Review Buku: Islam Pascakolonial



A.     PENGANTAR

MELAKUKANreview buku merupakan sebuah proses memindahkan ide-ide dan gagasan penting yang tertulis dalam buku tersebut. Sebagai sebuah proses tentu saja hal ini membutuhkan beberapa perangkat antara lain; buku yang akan di-review, kecermatan pe-review dalam membaca dan menelaah buku, serta ketepatan dalam menarik berbagai kesimpulan yang ada dalam buku tersebut. Semua buku dapat di-review, namun tentu saja buku-buku dengan kualifikasi ‘tertentu’-lah yang memiliki bobot untuk di-review agar hasilnya benar-benar dapat tersaji dengan memiliki kualitas pula.

Mengingat hal tersebut di atas, buku Islam Pascakolonial: Perselingkungan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme karya Ahmad Baso merupakan sebuah buku yang layak untuk di-review. Buku Islam Pascakolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme karya Ahmad Baso ini adalah yang pertama memperkenalkan studi dan teori-teori pascakolonial ke dalam sejarah pergumulan agama-agama (terutama Islam) dengan kolonialisme Belanda di Indonesia.

Jika ditelaah secara serius, pendekatan buku ini menjadi relevan saat ini di tengah maraknya proses liberalisasi agama seperti model “Islam liberal”. Buku ini menelusuri masuknya paham “liberal” dan “kemodernan” dalam sejarah kolonialisme seperti diperkenalkan oleh kebijakan pemerintah kolonial Belanda tentang Islam. Munculnya pemahaman liberal sebagai bentuk pemaknaan terhadap masa lalu karena kolonialisme bagaimanapun selalu menawarkan satu sisi proyeksi membangun peradaban bagi penganut kolonialisme itu sendiri. Liberal dipandang sebagai watak kemerdekaan dari semangat negara-negara penjajah atas negara terjajah karena masih mengandalkan kejumudan dan kesederhanaan dalam hidup. Akhirna pandangan liberal di masa kini mengubah masa lalu. Bukan  hanya kehidupan di masa lalu bahkan di dalam wahyu-wahyu Tuhan pun menghendaki adanya kemerdekaan dan kebebasan dalam berekspresi sebagai pondasi utama liberalisme.

Menurut Baso, Islam yang diperkenalkan kolonialisme adalah Islam yang diatur, diadministrasi, dan mudah dikontrol. Sementara Islam yang dianggap liar, bebas, dan susah diatur seperti kelompok-kelompok mistik dan tarekat, digeser ke pinggir dan dicap khurafat, kriminal, dan juga fanatik. Pendekatan liberal terhadap Islam ini memungkinkan Belanda menempatkan Islam pertama-tama sebagai objek kajian, lalu sebagai objek pengawasan, seperti dibuktikan dalam kemunculan sarjana Belanda, C. Snouck Hurgronje. Artinya, Islam Pascakolonial pun tidak terlepas dari masa lalu sejarah yang dibangun atas pesanan penguasa atau pemerintah. Ahmad Baso mengilustrasikan hal ini pada sebuah film: Back To the Future, antara masa lalu, masa kini, dan masa depan saling mengikat. Perbedaannya terletak pada penafsiran masa lalu di masa sekarang. Bagaimana  juga, menghadirkan masa lalu dan membahasakannya kembali di masa kini disebabkan oleh adanya kepentingan.

Hal tersebut di atas disitir oleh Baso dengan  mengutip Franz Fanon pada halaman 51 buku ini:

“ Colonialism is not satisfied merely with holding a people in its grip and emptying the native’s brain of all form and content. By kin of perverted logic, it turns the past of the opperesed people, and distorts, disfigures and destroys it. This work of devaluating pre kolonial history takes on a dialectical significance today”

(Kolonialisme tidak puas sekadar menggenggam kepala penduduk yang dijajahnya dan menguras semua isinya. Dengan logika yang dibalik, kolonialisme justru tertuju pada masa lalu penduduk yang dijajah, lalu mendistorsi, mengutak-atik, dan menghancurkannya. Hasil kerja pengguguran nilai sejarah prakolonial mengambil makna dialektisnya sekarang ini).

Ada dua alasan mengapa Islam dipandang penting. Pertama, Islam merupakan agama mayoritas bangsa pribumi; kedua, Islam adalah agama sekaligus ideologi transnasional yang memiliki sejarah konflik yang panjang dengan peradaban Eropa. Penulis mengeksplorasi lebih jauh peran Snouck Hurgronje yang berhasil menjadikan praktik-praktik adat dan keagamaan tradisional sebagai agenda pemerintahan kolonial, baik dalam hukum maupun sebagai objek pengawasan polisi dan kejaksaan.

Secara khusus, penulis mendasarkan metode pelacakan historisnya pada genealogi Michel Foucault. Dalam genealogi, yang menjadi pokok perhatian adalah bagaimana sebuah pengetahuan atau wacana menjadi bagian integral dari cara berkuasa atau menguasai (hlm. 39).

Agar lebih jelas dan memiliki kronologi yang tepat, tentang ide dan gagasan besar dalam buku ini akan diuraikan pada bagian ketiga dalam review ini: pada pemaparan gagasan pokok Islam Pascakolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme.

B.      KONTEKS PEMIKIRAN DI INDONESIA

KONTEKSpemikiran di Indonesia dalam bagian ini merupakan konteks Indonesia Pascakolonial. Dalam pengantar buku ini, Azyumardi Azra menyebutkan persoalan keindonesian sekarang ini tidak bisa terpisah dengan masa kolonial. Memandang Indonesia saat ini , terutama diskursus dan diskusi tentang keislaman harus tidak mengabaikan masalah-masalah di masa lalu, khususnya terhadap persoalan yang berkaitan dengan persoalan agama. Keberadaan masa kini – dengan bahasa lain disebut kekinian – tetap dipengaruhi dan akan merujuk kepada masalah-masalah yang berlangsung di masa lalu. Hal ini merupakan sebuah bagian yang tidak bisa dipisahkan. Menurut Azra, Ahmad Baso berusaha mengungkapkan kebenaran melalui kajian yang telah dituangkannya ke dalam sebuah buku.

Keberadaan buku ini terhadap kontekts kekinian akan membuka cakrawala dan cara pandang baru terhadap pesoalan keagamaan – keislaman, di mana sampai saat ini sebagian besar kita masih memandang jika keagamaan kontemporer seolah sama sekali tidak dipengaruhi oleh apa yang telah dilakukan oleh penjajah. Ini merupakan penulisan sejarah baru, sebagai sebuah sejarah sosial yang menghadirkan persoalan orang-orang miskin atau kelas bawah. Sebagian besar dari kita masih memandang, keagamaan masa kini hanya dipengaruhi oleh wacana-wacana yang berkembang dalam internal umat saja, tanpa ada campur tangan pihak lain atau ekternal di luar diri umat.

Jika ditinjau lebih jauh, konteks pemikiran Indonesia saat ini merupakan dialektika tak berkesudahan dan terus berkesinambungan sejak negara ini dihuni oleh penduduk pribumi, dalam skala besar sejak wilayah ini masih disebut Nusantara. Tidak begitu jauh dengan konteks keagamaan yang akan terus berlangsung. Pascakolonial, konteks pemikiran Indonesia dalam hal keagamaan ditandai oleh kebangkitan kaum elite dan hancurnya gerakan rakyat. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai problematika kehidupan keberagamaan di kalangan umat , khususnya kalangan Islam, yang sering berhadapan dengan elit kekuasaan. Pascakolonial merupakan masa perkawinan dan perjumpaan antara sejarah sosial dengan sejarah agama dan hukum Islam. Kemenangan kaum elite telah menempatkan seolah Islam diposisikan sebagai pelengkap bagi negara saja, ketika ada maunya negara mendekati Islam, namun ketika kepentingan telah tercapai, maka Islam ditinggalkan. Kendatipun demikian, pada kondisi seperti ini Islam sendiri sebetulnya merasa diuntungkan, lahirnya korelasi antara agama dan negara sebagai konsep puritan. Terpecahnya korelasi antara agama dan negara seperti pada kasus era Orde Baru diakibatkan oleh krisis muti dimensi, salah satunya krisis ekonomi. Resesi ekonomi telah memecah bukan hanya antara agama dan negara saja, juga dalam tubuh agama itu sendiri.

Kehancuran korelasi antar dalam tubuh Islam sendiri telah memecah kaum elite tetap berpihak kepada pemerintah atau kembali mengumandangkan nostalgia lama, mengusik kembali dasar negara yang harus berdasarkan syariat Islam Bagi Para Pemeluknya. Kelompok kedua dalam Islam memisahkan diri dari pemerintahan reformasi dan mengambil langkah lama mengumandangkan kembali Islam sebagai sebuah agama universal, syumuliyyah, dia merupakan seperangkat aturan yang sempurna dan tidak berhak didikte oleh aturan-aturan apa pun, terlebih aturan manusia. Dengan kata lain, sejak era reformasi hingga sekarang, konsepsi Islam universal ini toch belum bisa mewujud dalam bentuk hukum positif, Islam universal terlalu sering diwacanakan, hal ini terbentur oleh pandangan lain jika ada wacana Islam Universal, maka sebagai bentuk negasi atau antithesis dari hal tersebut adalah adanya hal yang tidak universal. Dalam kondisi kemelut dan keterpecahan ini, lahir sosok Gus Dur sebagai seorang Presiden namun tetap melakukan ziarah kubur. Kegiatan Gus Dur seperti ini, oleh para penganjur universalisasi Islam disebut sebagai bentuk “mistifikasi politik”. Lebih jauh, para penganut universalisasi Islam mengaitkan dengan praktik-praktik bid’ah terhadap ibadah-ibadah ghoir mahdloh tersebut.

Kehadiran Islam bercorak tradisional dan Nusantara ini telah memukul para penganjur Islam Universal karena tanpa diduga-duga, justru Islam tradisional yang direfleksikan oleh seorang Gus Dur malahan tampil sebagai seorang presiden dan mengikat erat antara agama dan negara tanpa menghapus dasar negara dan menggantinya dengan seperangkat hukum Islam yang selalu diidamkan oleh para penganjur universalisasi Islam. Sudah tentu, pewacanaan Islam Universal mendapatkan gangguan dari Islam bercorak tradisional yang membuka cakrawala etnisitas dan kedaerahan, padahal antara identitas etnik dengan militansi keagamaan merupakan dua hal berbeda yang harus dikaji secara serius dan utuh, termasuk hubungan kedua entitas tersebut, agar di kemudian tidak menjadi bumerang sebagai potensi konflik. Pada akhirnya, Islam Universal hanya sebatas berada di ranah wacana, tidak membumi, karena sering tampak adanya konflik atau perceraian antara para pengusungnya dengan kearifan lokal. Wacana Islam Universal hanya berada di ruang-ruang kelas dan perdebatan tanpa menyentuh ranah kehidupan manusia itu sendiri, ketika semua sepakat bahwa agama akan berkembang dan tumbuh jika telah benar-benar membumi.

Konteks pemikiran keagamaan di Indonesia, meskipun masih terus terlihat pertentangan antara kubu modern atau penganjur universalisasi Islam dengan kubu tradisional, tiga tahun setelah reformasi mulai menjinak dengan lahirnya pandangan baru: Islam Moderat, sesuai dengan dalil, ummatan wasathan. Bukan hanya moderat, dalam era reformasi pun lahir pandangan baru tentang Islam Liberal dengan berbagai spektrumnya. Dan sebetulnya, masalah ini memang telah lama berjalan dalam tubuh umat Islam sendiri. Cara baru dalam berpikir lahir, di era sekarang bagi para penganut liberalisme, Islam harus bersifat progressif, terbuka, toleran, dan liberal. Sayang sekali, anjuran tersebut disalahartikan oleh orang-orang yang sinis sebagai sebuah sikap pro-Amerika, pro-globalisasi, atau pun pro-Barat. Dari sini telah melahirkan diskursus baru tentang fundamentalisme dan liberalisme keagamaan. Pandangan siapa saja sering mengikatkan jika liberalisme seolah berpusat di Amerika, dengan kata lain ketika sebuah kelompok atau individu lebih mendekati pusat orbit liberalisme yaitu Amerika, maka mereka akan semakin menjelma menjadi liberalis, sementara bagi siapa saja yang semakin menjauh dari orbit tersebut akan menjelma menjadi seorang fundamentalis. Jika kita memiliki pikiran terbuka dan progressif akan menjadi semakin liberal dan jika kita menutup diri maka akan semakin fundamentalis. Ini melahirkan cara pandang rancu dan keliru terhadap pengistilahan kedua aliran tersebut.

Penafsiran keliru terhadap liberalisme dan fundamentalisme keberagamaan ini pada akhirnya membuka celah konflik baru, bukan hanya dalam internal Islam juga telah membawa negara dan bangsa lain ke wilayah pertikaian. Terorisme semakin menggila sementara negara-negara penganut liberalisme pun semakin kokoh menancapkan kuku-kukunya di negara-negara Pascakolonial dengan bentuk jajahan baru, monopoli di berbagai bidang terutama penguasaan terhadap sumber daya alam. Negara-negara Liberal seperti Amerika tentu saja memiliki alasan untuk menghancurkan kelompok Islam garis keras karena dalam tubuh Islam fundamentalis itu sering diwacanakan tentang musuh nomor satu dan bahaya serta ancaman bagi dunia Islam. Hal sebenarnya yang sedang terjadi adalah, adanya sesuatu yang memang diulang-ulang, terjebak dalam repetisi atau pengulangan wacana. Dalam tubuh umat Islam sendiri muncul kerancuan karena penafsiran dan logika yang digunakan berbeda-beda dalam memaknai agamanya sendiri, kesempatan untuk mewujudkan ketertiban sosial dalam kehidupan  terbengkalai karena terlalu sering larut dalam wacana tanpa berkesudahan. Itu-itu juga.

C.      GAGASAN POKOK

SEBELUMmelanjutkan pada gagasan atau ide-ide pokok buku, penting ditulis kondisi fisik buku ini. Buku Islam Pascakolonial: Perselingkuhan Agama, Koloniliasme, dan Liberalisme diterbitkan oleh Mizan,  memiliki ketebalan 419 halaman sudah termasuk Daftar Isi, Pengantar, Sambutan, Pendahuluan, Isi Buku, dan Daftar Pustaka. Buku ini diterbitkan pada tahun 2005 ketika negara ini telah sampai pada usia tujuh tahun di era reformasi. Selama periode ini terjadi empat kali suksesi kepemimpinan; Habibie, Megawati, Gus Dur, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Keberadaan buku dengan nomor ISBN 979-433-388-3 seolah gayung bersambut dengan kondisi Indonesia pascareformasi dan setelah terjadinya peristiwa besar 11 September 2001 menjadi salah satu latarbelakang penelitian sejarah sosial yang dilakukan oleh Ahmad Baso.

Sistematika dalam buku ini yaitu:

1.     Kebudayaan, Agama dan Kolonialisme; Tentang Studi Poskolonial.
2.     Turbulensi “Islam versus Barat” : Orientalisme Menemukan Islam Sebagai Pendisiplinan.
3.     Penemuan “Kuasa” Jawa dan Islam: Masa Lalu Kolonialisme Sebagai Masa Depan Liberalismee
4.     Penemuan Polisi Kolonial: Pengawasan Dalam Agama, Agama Sebagai Pengawasan.
5.     Penemuan “Hukum Islam” dan Intervensi Terhadap Perempuan.
6.     Penutup: Dari “Dipandang” ke “Memandang” Oposisi Subaltern dan NU Pascakolonial

Arus terbalik penelitian hingga penulisan sejarah yang disajikan oleh Baso dengan cara menghimpun data-data kekinian, tidak bersifat sejarah per se yang lebih banyak membutuhkan data, informasi, dan arsip-arsip masa lalu. Islam Pascakolonialisme adalah sejarah Islam yang ditempatkan di masa kini sebagai akibat penjajahan selama berabad-berabad di Nusantara. Sebagai sebuah buku sejarah Pascakolonial, diakui oleh Baso dalam penulisannya tidak terlalu sering berhubungan dengan naskah-naskah kuno namun lebih mengedepankan bagaimana peristiwa masa kini direkam karena dipandang masih hidup. Meskipun pada awalnya, buku ini ditulis dengan titik fokus pada studi politik kemunculan UU No. 1/PNPS/1966 dan UU Perkawinan Tahun 1974, dan pada akhirnya tetap mengarah pada obyek atau kajian terhadap dampak keberadaan Undang-undang ini. Kedua UU ini telah memunculkan problematik agama resmi dan tidak resmi, konstruksinya jelas, adanya mayoritas dan minortas, diskriminasi dan pengistimewaan dalam hal-hal yang berhubungan dengan hak-hak warga negara.

Kedua UU sebagaimana disebut di atas telah melahirkan konstruksi baru namun sebetulnya bersifat klasik. Adanya campur tangan atau peran serta negara terhadap hak warga dalam masalah beragama seperti penyebutan sesat kepada minoritas di luar agama resmi terlihat ‘gagah’ namun negara tidak pernah menonjolkan identitas sebenarnya apakah sebagai negara agama atau sekular? Dan dengan tidak menunjukkan kejelasan identitasnya tersebut negara malah diuntungkan seolah berdiri pada dua kaki. Keuntungan di era Orde Baru terhadap ketidakjelasan identitas negara ini adalah semakin produktifnya kontrol, sensor, pengawasan dan penertiban atas nama agama atau negara.

Buku ini merupakan studi awal yang bertujuan mengungkap kebangkitan elite dan hancurnya gerakan rakyat dalam sejarah Indonesia yang disebut oleh Baso sebagai kelompok subaltern atau terpinggirkan. Terdapat ambivalensi terhadap sebutan bagi kelompok subaltern ini, yaitu rakyat. Pada satu sisi rakyat disebut sebagai pemilik kedaulatan tertinggi, namun dalam pandangan kelompok elite rakyat disebut sebagai kumpulan gembalaan, orang-orang yang membutuhkan tuntunan sesuai dengan akar kata rakyat itu sendiri berasal dari Bahasa Arab. Terjadi diskursus dalam morfologi kata-kata mendasar dalam kehidupan bernegara seperti halnya dalam sejarah Islam di negara ini. Kelahiran kaum reformis Islam di negara ini seolah telah menjadi pertanda perang terhadap tarekat yang dipandang syirik, khurafat, dan bid’ah. Muncul pertanyaan, mengapa bidikan utama para reformis itu memerangi hal yang dipandang bid’ah dan takhayul dibandingkan harus memerangi kolonialisme gaya baru? Kondisi ini tentu saja dipengaruhi oleh bagaimana cara Belanda mengatur dan mengendalikan rakyat negara terjajah di era penjajahan. Pengenalan hukum adat dan syariat Islam oleh Belanda merupakan jendela masuk bagi penjajah untuk mengontrol kehidupan kelompok subaltern.

Sejarah  yang terbentuk tidak hanya disebabkan oleh konfigurasi masa kini, juga disebabkan oleh adanya peristiwa masa lalu, ini memiliki arti menulis sejarah masa kini sama artinya dengan upaya membongkar faktor-faktor sejarah yang membentuk masa kini. Jenis penulisan sejarah ini merupakan sebuah bentuk genealogi atau sejarah kebenaran dimana perhatiannya dititiktekankan kepada saling keterkaitan berbagai unsur. Pendekatan semacam ini seperti yang pernah dilakukan oleh Focault benar-benar memerhatikan aspek pengetahuan dan wacana menjadi bagian dari cara berkuasa dan menguasai.

Bab per bab buku ini menyajikan perjalanan sejarah Islam Pascakolonial berdasarkan pada isu-isu yang berkembang dan menjadi domain di negara ini. Misalkan pada buku ini, Ahmad Baso memberikan titik tekan pada kedua UU sebagaimana disebut di depan, relasi antara agama dan negara ditempatkan sebagai obyek kajian pada buku ini. Sebelumnya, pembahasan padat mengenai hal ini memang ditulis pada Pendahuluan,  kemunculan relasi antara agama dan negara setelah berakhirnya kolonialisme di negara ini. Teori-teori Pascakolonial dijabarkan meskipun tidak lengkap dalam buku ini. Dua jenis studi sejarah antara Pascakolonial dengan modernitas memiliki pencarian berbeda. Pascakolonial hendak mencari kebenaran secara seimbang antara masa lalu dan masa kini, korelasi dan keterhubungan atau interkoneksi antara masa kini dengan faktor-faktor yang membentuk masa kini. Studi sejarah modernitas cenderung memandang masa lalu sebagai sesuatu yang bersifat kelam, abad kegelapan. Hal ini disebabkan oleh cara pandang bagaimana masa kini yang lebih modern dihadapkan atau diperbandingkan dengan masa lalu yang relatif tradisional.

Perbedaan lainnya, studi poskolonial lebih banyak membeberkan perlawanan-perlawanan kaum terjajah terhadap penjajah. Perjumpaan antara penjajah dengan yang dijajah cenderung menghasilkan benturan atau gesekan, asimiliasi, akomodasi , hingga ambivalensi. Hal yang dilahirkan dengan adanya perjumpaan ini adalah tidak mungkin negara terjajah seperti Indonesia tidak mewarisi apapun dari penjajah. Segala aspek kehidupan hingga agama sekali pun di negara ini tidak lepas dari penjajahan. Harus diakui, beberapa tahun setelah kemerdekaan aktor-aktor kolonialisme telah hengkang dari Indonesia, tetapi siapa bisa mengelak dengan adanya sebutan neokolonialisme, penjajahan dengan jubah baru? Bekas dan sisa kolonialisme masih mengikat erat dengan masa kini. Bahkan ketika kita menyebutkan, tradisi dan kebiasaan bangsa ini merupakan warisan genuine atau asli dari leluhur, apakah kita tidak pernah berpikir jika warisan dari leluhur sendiri pun pernah mengalami polesan pada masa kolonialisme tersebut?

Dalam buku ini dijabarkan juga beberapa teori dan pendapat-pendapat dari berbagai kalangan terhadap makna dan arti poskolonialisme. Yang penting ditegaskan karena buku ini merupakan sebuah studi adalah tentang obyek kajian sejarah poskolonialisme itu sendiri. Studi poskoloniliasme tidak hendak menyajikan peristiwa yang terjadi pada masa kolonialisme , tidak mengutak-atik periodisasi sejarah, tetapi memandang bahwa peristiwa masa lalu benar-benar dilahirkan ketika ada yang membutuhkan dan ketika ada yang berkepentingan dengannya, dia tidaklah hadir dengan sendirinya. Sebagai contoh, kolonialisme diawali dengan adanya penamaan (naming) saat Columbus menemukan Amerika. Sudah tentu dihadirkannya peristiwa masa lalu tersebut berdampak pada kepentingan-kepentingan negara-negara Eropa sekarang, bahwa nenek moyang mereka memang merupakan para pelaut tangguh dan yang telah menemukan lahan atau benua baru. Padahal di masa lalu, di wilayah Amerika sendiri telah lebih dahulu ada penduduk asli yang telah lebih awal mendiami wilayah tersebut. Dengan adanya penamaan (naming) terhadap benua-benua baru maka melahirkan pandangan superior terhadap para penemu yang berimbas pada negara asalnya hingga masa kini. Celakanya, penduduk setempat diposisikan bukan sebagai pemilik lahan tetapi digambarkan sebagai orang-orang yang mendiami beberapa petak lahan saja.

Hal di atas tentu berseberangan dengan kaum nasionalis. Bagi  kaum nasionalis, sejarah masa lalu dihadirkan untuk mengenang betapa agung dan adiluhungnya bangsa sendiri. Untuk Indonesia saja, bangunan sejarah yang dihadirkan adalah masa keemasan kerajaan-kerajaan di Nusantara sebelum kedatangan kolonialisme. Hal  ini wajar sebagai upaya untuk mendongkrak semangat rakyat dalam melawan kekuatan kolonialisme. Dalam hal ini, sejarah atau penceritaan masa lalu memang hadir ketika ada orang atau kelompok yang memiliki kepentingan dengannya. Padahal tidak setiap peristiwa masa lalu bisa hadir dengan segala kedetailannya di masa kini. Peristiwa yang terjadi di masa lalu yang dihadirkan di masa kini merupakan hal yang tersisa dari segenap peristiwa detail pada masanya. Peristiwa masa lalu merupakan kejadian yang telah menyelesaikan tugasnya, kemudian sisa-sisa peristiwa tersebut dihadirkan kembali di masa yang berbeda baik masa kini atau di masa depan.

Teori poskolonial yang dikemukakan oleh Homi Bhabha dihadirkan dalam buku ini dengan sorotan tajam terhadap mimikri dan ambivalensi kolonialisme. Mimikri atau kepura-puraan dalam menuliskan sejarah yaitu sebuah upaya untuk menutupi apa yang seharusnya diketahui oleh orang lain. Sementara ambivalensi dalam kolonialisme sendiri begitu kentara ketika negara-negara Eropa yang berhasil meraih masa kejayaan disebabkan oleh terbukanya kebebasan berpikir atau liberal, dimana di negaranya ekspresi-ekspresi begitu bebas berkeliaran namun pada saat yang sama orang-orang Eropa yang telah berhasil menemukan benua baru kemudian menancapkan kuku kolonialismenya di negara jajahan dengan melakukan aksi-aksi tidak terpuji seperti dehumanisasi dan penindasan. Sudah tentu, penjajahan dalam arti pengekangan itu sendiri bertabrakan dengan norma-norma yang ada dalam liberalisme itu sendiri.

Hal yang sama terjadi pada para Evangelis, di Eropa agama Kristen hadir sebagai agama pembebasan setelah melewati masa-masa kegelapan, namun di wilayah jajahan, agama diposisikan sebagai alat untuk mengontrol penduduk pribumi dengan kata lain melarang kebebasan itu sendiri. Sikap  ambivalensi yang dilakukan oleh para penjajah. Begitu juga dalam agama Islam, norma dan nilai dalam Islam mengajarkan bagaimana manusia menghormati manusia lain, namun proses Islamisasi pada masa-masa dinasti Islam sering bertabrakan dengan norma Islam sendiri. Dan contoh jelas sikap mimikri dalam tubuh umat Islam sendiri saat munculnya wacana Islamisasi Pengetahun namun pada saat bersamaan wacana Islam versus Barat  terus menggelora. Tentu saja hal tersebut bertolak belakang dengan norma pengetahuan di mana keilmuan memang harus melepaskan belenggu-belenggu permusuhan. Sementara ketika terjadi perjumpaan yang intens antara Islam dengan Barat maka akan dikatakan sebagai bentuk peselingkuhan antara Islam dan Liberalisme.

Kutipan terhadap Ashis Nandy dalam buku ini menjadi perhatian utama dalam review buku ini, yaitu; “ Apa pun politik terhadap Islam yang akan dilancarkan oleh kekuasaan non-Islam, hasilnya senantiasa berbeda dengan apa yang ingin dikejar oleh kekuasaan tersebut. Sekali lagi, kekuatan-kekuatan dunia sedang mencoba menggunakan Islam sebagai tujuan kepentingan-kepentingan politiknya. Mereka akan mengalami bahwa mereka pada gilirannya akan dimanfaatkan oleh kaum politisi Islam untuk mencapai tujuan-tujuan yang sangat berbeda dengan tujuan-tujuan kekuatan dunia itu sendiri”. Kutipan tersebut senada dengan kontribusi Edward W Said dalam studi Orientalisme, Barat telah menciptakan Timur sebagai yang lain dan berbeda darinya, begitu pun sebaliknya, Timur telah menciptakan dirinya sebagai yang lain pula sebagai ‘yang Timur’ dan berbeda dari Barat. Timur telah menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang eksotis oleh sebab itu bagi Barat, penelitian tentang Islam oleh sarjana-sarjana Barat bukan karena mereka ingin memeluk Islam melainkan untuk meneliti sebagaimana mereka melakukan penelitian terhadap obyek-obyek lain seperti halnya mereka melakukan penelitian terhadap binatang, tumbuhan, alat-alat musik, dan apapun yang berada di Timur.

Cara memberi arti atau imaging terhadap Islam sebagai persoalan kekuasaan , yang di dalamnya kekuasaan dominan memonopoli tafsir dan pemaknaan tentang Islam dan menyublimasikannya dari wacana politik ke wacana agama. Islam yang ditemukan oleh para sarjana Barat tentu saja diukur dengan standar-standar saintisme yang mengedepankan rasio dan empirik. Pada abad ke 18, Darwinisme menjadi landasan berpijak pengetahuan di Eropa, mau tidak mau Islam pun dipandang dan diteliti dengan cara pandang  evolusi sosial sebagaimana teori evolusi berkembang di Eropa pada abad ke 18. Ernest Renan mengatakan, pelahiran kembali manusia kelas rendahan oleh ras unggul merupakan sebuah keberkahan. Meskipun dia merupakan ilmuwan yang karyanya diakui oleh berbagai kalangan, namun tetap saja terpancar sikap pongah , hal ini disebabkan, dia sedang hidup dan berada di zaman ketika paham evolusi sedang mendominasi Eropa.

Dalam memandang Islam pun demikian, para ilmuwan Barat memang mengakui Islam pernah mengalami masa keunggulan ilmiah, namun terpuruk akibat perang dalam tubuh Islam itu sendiri kemudian Islam harus dilahirkan kembali oleh para ilmuwan Barat untuk dikaji dan diteliti sebagai sebuah obyek. Jeremy Bentham dan John Stuart Mill menyoal perlunya kolonialisme sebagai upaya untuk memberikan pencerahan dan memperkenalkan nilai-nilai baru kepada bangsa lain yang jauh tertinggal atau terbelakang.

Pandangan-pandangan Barat terhadap Islam sendiri telah menyadarkan umat akan citra dirinya. Masuknya negara-negara Eropa sebagai bangsa colonial ke wilayah Islam pada mulanya disebabkan oleh ketidaksadaran umat Islam sendiri, citra diri umat yang dipandang lemah, terbelakang, dan tidak berperadaban. Bersentuhannya dengan kolonialisme ini baru menyadarkan umat Islam tentang sebuah kebangkitan Islam di berbagai pelosok dunia. Apa yang terjadi dalam diri umat berbeda dengan citra diri yang lahir dari dalam orang-orang Eropa. Mereka menemukan hal terbalik dalam Islam, mereka memandang Islam bukanlah sebagai sebuah kehidupan dan peradaban mereka melainkan sesuatu yang jauh di sana. Terjadi jarak dan penjarakan yang pada akhirnya membentuk hal lain, konflik berkepanjangan. Barat terutama kaum colonial harus bisa menjinakkan Islam.

D.      APRESIASI DAN KRITIK

BUKUIslam Pascakolonial karya Ahmad Baso ini. Sebuah buku yang mencoba menuliskan-ulang sejarah kaum subaltern yang hingga kini masih dibungkam geliat dinamikanya dan diingkari suara serta kepentingannya. Dengan meminjam serakan teori dari tradisi studi-studi poskolonial, buku ini pun menggeledah secara detail momen-momen pertemuan umat Islam Indonesia dengan rezim kolonial serta racikan hukum yang dilahirkannya dalam kebijakan pemerintah kolonial tersebut.

Dengan kata lain, buku ini -seperti tampak dalam sub-judulnya: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme- berupaya memaparkan dengan tajam sejarah panjang dan pelik hubungan yang saling mengandaikan antara praktik keagamaan, kolonialisme dan ideologi liberalisme, dengan merujuk secara khusus ke akar-akar terbentuknya hukum dan pengawasan agama-agama sejak masa kolonial Belanda hingga era pascakolonial. Sehingga kian benderanglah bahwa Islam yang diperkenalkan dalam kebijakan kolonialisme itu adalah Islam yang telah diatur, diadministrasi, dan dikontrol sesuai selera kolonial.

Dengan bingkai teori poskolonial seperti itulah secara cukup runut buku ini mengkaji pertemuan pertama Islam dengan kolonialisme yang disusul dengan pelacakan atas jejak kolonialisme Belanda di Indonesia. Selanjutnya, dikaji juga sejarah kemunculan “polisi” kolonial yang melakukan pengawasan atas agama dengan peran utama yang dimainkan C. Snouck Hurgronje.

Beberapa kelemahan dalam buku ini antara lain;
1.     Hampir pada setiap halaman ditemukan kata-kata bahasa asing namun diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, hal ini seharusnya tidak dilakukan. Alangkah lebih baik jika penggunaan bahasa asing yang telah jelas terjemahannya cukup dengan menggunakan Bahasa Indonesia saja;
2.     Sebagai studi awal Islam poskolonial, seharusnya buku ini memaparkan sejarah social secara runut. Ketidak runutan atau terjadinya arus bolak-balik periodisasi dalam buku ini akan menyulitkan pembaca untuk mencerna sejarah itu sendiri secara baik apalagi bagi pembaca biasa.


E.      PENUTUP


ISLAMyang diperkenalkan kolonialisme adalah Islam yang diatur, diadministrasi, dan mudah dikontrol. Sementara Islam yang dianggap liar, bebas, dan susah diatur seperti kelompok-kelompok mistik dan tarekat, digeser ke pinggir dan dicap khurafat, kriminal, dan juga fanatik.

Pendekatan liberal terhadap Islam ini memungkinkan Belanda menempatkan Islam pertama-tama sebagai objek kajian, lalu sebagai objek pengawasan, seperti dibuktikan dalam kemunculan sarjana Belanda, C. Snouck Hurgronje. Artinya, Islam Pascakolonial pun tidak terlepas dari masa lalu sejarah yang dibangun atas pesanan penguasa atau pemerintah.

Sebuah  film: Back To the Future, memberikan ilustrasi antara masa lalu, masa kini, dan masa depan saling mengikat. Perbedaannya terletak pada penafsiran masa lalu di masa sekarang. Bagaimanapun, menghadirkan masa lalu dan membahasakannya kembali di masa kini disebabkan oleh adanya kepentingan.

Ada dua alasan mengapa Islam dipandang penting. Pertama, Islam merupakan agama mayoritas bangsa pribumi; kedua, Islam adalah agama sekaligus ideologi transnasional yang memiliki sejarah konflik yang panjang dengan peradaban Eropa. 

Kang Warsa

Posting Komentar untuk "Review Buku: Islam Pascakolonial"