Modin di Balandongan (1970-1990)

Menyebut kata muadzin itu memang tidak pas bagi lidah orang Sunda, demi alasan kemudahan inilah, masyarakat Sunda -juga masyarakat Balandongan- lebih memilih kata modin sebagai penyebutan bagi orang-orang yang mengumandangkan adzan di mesjid. Namun tetap saja, DKM Mesjid akan menuliskan kata Muadzin dan Khotib pada papan nama-nama modin dan khotib di mesjid.

Tidak jauh berbeda dengan kehidupan di jaman Rasulullah, modin sholat Jum'at biasanya itu-itu juga. Di jaman Rosulullah, Bilal Bin Rabah, orang hitam dari Maroko tersebut yang selalu mengumandangkan adzan saat pelaksanaan sholat Jum'at. Sama halnya dengan kehidupan di Balandongan, modin yang  ditunjuk mengumandangkan adzan sudah pasti itu-itu juga. Abah Mandor Ja'i (alm) dipercaya sebagai seorang modin di Balandongan sejak tahun 1970-1990.

Kecuali sebagai seorang modin, Abah Mandor pun dipercaya sebagai seorang "pemulasara" siapapun yang meninggal dunia. Ada cerita aneh dan diluar nalar manusia normal. Konon, seorang pemulasara mayat akan mendapatkan wangsit dan pemberitahuan semacam bisikan gaib, kapan akan ada orang yang meninggal. Tentu saja, wangsit yang diterima oleh seorang pemulasara mayat tersebut melalui beberapa pertanda; bisa berupa suara-suara aneh atau pertanda lain berupa ilapat.

Seorang modin akan menjalani hidup yang berbeda dengan manusia pada umumnya. Karena tuntutan, seorang modin dituntut bangun lebih awal. Menjelang fajar, seorang modin harus membangunkan orang-orang, di tahun 70-an , sumber listrik speaker masjid masih mengandalkan akumulator (aki), modin selalu membacakan doa bangun tidur melalui pengeras suara itu. Tidak ketinggalan setelah atau sebelum membaca doa ,seorang modin selalu mengingatkan orang-orang dengan mengucapkan kalimat :" waktos parantos nuduhkeun tabuh satengah opat, garugah... garugah!"

Rutinitas lain yang biasa dilakukan oleh seorang modin yaitu mengisi penuh bak mesjid tempat orang-orang berwudhu, kebiasaan itu dilakukan pasca mesjid di perkampungan sudah tidak mengandalkan lagi air kolam. Mesjid-mesjid di perkampungan sampai pada tahun 90-an sudah pasti memiliki kolam. Kolam tersebut digunakan untuk mandi dan bersuci. Adalah sangat rasional, waktu itu keberadaan sebuah kolam menjadi tuntutan setiap mesjid, meskipun air kolam berasal dari selokan namun air selokan di waktu itu bisa dikatakan masih layak digunakan untuk bersuci.

Kisah seorang modin saat menimba air atau memompa air menggunakan pompa bermerek "dragon" selalu mengingatkan saya pada sebuah cerpen Chekhov berjudul Ruang Inap No.6 atau cerpen lainnya yang berjudul Pertaruhan. Seorang lelaki biasa bangun lebih awal kemudian terkekeh batuk, berjalan menggunakan tongkat, suasana hening seperti itu mampu mengubah suara batuk ibarat pentas suara bass seorang pelantun lagu di panggung amphiteater raksasa, dan orang-orang telah mengenal dengan baik, siapa Si pemilik suara itu.

Abah Mandor tetap memegang teguh profesinya sebagai seorang modin dan pemulasara mayat hingga usia senja. Tentang usia orang-orang di jaman itu jangan ditanya lagi, rata-rata angka harapan hidup bisa mencapai usia 80-100 tahunan. Menurut standar kelayakan Indeks Pembangunan Manusia, angka harapan hidup seperti itu menunjukkan tingkat kesehatan masyarakat sangat baik. Sangat wajar, kenapa angka harapan hidup dan tingkat kesehatan masyarakat waktu itu sangat baik? Karena hidup dan kehidupan mereka mengikuti alur waktu dan terpola sangat jelas. Kapan mereka bekerja atau beraktivitas dan kapan mereka beristirahat terpola berbanding lurus dengan konsep "wanci" dalam tradisi masyarakat Sunda.

Menjelang tahun 90-an, modin-modin tetap dipegang oleh orang-orang berusia di atas 40 tahunan. Abah Mandor digantikan oleh: Kang Manaf, Kang Omid, Kang Ajang, dan Abah Oman. Sejak saat itu, DKM Masjid Jami melakukan pendataan siapa saja yang diberikan tugas sebagai modin untuk mengumandangkan adzan setiap memasuki waktu sholat. Abah Mandor Ja'i telah hampir dua dekade meninggal, namun bagi siapapun, orang-orang yang pernah menikmati hidup di tahun 70-90an di Balandongan akan tetap bisa mengingat suara khas Abah Mandor saat mengumandangkan adzan.

Kang Warsa

Posting Komentar untuk "Modin di Balandongan (1970-1990)"