kecewa,dan emosi jelek lainnya, masyarakat tidak usah terlalu berlebihan. Begitupun ketika mereka berbahagia, senang, atau penuh harap tidak perlu ditampilkan secara berlebihan. Wajar saja.
Seseorang akan dihormati oleh masyarakat jika dia telah bisa "mawa dirina", artinya mampu atau tidak seseorang membawa diri ditentukan oleh kematangan mental dan spiritual orang tersebut. Tidak mungkin seseorang dengan mental kekanak-kanakan bisa membawa dirinya dalam hidup. Terhadap hal ini, masyarakat Balandongan meyakini dengan sepenuhnya bahwa cita-cita ideal, terwujudnya keharmonisan, kesopanan, dan keselarasan merupakan takdir diri. Manusia Sunda pun pada umumnya memiliki keyakinan demikian, bahwa mereka sudah ditakdirkan hidup dalam kondisi demikian. Keyakinan ini ditanamkan dari generasi ke generasi. Pendidikan di rumah oleh orangtua kepada anak memiliki peran penting dalam menjaga nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Seorang anak dididik oleh orangtuanya agar benar-benar hidup rukun dan sopan dengan orang lain.
Bagaimana internalisasi nilai-nilai ini diajarkan oleh orantua kepada anaknya. Masyarakat memilik cara efektif dalam mengajarkan nilai-nilai tersebut. Orangtua jarang dan jangan memarahi seorang anak jika mereka melakukan kesalahan. Seorang anak ketika membandel cukup ditakut-takuti saja dengan apa yang ada di luar mereka. Sebagai contoh, saat seorang anak masih main saat akan memasuki waktu magrib atau wanci sareupna, orangtua cukup mengatakan: enggalan geura uih, bilih aya sandekala! Saya sendiri pernah mengalami, ketika sedang asik bermain di jalan, nenek memanggil saya kemudian berkata, jangan banyak main nanti ada mantri Agus! Seorang anak menangis cukup ditakut-takuti dengan kalimat: awas itu ada Pa Guru, spontan saja anak tersebut berhenti menangis.
Pola-pola pendidikan seperti ini tidak dimaksudkan oleh masyarakat untuk melahirkan generasi penakut, melainkan agar dalam diri anak tertanam rasa malu. Rasa malu ini lah yang menjadi barometer apakah seseorang telah benar-benar menjadi manusia dewasa atau tetap sebagai anak kecil. Orang yang tidak memiliki rasa malu akan melakukan perbuatan yang sangat memalukan. Dalam pengajaran kepada anak-anak, masyarakat pun sering melakukan ini, mereka akan menekankan agar siapapun menjauhi perbuatan yang sangat memalukan. Seorang ibu berkata kepada anaknya: " Jang , henteu kengeng kitu, isin ku batur!". Dengan demikian, siapapun akan berusaha menghindari perbuatan tercela dan memalukan ini.
Dari generasi ke generasi, etika dan budaya ini terus diterapkan oleh masyarakat. Hingga pada masa sekarang, metode-metode dan pengajaran etika seperti yang telah disebutkan tadi sudah sangat sulit diterima dan diterapkan kembali oleh generasi sekarang. Hal ini menandakan, etika dan budaya lokal memang telah tersisihkan oleh etika dan budaya luar yang cukup liar. Sebagai contoh, persinggungan dan konflik terbuka di masyarakat Balandongan saat ini bukan hal aneh lagi, rasa malu telah tercerabut dari kehidupan. Anak-anak Balandongan sekarang sudah tidak sungkan dan malu membantah perintah orangtuanya. Ditakut-takuti dengan hantu atau sandekala malah menjawab: " Uwahhh... Bohong! ", bahkan dalam bertutur sapa pun sudah mengandalkan kata-kata sarkastik atau kasar. Menyebut anjing, babi, atau setan kepada orang lain begitu ringan seolah tidak merasa salah. Perlu penelitian utuh dan menyeluruh terhadap deviasi dan anomali ini.
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Etika dan Budaya Masyarakat Balandongan (1800-2000)"