Sebuah majas diisi oleh pengulangan disebut sebagai repetisi. Aku lihat, aku datang, dan aku menang. Tentu saja, segala hal akan memiliki dua dampak, positif dan negatif. Bagi siapapun yang baru tenggelam ke dalam ranah wacana, repetisi ini penting sebagai bentuk pengulangan agar tidak lupa dan terus diingat. Namun bagi seorang ahli dengan jam terbang memadai, pengulangan dalam berbagai aspek akan mengahdirkan kejenuhan, jumud, dan stagnan.
Banyak sekali wacana, diskusi, hingga perdebatan dengan nuansa repetisi. Dari dulu hingga kini yang dipersoalkan itu lagi itu lagi, bahkan itu juga itu juga, padahal wacana hingga diskursus tentang persoalan tersebut memang sudah terselesaikan oleh para ahli yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.
Persoalan Geosentris dan Heliosentris misalnya, telah selesai ketika para saintis mempublikasikan penemuan bentuk bumi dan sistem tata surya setelah hampir berabad-abad teori Geosentris dinyatakan sebagai konsepsi ilahiyah mengenai bentuk dan pusat tata surya dipukul oleh Heliosentris Copernicus. Perdebatan ini telah selesai, akal yang digunakan oleh para saintis telah melunakkan kuasa para santos. Namun tidak cukup sampai di sana, perdebatan kembali hadir dengan lahirnya penafsiran baru terhadap kitab atau wahyu Tuhan. Sebab, jika teori Geosentris yang dilahirkan oleh kekuasaan Gereja abad pertengahan ternyata diakui telah dikalahkan oleh Heliosentris kaum saintis berdampak pada kenisbian Wahyu. Agar wahyu tersebut tetap bisa diakui kebenarannya, bukan ayat-ayat dalam kitab yang harus dihapus atau dihilangkan melainkan cara manusia menafsirkan pesan-pesan wahyu tersebut.
Dengan lahirnya repetisi wacana, maka penafsiran terhadap wahyu pun menjadi lebih rasional. Geosentris bukan berarti bumi sebagai pusat tata surya melainkan sebagai pusat kehidupan. Karena memang demikian, kehidupan hanya baru ditemui di planet bumi ini. Dengan demikian, antara pengetahuan dan wahyu ternyata bukan sesuatu yang saling bertolakbelakang apalagi saling mengalahkan dan saling sikut.
Adakalanya sikap repetisi ini bisa berdampak pada semakin melubernya bahkan menjadi pemantik munculnya konflik. Islam telah menjelaskan, para mufassir pun dengan keilmuannya menjabarkan, Umat Islam –jangan memilih- selain pemimpin beragama Islam. Wacana ini sebenarnya sudah selesai di era ke-kholifahan. Namun karena konsep ini terus dibahasakan oleh para politisi yang memiliki tugas ‘berkoar-koar’ lalu memunculkan tafsir-tafsir baru tentang hal ini. Jika konsensus atau Ijma' Ulama terhadap al-Maidah ayat 51 memang telah selesai sudah seharusnya umat Islam menerima ini dengan lapang dada. Namun faktanya, ayat ini –tampak- hanya dibahasakan pada pelaksanaan pilkada saja, jika ada calon dari umat lain. Jika calon yang diusung oleh lawan politik itu perempuan, maka ayat yang laku digunakan adalah surat An-Nisa tentang kepemimpinan.
Wacana merepitisan persoalan ini berbanding lurus dengan semakin mudahnya informasi diciptakan dan dikemas. Alasan utamanya adalah untuk menemukan kebenaran dan meminimalkan kesalahan. Sayangnya jarang sekali data akurat yang digunakan. Contoh, perdebatan atau diskursus Islam dan Pancasila telah selesai di era Orde Lama juga. Semua pihak telah sepakat, tidak ada satupun sila dalam Pancasila berseberangan dengan Islam. Namun para penentang Pancasila karena ada tujuh kata yang dihilangkan: Kewajiban Dengan Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya, diskursus ini terus dibahasakan. Tidak sedikit kelompok-kelompok radikal seperti NII mengilustrasikan Pancasila sebagai Toghut, simbol Iblis atau setan.
Beberapa kelompok lain menyoal biang persoalan dan masalah yang dihadapi oleh negara ini adalah dengan diubahnya Piagam Jakarta oleh Pancasila seperti sekarang pada tanggal 18 Agustus 1945. Debat kusir pun terjadi dimana-mana, berujung pada kemunafikan sikap, menentang habis-habisan Pancasila dan demokrasinya namun masih tetap kerasan tinggal di negara Pancasila dan memiliki tekad kuat menggantinya dengan hukum Islam. Sementara pengaplikasian syariat Islam menjadi hukum positif saja belum menemukan bentuk yang definitif.
Ada benarnya apa yang pernah diucapkan oleh Ibnu Rusyd, mempersoalkan masalah-masalah falsafi atau filsafat di muka umum (awam) akan semakin mengaburkan kebenaran itu sendiri. Contoh sederhana adalah maraknya penggandaan uang, bukankah kasus ini telah berlangsung dari tahun ke tahun? Logika sederhana saja akan menjawab: jika seseorang dapat menggandakan uang, kenapa tidak untuk dirinya saja? Apa hanya karena ada ujar-ujar: dokter tidak mungkin menyuntik dirinya sendiri, kemudian harus banyak orang yang tertipu oleh modus penggandaan uang ini? Maka benarlah bahwa kita merupakan manusia-manusia pelupa yang selalu membutuhkan repetisi agar ingatan segera pulih kembali.
Kang Warsa Guru MTs Riyadlul Jannah dan Anggota PGRI
Banyak sekali wacana, diskusi, hingga perdebatan dengan nuansa repetisi. Dari dulu hingga kini yang dipersoalkan itu lagi itu lagi, bahkan itu juga itu juga, padahal wacana hingga diskursus tentang persoalan tersebut memang sudah terselesaikan oleh para ahli yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.
Persoalan Geosentris dan Heliosentris misalnya, telah selesai ketika para saintis mempublikasikan penemuan bentuk bumi dan sistem tata surya setelah hampir berabad-abad teori Geosentris dinyatakan sebagai konsepsi ilahiyah mengenai bentuk dan pusat tata surya dipukul oleh Heliosentris Copernicus. Perdebatan ini telah selesai, akal yang digunakan oleh para saintis telah melunakkan kuasa para santos. Namun tidak cukup sampai di sana, perdebatan kembali hadir dengan lahirnya penafsiran baru terhadap kitab atau wahyu Tuhan. Sebab, jika teori Geosentris yang dilahirkan oleh kekuasaan Gereja abad pertengahan ternyata diakui telah dikalahkan oleh Heliosentris kaum saintis berdampak pada kenisbian Wahyu. Agar wahyu tersebut tetap bisa diakui kebenarannya, bukan ayat-ayat dalam kitab yang harus dihapus atau dihilangkan melainkan cara manusia menafsirkan pesan-pesan wahyu tersebut.
Dengan lahirnya repetisi wacana, maka penafsiran terhadap wahyu pun menjadi lebih rasional. Geosentris bukan berarti bumi sebagai pusat tata surya melainkan sebagai pusat kehidupan. Karena memang demikian, kehidupan hanya baru ditemui di planet bumi ini. Dengan demikian, antara pengetahuan dan wahyu ternyata bukan sesuatu yang saling bertolakbelakang apalagi saling mengalahkan dan saling sikut.
Adakalanya sikap repetisi ini bisa berdampak pada semakin melubernya bahkan menjadi pemantik munculnya konflik. Islam telah menjelaskan, para mufassir pun dengan keilmuannya menjabarkan, Umat Islam –jangan memilih- selain pemimpin beragama Islam. Wacana ini sebenarnya sudah selesai di era ke-kholifahan. Namun karena konsep ini terus dibahasakan oleh para politisi yang memiliki tugas ‘berkoar-koar’ lalu memunculkan tafsir-tafsir baru tentang hal ini. Jika konsensus atau Ijma' Ulama terhadap al-Maidah ayat 51 memang telah selesai sudah seharusnya umat Islam menerima ini dengan lapang dada. Namun faktanya, ayat ini –tampak- hanya dibahasakan pada pelaksanaan pilkada saja, jika ada calon dari umat lain. Jika calon yang diusung oleh lawan politik itu perempuan, maka ayat yang laku digunakan adalah surat An-Nisa tentang kepemimpinan.
Wacana merepitisan persoalan ini berbanding lurus dengan semakin mudahnya informasi diciptakan dan dikemas. Alasan utamanya adalah untuk menemukan kebenaran dan meminimalkan kesalahan. Sayangnya jarang sekali data akurat yang digunakan. Contoh, perdebatan atau diskursus Islam dan Pancasila telah selesai di era Orde Lama juga. Semua pihak telah sepakat, tidak ada satupun sila dalam Pancasila berseberangan dengan Islam. Namun para penentang Pancasila karena ada tujuh kata yang dihilangkan: Kewajiban Dengan Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya, diskursus ini terus dibahasakan. Tidak sedikit kelompok-kelompok radikal seperti NII mengilustrasikan Pancasila sebagai Toghut, simbol Iblis atau setan.
Beberapa kelompok lain menyoal biang persoalan dan masalah yang dihadapi oleh negara ini adalah dengan diubahnya Piagam Jakarta oleh Pancasila seperti sekarang pada tanggal 18 Agustus 1945. Debat kusir pun terjadi dimana-mana, berujung pada kemunafikan sikap, menentang habis-habisan Pancasila dan demokrasinya namun masih tetap kerasan tinggal di negara Pancasila dan memiliki tekad kuat menggantinya dengan hukum Islam. Sementara pengaplikasian syariat Islam menjadi hukum positif saja belum menemukan bentuk yang definitif.
Ada benarnya apa yang pernah diucapkan oleh Ibnu Rusyd, mempersoalkan masalah-masalah falsafi atau filsafat di muka umum (awam) akan semakin mengaburkan kebenaran itu sendiri. Contoh sederhana adalah maraknya penggandaan uang, bukankah kasus ini telah berlangsung dari tahun ke tahun? Logika sederhana saja akan menjawab: jika seseorang dapat menggandakan uang, kenapa tidak untuk dirinya saja? Apa hanya karena ada ujar-ujar: dokter tidak mungkin menyuntik dirinya sendiri, kemudian harus banyak orang yang tertipu oleh modus penggandaan uang ini? Maka benarlah bahwa kita merupakan manusia-manusia pelupa yang selalu membutuhkan repetisi agar ingatan segera pulih kembali.
Kang Warsa Guru MTs Riyadlul Jannah dan Anggota PGRI
Posting Komentar untuk "Jebakan Repetitif"