Perjumpaan (Bagian I)

PERJUMPAAN
Oleh: Kang Warsa
Guru MTs Riyadlul Jannah – Anggota PGRI Kota Sukabumi

Homo Homini Lupus dan Tribalisme 

Satu tahun lalu, tulisan saya berjudul: Messiah dari Berbagai Peradaban I-III telah diterbitkan oleh Harian Radar Sukabumi. Tiga tulisan tersebut mengupas keberadaan Messiah, manusia yang ditunggu-tunggu oleh setiap peradaban dimana kehadirannya diyakini dapat mengubah kondisi atau keadaan terpuruk yang sedang dihadapi oleh masyarakat di zamannya.

Ada pandangan beragam terhadap memburuknya kondisi kehidupan manusia. Semua sepakat, keterpurukan disebabkan oleh nilai kebaikan telah semakin memudar dalam kehidupan. Sisi baik dari hal tersebut telah melahirkan pandangan-pandangan yang dituangkan ke dalam buku-buku sebagai karya yang dipengaruhi oleh kondisi di zaman tersebut. 

Leviathan karya Thomas Hobbes tidak akan lahir jika kondisi di Inggris –waktu itu – baik-baik saja atau normal. Kecamuk perang saudara , manusia saling memangsa manusia lain, telah melahirkan pandangan Homo Homini Lupus Bellum Omnium Contra Omnes dalam karya Hobbes tersebut.

The Prince yang ditulis oleh Machiavelli pun paling  tidak dilatarbelakangi oleh semangat manusia menyajikan "sikap kebinatangannya" dalam kehidupan. Meskipun karya tersebut tidak memperkarakan kondisi masyarakat secara luas, namun secara umum dijabarkan bagaimana cara manusia untuk bertahan hidup dan mempertahankan kekuasaan atas orang lain. 

Singa dan rubah harus dimiliki oleh seseorang –lebih tepatnya - penguasa agar dapat mempertahankan kekuasaannya. Raja harus memiliki sifat singa untuk melawan serangan lawan, dan harus memiliki mental rubah untuk mengelabui lawan. Dengan kata lain, cara licik pun disahkan untuk mempertahankan kekuasaan.

Ketidakseimbangan dalam kehidupan ini salah satunya disebabkan oleh – Menurut Ibnu Kholdun dalam Muqaddimah- sikap ashobiyyah, tribalisme, merasa kelompoknya sebagai masyarakat terbaik pilihan Tuhan. Kemudian meluber pada hal-hal lain yang lebih bersifat murni profane, keduniawian. 

Masa Jahiliyyah pra-Islam telah menunjukkan bagaimana klanisme dan tribalisme ini telah mengurai dan memecah masyarakat pada kelompok-kelompok kasar. Masyarakat Jahiliyyah (Bodoh) ditandai oleh semangat perang (konflik) yang tinggi dan minimnya permenungan dalam hidup.

Ketidaktertiban manusia pada dasarnya muncul disebabkan oleh kebebasan manusia, berhak melakukan apapun kepada orang lain tanpa menyadari jika dirinya sendiri tidak akan menerima diperlakukan apapun dan seenaknya oleh orang lain. Akal manusia pada dasarnya menyukai kebebasan dan berhak melakukan apapun kepada orang lain, namun tetap saja hal ini dibatasi oleh sikap diri sendiri pun sudah pasti tidak ingin diperlakukan sebebasnya oleh orang lain. Dari sini telah melahirkan perjumpaan-perjumpaan pemikiran agar hidup manusia menjadi lebih tertib. Kebenaran universal telah coba dituangkan ke dalam kehidupan setelah sebelumnya manusia menyusun formulasi-formulasi tentang hal ini.

Formulasi tentang kebenaran universal ini lahir karena adanya perbedaan budaya dalam kehidupan  manusia sendiri dari satu wilayah dengan wilayah lainnya. Orang Yunani betapa terperangah ketika mendengar penuturan Herodotus: beberapa masyarakat Indian terbiasa memakan temannya yang mati. Begitupun sebaliknya, orang Indian betapa terkejut saat mereka mengetahui orang Yunani membakar mayat temannya yang mati. 

Merupakan sebuah keniscayaan jika nomos atau apa yang dihasilkan melalui konvensi lantas membentuk perbedaan kebiasaan, adat istiadat merupakan hal yang harus diterima tanpa dipertentangkan. Sementara hal sama yang lahir darinya harus diakui sebagai peristiwa alam, setiap manusia itu mati. Keniscayaan ini telah melahirkan pandangan baru di dunia Arab saat kenabian Muhammad SAW : kullu nafsin dzaiqotul maut. Kebenaran universal ini merupakan perjumpaan pandangan terhadap apa yang terjadi dalam kehidupan secara alamiah.

Tribalisme tidak melulu lahir di dalam masyarakat gurun. Juga telah lahir dari konvensi dan kesepakatan manusia untuk membentuk kelompok atau komunitas ketika mereka memiliki tujuan yang sama. Tanpa kecuali, agama pun bisa dilembagakan, bahkan dibajak demi mencapai tujuan sebuah kelompok. 

Masyarakat Jahiliyyah begitu terkejut ketika seorang Nabi dari kaumnya sendiri memperkenalkan pandangan monotheisme, ketika mereka menempatkan Tuhan berada di tempat begitu jauh, bahkan tidak tersentuh sama sekali. Tuhan-tuhan kecil yang dibuat dalam bentuk patung kemudian mereka tempatkan di Ka'bah merupakan personifikasi Tuhan tertinggi di muka bumi. Nabi Baru itu memperkenalkan sebuah kalimat : Innaallaha ma'anaa, sesungguhnya Tuhan bersama kita. 

Masyarakat Jahiliyyah  pada dasarnya memang telah mengenal Tuhan dengan pandangan lain. Hanya saja, pandangan beragam ini telah melahirkan citra Tuhan dengan beragam pula. Pandangan terhadap Tuhan dalam setiap peradaban seolah menyatu-padu dalam masyarakat Jahiliyyah. 

Mereka mengenal Easter, Yesus, Perseu, Poseidon sebagai akibat interaksi mereka dengan peradaban-peradaban di wilayah lain. Mau tidak mau, bangsa Arab merupakan ras keturunan  bangsa Fenisia, sebuah suku yang tinggal di pinggiran Yunani. Itulah sebabnya, tidak sedikit mitologi Yunani Kuno berkembang juga di dalam masyarakat Arab Pra-Islam sendiri.

Perkumpulan Sektarian

Gerakan kaum Wahhabi di Arab Saudi telah menghilangkan sebagian besar artefak kuno yang bisa menghubungkan para peneliti ke masa beberapa abad lalu. Ada baiknya, beberapa artefak kuno seperti keramik, tembikar, segel-segel, dan beberapa benda sebagai ornamen penghias dinding Ka'bah hingga paninggalan-peninggalan Rosululloh  telah diamankan dan disimpan di Museum Topkapi, Turki. Gerakan kaum Wahhabi di penghujung abad ke 17 ini ditandai dengan dihancurkannya artefak-artefak kuno demi alasan pemurnian Islam dari unsur-unsur pagan dan kemusyrikan. 

Pengaruh gerakan Wahhabi - kekuatan dan politiknya - meluber dan memenuhi kondisi di Nusantara saat perang Sumatera. Kaum Padri, - mau diakui atau tidak -  telah membawa wahhabiisme ke Nusantara. Hal tersebut membawa pengaruh yang serius terhadap penyebaran Kristen di Sumatera Utara. 

Pemikiran kaum Padri tentang pemurnian Islam juga telah membuat keterkejutan para pemangku kepentingan di Sumatera Barat sendiri, dimana para pemimpin adat tidak menerima ajaran dan adat setempat dikategorikan sebagai benih-benih kemusyrikan.

Gerakan yang serupa dengan aktivitas kaum Wahhabi tidak terjadi dalam sejarah Islam saja. Jauh sebelumnya, di dalam sejarah Yudaisme, aliran-aliran dan berbagai sekte mewarnai jalannya sejarah mereka. Antara tahun 152-63 SM merupakan pergolakan dan kecamuk pertempuran keyakinan terjadi di dalam tubuh Yudaisme. 

Hal ini terjadi sebagai akibat adanya varian penafsiran terhadap wahyu tentang "perang suci". Jika dalam keyakinan beberapa kelompok Islam Imah Mahdi merupakan messiah yang dinanti-nanti, dalam penafsiran beberapa sekte Yahudi sang messiah biasa disebut Guru Kebenaran. Guru Kebenaran ini identik dengan al-Mahdi yang akan membawa manusia-manusia beriman kepada jalan kebenaran. Sebelumnya, tentu saja harus ada pertempuran terlebih dahulu melawan arogansi Imam Keji atau Dajjal dalam term keislaman. 

Tiga sekte kuno dalam sejarah Yudaisme, seperti : Esseni, Saduki, dan Farisi kerap beradu argumentasi hingga peperangan dalam menafsirkan firman Yahweh. Esseni lebih mirip dengan gerakan Wahhabi dalam Islam, sekte atau aliran ini mengaplikasikan firman Yahweh melalui periskop tekstual. Mereka menganggap dirinya sebagai para tentara Tuhan yang harus memerangi imam-iman Keji, manusia-manusia yang melakukan kerjasama dengan Romawi meskipun mereka Yahudi.

Disebutkan dalam "Piagam Perkumpulan Sektarian Yahudi", mereka yang masuk ke dalam sekte atau aliran Esseni harus menyerahkan harta miliknya kepada pemimpin (Guru Kebenaran). Ini dipandang sebagai penyelenggaraan ilahi, tidak bisa ditolak dengan berbagai alasan. Anggota-anggota baru dapat diterima menjadi seorang Esseni melalui proses kaderisasi selama satu tahun dan dapat menghayati cara hidup Esseni. 

Aliran dalam Islam tidak sedikit mengembangkan pola yang sama dengan Esseni, seperti NII, mereka dapat diterima sebagai anggota dengan syarat utama memberikan 10% harta atau uang dalam bentuk infak kepada kelompok kemudian diserahkan kepada Sang Imam.

Gerakan sekte lain seperti Farisi berbeda dengan Esseni. Pada zamannya, gerakan Farisi lebih didominasi oleh kaum liberal. Gerakan Farisi ini telah melahirkan budaya oral, lisan, dialektika, dan tradisi-tradisi baru yang tidak ditemui dalam Hukum Musa. 

Kaum Farisi memberikan fleksibilitas atau kelenturan dalam menafsirkan hukum tertulis, dengan kata lain mereka menganggap telah menyediakan tafsiran yang tepat terhadap hukum tertulis dalam kitab suci. Tentu saja, menurut kaum Esseni, sikap semacam ini merupakan bukti keberanian kaum Farisi dalam mengacak-acak tradisi murni Yahudi. Yudaisme harus dimurnikan dari unsur-unsur keji, sama halnya dengan kaum Wahhabi yang menganggap Islam harus dimurnikan dari khurafat baik yang dihasilkan oleh mitos ataupun rasio kaum liberal.

Yosefus menyebutkan kecuali Esseni dan Farisi, dalam sejarah Yudaisme terdapat aliran ketiga: Sekte Saduki. Penamaan sekte ini terhubung kepada seorang imam Yahudi bernama Zadok pada masa Raja Daud.

Pandangan kaum Saduki berseberangan dengan dua sekte lainnya; Esseni dan Farisi. Kekentalan perdebatan dalam penafsiran hukum Musa antara kaum Saduki dengan Farisi bukan hanya dalam aspek-aspek empirik seperti tradisi dan ritual, juga dalam ranah metafisik.

Kaum Farisi identik dengan sintesis Qodariyyah-Jabariyyah, lain halnya  dengan kaum Saduki, mereka lebih memilih menolak takdir hingga kebangkitan manusia setelah mati. Mereka juga menolak ramalan-ramalan profetik messianis, bagi mereka, messiah sudah selesai sejak era Musa.

Pandangan seperti di atas lahir sebagai akibat dari sikap politik kaum Saduki. Kaum Esseni memandang imam-imam dalam sekte Saduki tidak jauh berbeda dengan imam keji yang sering disebutkan dalam naskah-naskah suci keYahudian. 

Kaum Saduki sama sekali tidak memerdulikannya, mereka -termasuk para imamnya- lebih memilih melakukan kerjasama dengan Romawi. Bagi seorang Esseni, keyahudian seseorang tidak semestinya ditukar melalui  transaksi dengan Romawi dalam hal apapun. Dalam Kristen, kaum Saduki disebut sebagai kaum yang memusuhi Yesus karena pandangan keagamaannya memang tidak meyakini messiah baru.

Pandangan keagaman kaum Saduki teintegrasi dengan pandangan politik mereka. Kelompok ini diikuti oleh para aristokrat Yahudi, mengamalkan ajaran Musa di bait suci namun ketika keluar dari bait suci kehidupan mereka lebih menunjukkan sikap sekular. Kalangan awam lebih banyak mengikuti kaum Esseni daripada sekte Saduki dan Farisi demi alasan Esseni lebih populis dari dua sekte lainnya. 

Di kemudian, kaum Saduki mewujud menjadi aliran Zionisme seperti yang kita kenal sekarang. Farisi lebih didominasi oleh para cendikiawan dan pemikir bebas. Sementara Esseni mewujud menjadi Yahudi Ortodoks. Yahudi Ortodoks sampai saat ini dikenal merupakan salah satu kelompok yang mengambil sikap lunak kepada muslim Palestina.

Dalam Al-Qur'an nampak sekali jalan sejarah Islam selalu terhubung dengan Yudaisme, baik Yahudi sebagai penganut hukum Musa juga Nashrani sebagai pengikut Isa yang dicemooh oleh Yahudi sebagai Messiah atau imam palsu. Bagaimana kaum Yahudi bisa sampai ke Yatsrib dan selalu membayangi sejarah Islam pasca hijrah?

Jika melihat sikap kaum Yahudi di Madinah (Nadhir, Quraidzah, dan Qainuqa ) dalam perjalanan sejarah Islam. Tiga suku ini memasuki Yatsrib, jauh sebelum peristiwa hijrah, namun ada kesadaran dalam diri mereka, tempat tinggal seperti Yatsrib bukan sebagai rumah abadi, mereka memercayai tanah harapan ada di seberang mereka, Yerusalem. Kaum Yahudi di Madinah lebih cenderung menganut ajaran Esseni. Hal ini dilihat dari tata cara peribadatan yang dilakukan. Mereka tidak membangun sinagog atau semacam tempat perwakilan bait suci, bagi kaum Esseni, peribadatan bisa dilakukan dimana saja baik di bait suci ataupun  rumah.

Suku-suku Yahudi di Madinah membuat mezbah-mezbah persembahan, menyelenggarakan puasa Musa, mengikuti hukum Musa, tanpa melakukan hubungan politik dengan Romawi. Bagi Romawi sendiri, Madinah waktu itu belum menjadi daerah yang menggiurkan.

Pengusiran besar-besaran kaum Yahudi oleh Rosululloh karena alasan pengkhianatan terhadap perjanjian. Hal ini bertolakbelakang dengan anggapan mayoritas bahwa pengusiran tersebut disebabkan oleh alasan keagamaan, padahal tidak. Sebagai penganut Esseni, kaum Yahudi di Madinah tidak terlalu bersemangat mempertahankan apapun karena bagi kaum Esseni ranah politik hanya pantas dilakukan oleh para imam keji dari sekte Saduki. 


Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya dengan jaringan Indosat.

Posting Komentar untuk "Perjumpaan (Bagian I)"