Masyarakat Balandongan memegang teguh tradisi dan kebiasaan leluhur dalam mengimplementasikan ajaran dan keyakinan mereka. Sejak kedatangan Haji Sulaeman pada tahun 1930-an, madzhab Syafii dianut dan dipegang teguh oleh kelompok pesantren yang telah menjadi bagian dari NU dipertahankan dengan apik oleh masyarakat. Mereka biasa melakukan tahlilan jika ada orang meninggal, menyelenggarakan mahinum bagi seorang ibu yang telah melahirkan sang bayi, talkin dibacakan saat mayat akan dikuburkan, mereka pun membaca doa Qunut saat menunaikan ibadah Sholat Subuh, baik secara berjamaah ataupun munfarid (sholat sendiri).
Bahkan, beberapa petani masih biasa melakukan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka saat bercocok tanam, seperti melakukan beberapa ritual terlebih dahulu sebelum tandur, menyimpan sesaji di pematang sawah, dan membakar kemenyan saat panen tiba. Para kyai sama sekali tidak merasa keberatan dengan tradisi-tradisi seperti itu. Tidak ada pelarangan apalagi dihantam dengan dalil-dalil Quran atau Hadits, sebab kebiasaan dan tradisi seperti itu sama sekali tidak mengakibatkan masyarakat Balandongan mengalihkan keyakinan mereka kepada agama apapun, yang telah tertancap dalam diri masyarakat Balandongan adalah satu tekad bahwa Islam menyayomi setiap tradisi yang telah terlebih dahulu ada dan berkembang sebelum Islam dianut oleh masyarakat.
Namun, progressifitas keberagamaan merupakan hal yang tidak bisa dibendung. Tahun 1980-an mulai masuk aliran baru, kelompok pembaharu, dibawa oleh salah seorang entah ulama atau bukan, bernama Asep. Dia mengabarkan tentang pembaharuan berbagai ritual dalam Islam, harus merujuk kepada sunnah dan sesuai dengan tuntunan Rosulullah. Madzhab Maliki mulai dikembangkan di mesjid Ad-da'wah, demi alasan untuk memurnikan ajaran Islam. Ajaran ini sangat mudah diterima oleh sebagian besar masyarakat Balandongan Kaler, karena strategi penyampaiannya selalu menggunakan kalimat seperti: "di Mekkah pun orang sembahyang subuh tidak membaca Qunut." Mereka sering menyebut kelompoknya sebagai para pengikut Gibarul Ulama, orang-orang NU di Balandongan Kidul menyebut mereka dengan julukan "Kaum Gobirin", ada juga yang mempelesetkan sebutan itu menjadi Gober.
Para penganut madzhab Maliki yang berkembang di Balandongan telah menghempaskan tradisi paguyuban, terjadi begitu saja. Mayoritas masyarakat di Balandongan Kaler sejak menganut madzhab Maliki , di saat memasuki Bulan Ramadhan mengamalkan sholat tarawih 11 Rokaat, tahlilan dan qunut dibid'ahkan. Karena terlalu progresif dalam menyebarkan ajaran tersebut, konflik furu'iyyah antara penganut tradisi madzhab Syafi'i dengan para penganut madzhab Maliki tidak bisa dihindari. Dari mulai konflik verbal saling mencibir apa yang dilakukan dalam ritual sampai konflik fisik. Saat terjadi konflik fisik pada tahun 1984 inilah Asep seagai penyebar ajaran bermazhab Maliki ini pergi meninggalkan Balandongan. Akibat yang ditimbulkan oleh konflik selama satu dekade ini adalah: Pertama, ditentukannya dua mesjid jami sebagai tempat penyelenggaraan sholat Jum'at, para Nahdliyyin melaksanakan Jum'atan di mesjid Al-Istiqomah Balandongan kidul dan para Gobirin melaksanakannya di Mesjid Ad-Da'wah Balandongan Kaler.
Kedua, deviasi keberagaman lahir dan telah menghancurkan sendi-sendi paguyuban. Bisa diilustrasikan, saat itu seseorang yang rumahnya berdekatan dengan masjid Jami A , namun saat Jum'atan sama sekali tidak melakukan Jum'atan di mesjid tersebut, dia lebih memilih mesjid Jami B karena disana diamalkan ajaran sesuai dengan madzhab yang dianutnya.
Kemudian, pada tahun 1995, revolusi pemikiran lahir. Tidak penting membahasakan perbedaan dalam hal cabang atau furu', masyarakat Balandongan harus lebih mendahulukan kekompakan sebagai masyarakat. Dan, perbedaan dalam tata-cara ibadah pun lambat laun menjadi cair. Di masa pemerintahan kepala Desa Ukat Sukatma (alm), pelaksanaan Shalat Idul Fitri dan Idul Adha diselenggarakan di satu tempat, lapang bulu tangkis Balandongan Kidul.
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Konflik Furu'iyyah di Balandongan (1984)"