LEDAKAN PEMIKIRAN KOSMOLOGI DI ABAD PERTENGAHAN
Oleh: Kang Warsa
Guru Basa Sunda MTs Riyadlul Jannah dan Anggota PGRI Kota Sukabumi
Kelompok saintis atau ilmuwan modern abad ke 16 dan 17 telah menyebutkan jika abad pertengahan merupakan masa suram bagi sains. Mereka mengilustrasikan "hegemoni Tuhan" dalam setiap gerak langkah kehidupan di jagat raya ini sebagai bentuk "trial and error"-Nya dalam mengelola semesta, seperti seorang tukang jam setiap detik mengoreksi gerigi-gerigi yang terdapat di dalam jam agar letak dan posisinya tepat.
Para saintis seperti Leibniz, seorang ahli kalkulus, menulis kepada Newton ketika dalam Principia Matematica edisi ketiga, Newton memasukkan kembali Tuhan dalam karyanya itu, setelah dalam dua edisi sebelumnya Tuhan tidak disentuh sama sekali.
Wujud kegelisahan seorang Newton ketika ditanya oleh Richard Bentley, jika benar segala sesuatu di semesta ini digerakkan oleh gaya, kemudian gaya tersebut sebagai sebuah dorongan yang melekat dengan bendanya, lantas terhadap gravitasi yang telah kamu cetuskan dimanakah letak keberlekatan antara gaya dengan bendanya? Bukankah di jagat raya ini terdapat ketidakstabilan?
Kesulitan Newton memang terletak dalam menjabarkan gaya gravitasi yang ditemukannya sendiri: apakah disebabkan oleh tarikan, sementara jika sebuah benda jatuh dari atas ke bawah disebut runtuh bukan karena tarikan. Maka dalam Principia Matematica edisi ketiga, Newton memasukkan kembali campur tangan Tuhan di semesta ini.
Sontak, Leibniz sebagai seorang seteru Newton menulis: " O, kasihan sekali Tuhan tuan Newton ini, setiap detik dan waktu harus melakukan koreksi terhadap keberlangsungan apapun yang ada di dunia ini." Perlu diingat, Leibniz pernah menyebut Newton telah memplagiat kalkulus karyanya. Dan dengan enteng, Newton menjawab tudingan tersebut, jika aku memplagiat kalkulusnya, maka Leibniz memplagiat kalkulus dari kalkulus.
Tetapi, meskipun demikian, dalam "F=m.a" Newton tidak memasukkan " F=m x a x Tuhan " di dalam rumus gaya tersebut.
Hal di atas merupakan sekelumit percekcokan yang terjadi di saat zaman telah memasuki era aufklarung atau abad pencerahan. Seperti hal yang pernah terjadi antara Al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd di dunia Islam.
Sebelum abad pertengahan, manusia memang telah memformulasikan kehadiran Tuhan sebagai kehendak bebas di jagat raya inim Dia sebagai pemeran utamanya. Meskipun secara logika dalam berkeyakinan (Fides Quaerens Intellectum) jika kebebasan kehendak Tuhan selalu hadir di semesta , maka dipastikan Tuhan akan selalu terikat oleh rasionalitasNya sendiri. Tuhan yang selalu berkehendak adalah Tuhan yang patut dikasihani, begitu ungkap Ocham dan beberapa pastor penganut nominalisme. Ocham kemudian meyakinkan: Tuhan itu ada dan aku meyakininya, namun segala apapun di jagat raya ini tersusun dari bagian-bagian partikular yang telah sempurna. Dalam Potentia Dei Ordinata, Ocham menyebut dirinya sebagai seorang penganut deisme. Dalam pandangan kaum deis, Tuhan merupakan hal yang tabu dibahasakan.
Di Nusantara sendiri, seorang filsuf Sunda, Rakeyan Prabuguru Darmasiksa memberikan sudut pandang terhadap etika yang seharusnya dimiliki oleh orang-orang Sunda. Dalam karyanya: " Amanat Galungung", Darmasiksa membagi ruang dan waktu antara jagat besar dan jagat alit, Hana Nguni Tan Hana Mangké. Masa lalu sebagai sebuah jagat besar dan masa kini sebagai jagat kecil. Jagat kecil, yaitu manusia harus menjelaskan dan merawat data yang telah ada sebelumnya (post factum), agar memiliki nilai dan bermakna di masa kini.
Kegelisahan seorang Darmasiksa sebagai seorang raja sekaligus filsuf terjadi ketika dia mengamati gemintang dan susunan benda-benda langit. Dia bertanya: betapa luas semesta ini, apakah ini diciptakan hanya untuk sebuah kemubadziran saja? Darmasiksa berhasil meyakinkan kepada dirinya sendiri, keteraturan di semesta ini tergantung dari bagaimana manusia mengelola tatanan di dalam kehidupan ini. Jagat kecil ini akan memengaruhi jagat besar. Bagi Darmasiksa, Tuhan, Dia Yang Tunggal merupakan hal yang tabu untuk dibahasakan, karena Dia bukan mahluk, " Gusti, hal anu pamali diomongkeun."
Kekhawatiran lain dari filsuf Sunda tersebut adalah; hidup kumbuh orang Sunda akan terganggu jika nilai-nilai luhur dan adiluhung yang telah ditanamkan dari generasi ke generasi tercerabut dari masyarakat Sunda. " alam teu diraksa, tegalan teu diriksa, gunung jadi dugul, pasir ngawujud jadi bulistir." disebabkan oleh patikrama dan ajaran tidak lagi melekat di jagat alit.
Gempita "kosmologi" di abad pertengahan terjadi hampir di setiap pelosok bumi, bagaimana cara mereka menyusun dan mencari kembali jejak-jejak Tuhan di semesta ini. Di dunia Arab, pandangan-pandangan mendalam tentang ini dicetuskan oleh ulama filsuf yang membangun ruang-ruang baca dan diskusi, seperti Al-Farabi, Khawarizmi, Al-Ghazali, hingga Ibnu Rusyd. Bagi mereka, eksistensi manusia dan alam semesta ini bukan sebuah produk asal cipta dan tiba-tiba mewujud.
Walhasil, segala apapun yang ada dan terjadi di dunia kita saat ini hanyalah sekumpulan pengandaian saja. Karena logika sering tampak mudah untuk dipatahkan maka imajinasi begitu leluasa mengembara ke dimensi manapun dan ke dunia apapun dia bergerak. Terlalu mudah untuk menjawab eksistensi sebuah batu atau benda-benda di sekitar kita. Tetapi manusia akan mengalami kesulitan sekadar untuk menjabarkan dari mana, kenapa ada disini, kemudian akan bergerak ke mana manusia ini? Kesulitan terberat yang dihadapi oleh manusia adalah membeberkan dirinya sendiri saat manusia sering membahasakan Tuhan dalam ketidakmengertian.
Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya dengan jaringan Indosat.
Posting Komentar untuk "Ledakan Pemikiran Kosmologi di Abad Pertengahan "