PENYEBARAN DAN PERKEMBANGAN ISLAM
DI CIKUNDUL
Oleh: Kang Warsa
Guru MTs Riyadlul Jannah – Anggota PGRI Kota Sukabumi
SEBUAH perkampungan di selatan Kota Sukabumi bernama Cikundul masih bernama Kampung Jeruk. Sebelum Wira Tanu Datar VI membentuk kepatihan Cikole sebagai cikal bakal Sukabumi. Dalam kurun waktu 37 tahun, selama masa jabatan Wira Tanu Datar VI, belum ditemukan data pembagian distrik-distrik Kepatihan Cianjur di Sukabumi, terdiri atas; distrik Gunungparang, distrik Cimahi, distrik Ciheulang, distrik Cicurug, distrik Jampangtengah, dan distrik Jampangkulon . Pusat pemerintahannya terletak di Cikole. Pembagian Sukabumi menjadi beberapa distrik -menurut Ruyatna Jaya- bertepatan dengan diberlakukannya Undang-undang Agraria pada tahun 1870. Peralihan nama Kampung Jeruk menjadi Cikundul dilatarbelakangi oleh kedatangan Wira Tanu Datar VI ke daerah ini karena beberapa alasan; Pertama, Kampung Jeruk merupakan sebuah perkampungan yang memanjang di pinggiran Sungai Cimandiri. Kedua, di tempat ini sejak penghujung abad ke 17 telah ditemukan semburan air panas tepat di bantaran Sungai Cimandiri.
Semburan air panas ini disebabkan oleh pergeseran sesar Cimandiri pada tahun 1699. Meskipun masih merupakan asumsi, pergeseran sesar besar yang membentang dari Lembang hingga Pelabuhanratu ini telah mengubah struktur lapisan tanah teratas antara lain; beberapa danau kecil di daerah Lembursitu ; Situmekar, Situgede, dan Bojongloa mengalami penyurutan sebagai akibat dari retakan tanah di sebelah selatan daerah tersebut yang membentuk sungai-sungai kecil ke arah Sungai Cimandiri. Dugaan ini masih harus terus diteliti secara serius, terutama tentang gejala-gejala dan kenampakan alam sebagaimana tersebut dan beberapa perubahan nama perkampungan di daerah tersebut, seperti Situgede menjadi Cipanengahhilir, Santiong dan Pangkalan Kulon. Memang ada beberapa sumber menyebutkan Situgede merupakan sebuah telaga yang berada dekat dengan kampung Rawagede, tetepi jika kita – saat ini – memandang dataran rendah di sebelah barat Santiong, imajinasi kita akan dibawa ke masa lima abad lalu ketika tempat itu masih berupa danau besar berukuran 2,5 x 1 (km2).
Sebelum kedatangan Islam –yang disebarkan melalui beberapa proses dari Individual kemudian dilanjutkan ke cara konstitusional – masyarakat Kampung Jeruk dan sekitarnya masih memegang teguh keyakinan yang telah diwariskan oleh leluhur mereka sebagai orang Sunda. Mata pencaharian mereka sebagai para petani, membuka lahan persawahan dan huma. Sampai saat ini, sistem pengairan lahan pertanian yang mengandalkan air hujan masih dilakukan oleh sebagian masyarakat atau petani di lereng-lereng pergunungan. Beberapa alat dan istilah yang terhubung dengan budaya agraris masih bisa dijumpai dan dimiliki oleh beberapa orang, seperti; ngaseuk, aseukan, lisung, halu, parĂ© sapocong, dulang, tolok, dan giribig. Memang, di zaman ini, beberapa alat dan istilah sebagaimana tersebut telah menjadi barang langka dan hanya bisa dijumpai di masyarakat bantaran Sungai Cimandiri seperti Cipeueut dan Bangbayang.
Sebuah Gunung diberi nama Arca bertengger dengan khidmat di sebelah selatan perkampungan Cipeueut, Bangbayang, dan Cikundul. Penamaan Arca pada gunung tersebut karena keberadaan sebuah arca-patung berbentuk menhir di 'mumunggang' atau bagian puncak gunung. Pada abad ke 15, menhir ini tidak ditujukan sebagai tempat pemujaan kecuali sebagai tanda tempat transit dan peristirahatan masyarakat dari bagian gunung sebelah selatan dan timur (daerah Bojongkalong,Nyalindung) yang akan melakukan aktifitas perdagangan ke perkampungan sebelah utara (peuntas). Alasan ini dikemukakan oleh beberapa tokoh yang tinggal di daerah lereng gunung, perkampungan-perkampungan dari Cipeueut hingga Wangunreja merupakan tempat transaksi atau perdagangan masyarakat hingga abad ke-20 dan masuknya tentara Jepang ke daerah ini.
Asumsi mendasar terhadap keberadaan menhir bukan sebagai tempat pemujaan yaitu; sistem religi atau keagamaan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat merupakan keyakinan panteisme, bagaimana mereka hidup bersama dengan alam, bagaimana cara diri manusia menyatu dengan alam. Alasan lain, teori tentang keyakinan Hindu telah berkembang di daerah ini terbantahkan karena tidak ditemukan perkakas dan unsur-unsur kebudayaan Hindu yang melekat erat dengan kehidupan masyarakat waktu itu. Di daerah ini sama sekali tidak ditemukan sesuatu baik alat maupun tempat yang terhubung dengan ritus-ritus, upacara, hingga tata cara hidup yang dilakukan oleh masyarakat Hindu.
Penyimpangan terbesar dalam memandang sistem reiligi masyarakat Kampung Jeruk dan sekitarnya terjadi karena cara pandang kita terutama para peneliti yang sering mengaitkan kehidupan sebuah masyarakat dengan kondisi global yang terjadi di daerah lain. Cara pandang 'totem proprate' ini telah menghasilkan pandangan bukan hanya tidak adil juga keliru tentang keyakinan yang dianut oleh sebuah masyarakat. Keberadaan Gunung Arca dan sebuah menhir diasumsikan melalui sebuah pandangan, di daerah ini agama yang dianut oleh masyarakat adalah dinamisme sebagai pengaruh dari keyakinan Hindu. Hal ini menjadi salah satu sebab, pada tahun 1994, batu atau menhir Gunung Arca dibongkar dan 'dinistakan' karena dianggap sebagai sesembahan masyarakat tradisional oleh beberapa orang bertanggungjawab.
Menurut penuturan Abah Di'ung, salah seorang pegiat budaya pencak silat, batu tersebut dirusak dengan cara ditendang, karena dipandang sebagai bagian dari kemusyrikan. Pada akhirnya, siapapun akan mengalami kesulitan untuk melakukan penelitian tentang apa dan untuk apa masyarakat membuat menhir itu dan diletakkannya di sebuah gunung?
Kedatangan Wira Tanu Datar VI ke Kampung Jeruk diyakini oleh sebagian besar masyarakat, hal ini menjadi satu alasan pergantian nama Kampung Jeruk menjadi Cikundul sebagai upaya untuk menghormati Eyang Dalem Cikundul, leluhur Wira Tanu Datar VI (Dalem Enoch). Tidak jauh dari Kantor Kelurahan Cikundul dibangun sebuah Makam (tempat persinggahan) Wira Tanu Datar VI ketika bermalam di daerah ini. Saat ini, masyarakat masih memiliki pikiran yang sama terhadap istilah makam sebagai kuburan. Mayoritas masyarakat memiliki pandangan, makam Eyang Dalem Cikundul merupakan kuburan Eyang Dalem Cikundul sendiri, tidak lebih dari itu meskipun tidak tepat. Kita juga sering menyamakan sebutan bagi seseorang seolah sama dengan sebutan kepada orang lain dalam satu garis keturunan, seperti padangan kita kepada Fir'aun, seolah Fir'aun merupakan satu sosok. Ditambah lagi, karena diberi nama makam, di sana juga dibangun sebuah tempat berbentuk kuburan. Setiap Kamis Malam, makam ini diziarahi oleh masyarakat dari berbagai daerah.
Proses penyebaran dan perkembangan Islam di Cikundul –sama sekali – belum diteliti secara serius dan utuh oleh para ahli. Berdasarkan beberapa obrolan dengan beberapa tokoh, dapat diperkirakan pintu masuk penyebaran Islam ke Cikundul ini melalui daerah Bangbayang dengan alasan, pada abad ke-15 daerah di lereng pegunungan merupakan sebuah pasar tradisional dan perdagangan masyarakat. Penyebaran Islam di Sukabumi tentu berbanding lurus dengan semakin kokohnya Kekuasaan Kerajaan Islam di Banten, Sundakelapa dan Cirebon. Untuk mengetahui bagaimana proses penyebaran dan perkembangan Islam di daerah Cipeueut, Bangbayang, Cikundul, dan daerah sekitarnya dapat terhubung oleh keberadaan beberapa orang antara lain; Abah Acin (1820 – 1902), K.H Yunus (1843-1950), dan K.H Sayuthi (1864-1988).
Abah Acin, seorang tokoh sentral di kampung Jeruk dipercaya masih menganut ajaran leluhur. Dia memiliki ilmu kanuragan, memang keajaiban atau kata yang merujuk terhadap keajaiban ini kurang diterima secara ilmiah dan sulit untuk dimasukkan ke dalam obyek penelitian. Tetap berdasarkan cerita yang tersebar di masyarakat, keajaiban atau keistimewaan tentang orang-orang terdahulu seperti sebuah fakta yang sulit dibantah. Dengan tidak mengurangi keilmiahan dan bisa disebut pseudo-ilmiah, kesaktian Abah Acin tergambar dari beberapa penuturan sebagian masyarakat yang dibahasakan secara turun-temurun.
Sebuah peristiwa, banjir bandang pernah terjadi di Sungai Cimandiri, air meluap hingga memenuhi bantaran, sebagai seseorang yang memiliki beberapa kerbau akan menjumpai kesulitan bagaimana cara menyeberangkan kerbau dari bagian bantaran sungai ke bantaran sebelahnya. Cukup dengan melambaikan tangan, kerbau-kerbau itu seolah menurut kepada Si Pemiliknya, kemudian mereka menyeberangi melawan arus Sungai Cimandiri dan bisa melintas dengan selamat.
Abah Acin tetap memegang teguh ajaran yang diterima dari leluhurnya hingga lanjut usia. Kepada Yunus, anak sulungnya, dia sering mewasiatkan – meskipun dirinya masih memegang teguh keyakinan leluhur – agar sang anak bersikeras dan bersungguh-sungguh menimba ilmu ke luar kampung. Wasiat Abah Acin diterima baik oleh Yunus. Di usia remaja, Yunus pergi ke Banten – sumber mengenai dimana Yunus mengenyam pendidikan keislaman masih belum tepat pasti-. Setelah mendapatkan ilmu keislaman yang cukup, Yunus kembali ke kampung halamannya. Tidak langsung menyebarkan Islam kepada masyarakat terutama di tempat keramaian seperti pasar tradisional tempat perdagangan.
Abah Acin sendiri - meskipun beberapa sumber masih meragukan apakah dia memeluk Islam atau tidak- tetapi saat kepulangan anaknya melakukan kebiasaan: mandi atau 'beberesih', sebagai simbol atau tanda penerimaan seseorang sebelum meyakini atau mempelajari sebuah ilmu. Keyakinan masyarakat yang berkembang saat itu, ketika mereka akan mempelajari sebuah ilmu sudah bisa dipastikan akan melakukan ritual mandi terlebih dahulu.
Salah satu alasan Abah Acin memerintahkan agar Yunus menuntut ilmu keislaman disebabkan oleh cara pandang orangtua tersebut terhadap gejala umum yang sedang terjadi di wilayah lain seperti Banten dan Sunda Kelapa. Di usia remaja, Abah Acin pernah melakukan perjalanan sampai ke Pelabuhan Sundakelapa, disana dia melihat bagaimana penyebaran Islam dan perkembangannya yang dilakukan oleh para pedagang begitu pesat hingga terbentuk masyarakat baru bernama komunitas muslim di Banten dan Sundakelapa. Sebuah keniscayaan yang tidak akan terbendung adalah konversi keyakinan lama ke keyakinan atau agama baru. Konversi keyakinan ini bersifat masif selama abad ke 7 hingga abad ke 18.
Abah Acin dengan tanpa banyak cerita memberikan harta miliknya kepada Yunus untuk melakukan Ibadah Haji ke Tanah Suci pada tahun 1893. Pulang dari Mekah, K.H Yunus mulai membuka pengajian dan pengajaran keislaman di Cikundul , tidak dalam bentuk lembaga, melainkan secara personal atau individual. Islam menyebar di Cikundul memiliki kemiripan dengan proses penyebaran Islam di Nusantara melalui berbagai pendekatan terutama secara personal dan kultural. Tradisi-tradisi lama sama sekali tidak pernah dijadikan penghalang oleh K.H Yunus untuk meyampaikan ilmu keislaman. Masyarakat Cikundul dan sekitarnya masih tetap melakukan tradisi leluhur seperti; nyekar, ngembang, puasa mati geni, mencuci benda pusaka, dan kebiasaan lain yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Penyebaran dan perkembangan Islam di Cikundul terlembagakan saat anak sulung K.H Yunus, yaitu K.H Sayuthi mendirikan masjid dan pondok pesantren berukuran kecil tepat di sebelah utara Sungai Cimandiri setelah menunaikan ibadah haji pada tahun 1930. Sikap K.H Sayuthi dalam menyebarkan Islam melalui jalur pendidikan ini mendapatkan tanggapan kurang baik dari Pemerintah Kolonial. Menurut Schrieke, dalam teori balapan antara Islam dan Kristen dalam proses penyebaran kedua agama ini telah membawa pemikiran perang sabil dan perang salib yang terjadi di abad pertengahan ke daerah koloni baru. K.H Sayuthi ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah Hindia Belanda selama Sembilan bulan. Teori balapan sebagai salah satu teori penyebaran Islam di Nusantara diyakini sebagai teori konflik yang dilandasi semangat dendam dua imperium Islam dan Kristen namun bernuansa politis. Teori ini mendapatkan sanggahan dari beberapa ahli, misalkan Syed Naquib Al-Attas menyebutkan, terlalu gegabah jika penyebaran Islam dikaitkan dengan perang salib yang telah berlalu lima abad ketika Islam disebarkan oleh para sufi pengembara dari Persia melalui pendekatan kultural dan individual.
Sampai sekarang, Islam telah dianut oleh masyarakat Cikundul dengan tetap mempertahankan tradisi lama. Masyarakat Cikundul sebagai masyarakat agraris masih biasa melakukan upacara musim cocok tanam dan panen. Terjadi kompromi yang baik antara nilai-nilai Islam sebagai rahmat dengan nilai-nilai leluhur sebagai ajaran yang benar-benar menghormati keberadaan sebagai bagian dari alam. Dengan pendekatan ini, tidak terbantahkan, Islam telah tampil sebagai pemenang dalam persaingan konversi keyakinan dibanding agama-agama lain dari wilayah pesisir hingga ke pedalaman.
Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya dengan jaringan Indosat.
Posting Komentar untuk "Penyebaran dan Perkembangan Islam di Cikundul "