LINGKUNGAN SOSIAL DAN KEBOCORAN VERBAL
Oleh: Kang Warsa
Guru MTs Riyadlul Jannah dan Anggota PGRI Kota Sukabumi
Ada beberapa kisah menarik tentang kehidupan Muhammad SAW pra-kenabian. Salah satu kisah menarik yaitu beliau telah menjadi seorang anak yatim sejak lahir. Artinya, Muhammad SAW sama sekali tidak bersentuhan dengan ayahnya secara langsung.
Kondisi kedua, Muhammad SAW dipisahkan oleh ibunya (Aminah) dari gemerlap kehidupan kota. Mekah pada saat itu merupakan sebuah kota kosmopolitan dimana nilai-nilai heterogen dan unsur kepentingan baik politis maupun ekonomis berkecamuk menjadi satu. Muhammad SAW 'diungsikan' ke sebuah perkampungan Bedewi, Halimah Assa'diyyah dari Bani Hawazin.
Apakah dua peristiwa tersebut merupakan kebetulan semata? Sejarah kenabian sejak monotheisme menemui bentuknya di era Ibrahim sering bersentuhan dengan fenomena Irhats (keajaiban yang dialami oleh calon nabi) sebagaimana tersebut di atas.
Ibrahim AS ketika kecil telah diungsikan oleh ibunya dari hiruk pikuk keramaian, dimana Nimrod melalui para bawahannya membangun kekuasaan politis-ideologis-relijius. Hiruk-pikuknya merusak tatanan dan struktur sosial masyarakat, keyakinan manusia termanifestasi dalam bentuk paksaan, diseragamkan, Bangsa Ur dipaksa menyakini Marduk, dewa tertinggi yang dipuja oleh para penguasa waktu itu. Bahkan setiap raja-raja memproklamirkan diri sebagai titisan Marduk.
Apa yang dilakukan oleh seorang ibu dari Ibrahim AS dilakukan kembali oleh Ibrahim AS sendiri kepada Hagar dan Ismail. Istri dan anak Ibrahim AS 'diungsikan' dari Babel ke sebuah padang tandus di daerah perbukitan bernama Haran, daerah ini merupakan cikal bakal Kota Mekah di kemudian. Di Haran, telah terbentuk sebuah pemukiman komunal suku-suku bedewi meskipun dalam kisah-kisah profetik disebutkan kemunculan pemukiman oase ini berawal dari peristiwa Ismail menendang sebuah batu kemudian dari tanah menyembur air.
Kisah Musa AS pun demikian, kecamuk politik mengharuskan Imran dan Yukabad, dalam tradisi biblikal bernama Amram dan Yokhebed memindahkan bayi Musa ke dalam keranjang kemudian dibuang ke Sungan Nil. Kisah yang mirip ditemukan dalam Epos Gilgamesh orang-orang Mesopotamia. Tentang hal ini telah menimbulkan diskursus baru apakah salah satu kisah di dalam Taurat itu menjiplak dari Gilgamesh atau sebaliknya. Yang jelas, kedua kisah itu menyuguhkan cerita menarik.
Tidak berbeda dengan kisah Isa AS, dalam Al-Quran disebutkan Isa atau Yesus terlahir tanpa ayah, meskipun di dalam Al-Kitab disebutkan Yosef seorang tukang kayu merupakan ayah Yesus. Namun diketahu, Yosef mengetahui bahwa istrinya (Maria) telah mengandung dari roh kudus. Sayang sekali, di dalam Matius peristiwa kehamilan Maria dari Roh Kudus baru muncul di ayat 1:20, setelah beberapa ayat sebelumnya menjelaskan terlebih dahulu sislilah Isa.
Kisah-kisah yang mirip dengan kisah-kisah di atas antara lain; Dahyang Sumbi ibu dari Sangkuriang dilahirkan di dalam hutan. Film Warcraft mengisahkan peristiwa pembuangan seorang calon raja ke sungai. Dalam kisah Mahabharata, Kunti membuang Karna ke Sungai Aswa, kisah ini menjadi latarbelakang seorang Kusno Sosrodihardjo berganti nama menjadi Soekarno.
Pertanyaan sederhana, mengapa mereka menjadi orang-orang besar?
Kesemua kisah di atas menjelaskan pemisahan seorang bayi suci dari lingkungan tidak kondusif bagi perkembangan psikologi anak. Bagaimanapun - baik menurut Immanuel Kant dalam pandangan tentang sensasi dan jiwa serta John Locke dalam tabula rasa - lingkungan menjadi hal determinan yang kerap memengaruhi individu. Hal ini berbanding lurus dengan manusia sebagai mahluk sosial. Beberapa abad sebelum dua pemikiran ini lahir, dua teori ini telah dicetuskan dalam sebuah hadits: " Kullu mauluud, yuuladi 'alal fithroh ", setiap manusia dilahirkan dalam keadaan bersih (fitrah), lingkungannya yang kelak akan memengaruhi manusia tersebut.
Pengasingan manusia sebagaimana dalam kisah-kisah di atas merupakan salah satu bentuk minimalisasi 'kebocoran verbal", yaitu sebuah refleksi sebagai akibat dari ledakan emosi. Kebocoran verbal ini telah menjadi rahasia umum di zaman sekarang. Dengan sangat mudah karena marah seseorang mengeluarkan kata-kata kasar, tanpa kecuali dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya sendiri.
Kita sering mendengar orangtua bertanya kepada anak karena kenakalan anaknya: " Kamu ini anak siapa sich?" Lebih jauh, anak-anak mendengar langsung kebocoran verbal berisi kata-kata kasar dari anak lain. Ada juga cerita orangtua memaki-maki anak sendiri. Kebocoran verbal ini telah menjadi pemicu mudahnya orang di zaman ini mengucapkan kata-kata kasar, pada akhirnya tersimpan di dalam alam bawah sadar, kemudian membentuk karakter kasar pada diri manusia.
Di zaman ini, memang sangat tidak mungkin bagi siapapun untuk melakukan tindakan yang serupa dengan kisah di atas kecuali melalui pendekatan konteks, paling tidak, internalisasi awal yang harus diperdengarkan oleh orangtua kepada anak yaitu ucapan-ucapan baik, dalam Islam setiap bayi harus diadzani oleh bapak atau siapa yang hadir ketika bayi lahir. Maka jangan heran, saat ini kita bisa dengan mudah seorang anak kecil sekalipun mengucapkan kalimat kasar bukan hanya tanpa rasa lalu, melainkan –seolah- telah menjadi budaya dan hal lumrah.[ ]
Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya dengan jaringan Indosat.
Posting Komentar untuk "Kebocoran Verbal"