ITHAF AL-DHAKI
Tafsir Wahdatul Wujud Bagi Islam Nusantara
A. RESENSI BUKU
Buku Ithaf Al-Dhaki: Tafsir Wahdatul Wujud Bagi Islam Nusantara merupakan hasil telaah atas kitab Ithaf Al-Dhaki karya seorang sufi terkemuka, Al-Kurani. Penulis menjabarkan bahwa Al-Kurabi dalam kitab Ithaf Al-Dhaki dapat dianggap sebagai salah satu di antara penafsir, sekaligus pembela, pemikiran-pemikiran tasawuf filosofis Ibn al-‘Arabi (560-638/1165-1240).
Akan tetapi, sejauh menyangkut para penafsir pemikiran Ibn al-‘Arabi ini, umumnya para sarjana hanya menyebut ‘Abd al-Razzaq al-Kashani (w. 736/1335), ‘Abd al-Karim al-Jili (w. 832/1428), atau ‘Abd al-Rahman al-Jami (w. 898/1492), dan tidak pernah menyebut al-Kurani sebagai salah seorang di antaranya. Hal ini sangat mungkin dikarenakan pemikiran-pemikiran al-Kurani sendiri belum banyak diketahui. Memang, di antara hampir seratus buah pena al-Kurani, baru tiga di antaranya yang pernah diterbitkan, tidak termasuk Ithaf al-Dhaki yang sesungguhnya mengandung pembahasan panjang serta mendalam berkaitan dengan doktrin mistiko-filosofis Ibn al-‘Arabi tersebut.
Buku ini merupakan penjelasan terhadap Ithaf Al-Dhaki yang mengomentari atau me-sharh Kitab Al-Tuhfat Al-Mursalah yang ditulis olehFadl Allah al-Hindi al-Burhanfuri. Kecuali berisi komentar-komentar terhadap Al-Mursalah, penjelasan rinci dan panjang dalam kitab Ithaf Al-Dhaki memiliki kerumitan mengingat dalam penjelasan-penjelasan terhadap eksistensi atau kemaujudan ilahi menggunakan pendekatan mistisisme dan kajian paralogis. Tersebar perumpamaan-perumpamaan yang terhubung dengan pemikiran Ibnu Arabi.
B. RINGKASAN BUKU
Buku setebal 263 halaman ini memiliki isi dengan sistematika sebagai berikut:
1. Bab I : Tentang Ithaf Al-Dhaki, menjelaskan latar belakang keilmuan Al-Kurani, karyanya, NAskah Ithaf Al-Dhaki, beberapa catatan atas Naskah Ithaf Al-Dhaki, serta metodologi Al-Kurani dalam menulis Ithaf Al-Dhaki;
2. Bab II : Terjemahan Teks Ithaf Al-Dhaki memaparkan dengan detail latar belakang penulisan Ithaf Al-Dhaki, kometar Al-Kurani tentang Al-Burhanfuri, mengenai ilmu hakikat, Al-Quran dan Sunnah sebagai landasan utama ilmu, dan penjelasan-penjelasan lain terhadap fenomena kalam yang berkembang waktu itu;
3. Bab III : Teks Arab Ithaf Al-Dhaki;
4. Bab IV : Tokoh-tokoh berpengaruh dalam Ithaf Al-Dhaki.
Penelitian filologis yang dipadukan oleh Oman Fathurahman dalam buku ini dengan pendekatan sejarah sosial-intelektual Islam, atas teks Ithaf al-Dhaki ini dilakukan penulis antara bulan Agustus 2006 sampai April 2008, saat Oman menerima beasiswa Post-doctoral Program dari Yayasan The Alexander von Humboldt (The AvH), Jerman.
Kajian atas teks Ithaf al-Dhaki sebelumnya pernah diawali oleh A.H. Johns (Australian National University), yang —bersama Nagah Mahmud al-Ghoneimy (Universitas Al-Azhar Kairo)— pernah mempersiapkan sebuah edisi teks berdasarkan lima salinan naskah, yakni naskah koleksi Perpustakaan Masjid Al-Azhar, Kairo, yang diduga kuat adalah naskah yang saat ini terdaftar sebagai MS 288 di Perpustakaan Universitas Al-Azhar, Kairo, MS 684 koleksi Perpustakaan India Office, MS Or. 7050 koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, serta MS 2578 dan MS 2954 koleksi Perpustakaan Dar al-Kutub, Kairo. Sayangnya, edisi teks dan hasil kajian Johns dan koleganya itu belum sempat diselesaikan. Meskipun dalam artikelnya beberapa tahun kemudian (Johns 1981: 432-433)
Selain Johns, Ithaf al-Dhaki juga pernah menjadi salah satu sumber utama penelitian yang dilakukan oleh Azyumardi Azra. Azra menempatkan Ithaf al-Dhaki sebagai salah satu rujukan terpenting ajaran neo-Sufisme yang berkembang di dunia Islam pada umumnya, dan di dunia Melayu-Nusantara pada khususnya.
Tentu saja Azra tidak bermaksud mempersiapkan sebuah edisi teks Ithaf al-Dhaki, karena penekanannya adalah pada pencitraan al-Kurani, melalui pemikiran-pemikiran sufistis dalam karya-karyanya, sebagai seorang Sufi moderat yang terlibat dalam saling silang hubungan antara para ulama di Haramayn dengan sejumlah ulama asal Melayu-Nusantara.
Corak pemikiran seperti yang terekam dalam Ithaf al-Dhaki inilah yang ditegaskan Azra sebagai bibit-bibit pembaharuan Islam yang dilanjutkan, dikembangkan, serta dielaborasi oleh murid-murid al-Kurani di dunia Melayu-Nusantara, khususnya melalui Abdurrauf ibn Ali al-Jawi sebagai murid sekaligus kawan terdekatnya.
Hampir senada dengan Azra, artikel panjang yang ditulis Basheer M. Nafi (2002) juga patut disebut dalam konteks kajian atas pemikiran al-Kurani. Saat melakukan telaah atas kompleksitas hubungan antara tasawwuf dengan pemikiran-pemikiran pembaharuan sejumlah ulama pra-modern Islam akhir abad 17 dan awal abad 18 di Haramayn.
Nafi banyak mengeksplorasi pemikiran mistiko-filosofis al-Kurani dalam Ithaf al-Dhaki, dan juga dalam karya lainnya seperti Tanbih al-‘Uqul atau al-Ilma‘ al-Muhit, yang dianggapnya memiliki pengaruh besar terhadap corak dan kecenderungan pemikiran pembaharuan sejumlah ulama berpengaruh berikutnya, terutama yang memang pernah menjadi murid-murid al-Kurani sendiri seperti Muhammad Tahir (1081-1145/1670-1733), yang juga adalah putra kandungnya, dan Muhammad ibn ‘Abd al-Hadi al-Sindi (w. 1138/1726).
Seperti tampak dalam keseluruhan pembahasan Ithaf al-Dhaki, al-Kurani jelas dapat dianggap sebagai salah satu di antara penafsir, sekaligus pembela, pemikiran-pemikiran tasawuf filosofisnya Ibn al-‘Arabi (560-638/1165-1240). Akan tetapi, sejauh menyangkut para penafsir pemikiran Ibn al-‘Arabi ini, umumnya para sarjana hanya menyebut ‘Abd al-Razzaq al-Kashani (w. 736/1335), ‘Abd al-Karim al-Jili (w. 832/1428), atau ‘Abd al-Rahman al-Jami (w. 898/1492), dan tidak pernah menyebut al-Kurani sebagai salah seorang di antaranya.
Hal tersebut sangat mungkin dikarenakan pemikiran-pemikiran al-Kurani sendiri belum banyak diketahui. Memang, di antara hampir seratus buah pena al-Kurani, baru tiga di antaranya yang pernah diterbitkan, tidak termasuk Ithaf al-Dhaki yang sesungguhnya mengandung pembahasan panjang serta mendalam berkaitan dengan doktrin mistiko-filosofis Ibn al-‘Arabi tersebut.
Buku ini memperkenalkan kontribusi pemikiran al-Kurani, khususnya berkaitan dengan konsep-konsep wahdat al-wujud, wajib al-wujud, dan wujud mutlaq yang sering dikaitkan sebagai ajaran Ibn al-‘Arabi. Dalam konteks tradisi intelektual Islam di dunia Melayu-Indonesia pada pertengahan abad 17, Ithaf al-Dhaki, dapat dianggap sebagai salah satu sumber terpenting karena merupakan salah satu, kalau tidak satu-satunya, sumber Arab yang menyebut terjadinya kesalahpemahaman masyarakat Muslim di wilayah ini berkaitan dengan doktrin wahdat al-wujud pada saat itu.
Dan, berangkat dari hipotesis Johns bahwa Abdurrauf ibn Ali al-Jawi adalah salah seorang di antara jama‘at al-jawiyin murid al-Kurani yang melaporkan situasi keagamaan di wilayah yang disebut sebagai “bilad Jawah” tersebut, serta meminta al-Kurani untuk menulis sebuah penjelasan atas kitab al-Tuhfah al-Mursalah yang menjadi sumber kesalahfahaman (Johns 1975: 48-54), maka kita patut menduga bahwa mereka yang dimaksud oleh al-Kurani terutama adalah masyarakat Muslim di Aceh, tempat terjadinya perdebatan intelektual mengenai doktrin wahdat al-wujud antara para pengikut ajaran Hamzah Fansuri dan Shamsuddin al-Sumatra’i dengan kelompok Muslim ortodoks yang dimotori oleh Nuruddin al-Raniri.
Buku yang berisi telaah atas teks dan konteks Ithaf al-Dhaki ini menegaskan pentingnya memperluas cakupan kajian manuskrip Nusantara supaya tidak hanya terbatas pada karya-karya yang ditulis oleh pengarang, dan dalam bahasa, lokal saja, melainkan juga naskah-naskah berbahasa non-lokal, seperti Arab, karangan penulis non Melayu-Nusantara, tetapi memiliki keterkaitan kuat dengan wacana dan tradisi intelektual di wilayah ini.
Dengan kata lain, Oman Fathurahman telah berhasil menggali bahkan pemikiran yang lebih mengandung kearifan lokal, mengingat faham Wahdatul Wujud ini telah menjadi salah satu entitas dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara. Hal penting yang dikhabarkan dalam buku ini antara lain; Al-Kurani merupakan seorang ulama sekaligus sufi yang memiliki pemikiran-pemikiran moderat. Walhasil, pandangan terhadap Ithaf Al-Dhaki karya Al-Kurani yaitu, di dalamnya terkandung sikap rekonsiliator sang penulis terhadap pemikiran-pemikiran yang terlihat saling silang dan bersebrangan satu sama lain.
C. KESIMPULAN
Buku Ithaf Al-Dhaki bisa disebut sebagai salah satu buku penting yang ditulis oleh seorang intelektual muslim Nusantara. Adanya telaah panjang dan komprehensif terhadap naskah Ithaf Al-Dhaki sebagai naskah yang jarang dikaji oleh intelektual muslim menunjukkan keseriusan Oman Fathurahman dalam melakukan kajian dan melahirkan kembali pemikiran wahdatul wujud yang pernah berkembang hingga menjadi polemik di Nusantara.
Posting Komentar untuk "Review Ithaf Al-Dhaki: Tafsir Wahdatul Wujud Bagi Muslim Nusantara"