Sunda Jeung Islam

ISLAM TÉH SUNDA, SUNDA TÉH ISLAM
Oleh: Kang Warsa
Guru MTs Riyadlul Jannah-Anggota PGRI Kota Sukabumi

Telah menjadi catatan sejarah, proses Islamisasi di Nusantara tidak terlepas dari metode penyebaran dan pengembangan Islam oleh para penyebar Islam melalui pendekatan sosial-kultural-religius, artinya Islam di Nusantara ini didakwahkandengan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya. Salah satu bentuk pendekatan socsal-kultural-religius ini yaitu adanya vernakularisasi.

Azyumardi Azra memberikan definisi vernakularisasi ini sebagai pembahasaan kata-kata atau konsep kunci dari Bahasa Arab ke bahasa lokal di Nusantara, yaitu bahasa Melayu, Jawa, Sunda dan tentu saja bahasa Indonesia.  Vernakularisasi ini membawa akibat positif sebab kata-kata dan konsep kunci yang berasal dari Bahasa Arab terasimilasi dengan kata-kata dan konsep lokal yang telah dikenal dan digunakan telah lama oleh penduduk pribumi. Proses ini merupakan jendela masuk proses pribumisasi (indigenesi) Islam agar ajaran Islam mudah diterima dan tertanam di dalam budaya Nusantara.

Penyebaran Islam melalui proses vernakularisasi dan indigenesi telah melahirkan wajah Islam yang santun, dapat diterima oleh penduduk pribumi. Merupakan sebuah keniscayaan dan hal tidak terbantahkan jika para ulama dan kyai di nusantara ini sebagai agen yang membawa perubahan, menyebarkan dan mengembangkan Islam. Horikoshi menyebutkan sepanjang sejarah tradisi Islam, ulama telah mengabdi sebagai satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab atas proses penyebaran ortodoksi Islam terhadap generasi Islam selanjutnya.

Proses vernakularisasi yang dilakukan oleh para penyebar Islam berlangsung secara luas di setiap wilayah di Nusantara. Di Tatar Sunda, Vernakularisasi dilakukan oleh para penyebar Islam mulai dari pembahasaan konsep kunci utama dalam Islam hingga hal-hal terkecil. Penggunaan Term Gusti Anu Maha Agung dan Sang Hyang Tunggal merupakan bahasa-bahasa lokal untuk menunjukkan kepada Allah. Penggunaan term-term tersebut telah berlangsung sejak keyakinan dan kepercayaan monotheisme dianut oleh masyarakat Tatar Sunda. Masyarakat Sunda telah melahirkan gagasan baru tentang  konsep Tuhan dinamai hyang.

Dalam ajaran Sunda, hyang memiliki makna yang hilang atau gaib namun diyakini adanya, tunggal bukan jamak sebagai penguasa alam. Hyang tercermin dalam sifat-sifatNya antara lain; Sanghyang Tunggal (Dia Yang Esa), Batara Jagat (Dia Penguasa Alam), Batara Séda Niskala (Dia Yang Gaib), dan Sanghyang Keresa (Dia Yang Maha Kuasa).  Vernakularisasi konsep ketuhanan dalam budaya Sunda diakulturasikan oleh para penyebar Islam dengan konsep ketuhanan dalam Islam melebur namun tidak menghilangkan konsep kunci dari kedua ajaran. Sampai saat sekarang masyarakat Sunda masih menggunakan kata-kata Gusti AllohAlloh Nu Ngersakeun, dan Kersaning Alloh yang merujuk kepada kata Alloh dalam Islam. Kata sembahyang tetap digunakan untuk menunjuk tata cara ritual sholat lima waktu dalam Islam.

Seperti dalam Islam, masyarakat Sunda juga telah terbiasa melakukan pembacaan dunga (doa) yang disebut rajah. Ketika Islam telah menyebar dan berkembang di Nusantara, penyebutan Sanghyang Tunggal, Allah, dan Rosulullah digunakan oleh masyarakat Sunda baik dalam rajah pamukaatau rajah pamungkas. Pembacaan rajah atau mantra ini biasanya dilakukan pada pertunjukan kesenian, mengutip Ajip Rosidi dalam Mencari Sosok Manusia Sunda:

Pembacaan mantera sebelum mengadakan kesenian tradisional Sunda adalah umum. Seperti juga dalam pertunjukan pantun, dibakar kemeyan dan disediakan sajen yang sudah ditetapkan sebelumnya, seperti tujuh macam bunga-bungaan, bubur merah bubur putih, rujak tujuh macam buah-buahan, cerutu, ayam camani, dan kain putih. Pada waktu membakar kemenyan dibacakan mantera, seperti pada rajah pantun menyebut nama-nama leluhur, para dewa, dan juga nama Allah, Rosulullah, dan para wali."

Melalui proses vernakularisasi dan pribumisasi  ini Islam dapat  menyebar dan berkembang lebih cepat dan mudah diterima oleh masyarakat Sunda lalu tampil sebagai agama pemenang dalam penyebaran agama dibanding agama lainnya. Para penyebar Islam tidak sungkan mendahulukan sikap luwes dan akomodatif  dalam melakukan penyebaran Islam, hal tersebut bukan merupakan sebuah cerita atau romantisme tetapi merupakan hal yang benar-benar terjadi. Kearifan-kearifan lokal (local wisdom) telah dijadikan media efektif oleh para ulama dalam menyebarkan Islam. Peran ulama ini tidak hanya pada skala luas, juga diikuti oleh para ulama di berbagai pelosok dan daerah termasuk tatar Sunda.

Atas dasar itulah Islam lebih mudah menyebar dan berkembang di Tatar Sunda  disebabkan adanya kedekatan antara ajaran Islam dan Sunda dalam konsep ketuhanan. Islam sebagai agama monotheis, begitu juga dengan Sunda telah lama menganut monotheisme. Menurut penelitian arkeologis, masyarakat Sunda telah terbentuk pada masa pra-sejarah. Masyarakat Sunda telah memeluk keyakinan asal sebelum kedatangan Islam. Keyakinan asal ini disebut Sunda Wiwitan.Ajaran monotheis terlihat dalam Sunda Wiwitan atau Jatisunda. Masyarakat Sunda telah mengabdi kepada Sanghyang Tungga, Tuhan Yang Maha Esa sebagai pengurus alam semesta.

Dasar keyakinan terhadap Dzat Yang Tunggal dalam ajaran Sunda Wiwitan itulah yang mempermudah masyarakat Sunda menerima Islam. Pada tahun 1967, dalam acara Riuangan Masyarakat Sunda, Endang Saifuddin Anshari menyimpulkanIslam téh Sunda, Sunda téh Islam Terhadap kesimpulan itu, penelitian terhadap beberapa Peribahasa Sunda telah dilakukan oleh Ajip Rosidi. Dari 500 Peribahasa atau Pikukuh Sunda yang diteliti, ditemukan sebanyak 16 peribahasa yang mempergunakan kata-kata berasal dari Islam seperti: Kokoro Manggih Mulud, Puasa Manggih Lebaran, Jauh Ka Bedug, Hirup Nuhun Paéh Rampés.

Dikirim dari iPhone saya

Posting Komentar untuk "Sunda Jeung Islam"