EMIL
Hampir di setiap daerah di Jawa Barat, pemerintah daerah di masing-masing kota dan kabupaten mengeluarkan himbauan “Gerakan Sholat Subuh Berjamaah”. Tentu saja gerakan ini tidak semata menghilangkan empat sholat lainnya. Pesan dari “Gerakan Sholat Subuh Berjamaah” ini dimaksudkan agar pemerintah dan masyarakat di setiap daerah menyegerakan bangun pagi dan melakukan aktivitas sedini mungkin. Sebab pada dasarnya, hampir setiap waktu, himbauan untuk menunaikan sholat berjamaah dibacakan langsung oleh para muadzin di masjid-mesjid melalui kumandang adzan.
Hari Minggu kemarin, “Gerakan Sholat Subuh Berjamaah” di Kota Sukabumi dihadiri oleh Ridwan Kamil, Walikota Bandung. Setelah menunaikan Sholat Subuh, DKM Mesjid Agung memberikan kesempatan kepada Kang Emil untuk menyampaikan pesan-pesan segar kepada masyarakat Sukabumi. Ada nilai pencerahan dalam penyampaian pesan tersebut.
Kunci kesuksesan sebuah kota dihasilkan oleh dua hal penting. Silaturahmi dan mau berbagi. Dua hal ini, sebenarnya telah ada dalam Islam itu sendiri. Hanya saja, sebagian besar umat Islam di negeri ini sering memiliki sikap dikotomis dalam mempraktikkan Hubungan Manusia dengan Alloh dan Hubungan Manusia dengan Sesama. Menurut Kang Emil: sikap yang harus dimiliki oleh umat Islam adalah bagaimana membawa konsep hablum-minallah ke dalam hablum-minannaas. Silaturahmi dan berbagi akan membawa manusia pada kebahagiaan hidup. Sebuah kota harus diisi oleh orang-orang berbahagia jika ingin maju.
Mayoritas negara-negara berpenduduk Islam saat ini masih jauh dari sikap Islami. Jika harus disebutkan, negara paling Islami di dunia modern saat ini adalah Selandia Baru. Karena di negara tersebut nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Quran telah benar-benar mewujud dalam kehidupan nyara, tidak sekadar dalam bentuk teori namun benar-benar sejalan dengan praktik keseharian. Hal sederhana yang sering kita lupakan dalam kehidupan saja masih benar-benar merupakan hal berat, contohnya kebersihan.
Sebelum menunaikan sholat, membersihkan diri baik jasmani maupun rohani merupakan sebuah kewajiban. Begitupun seharusnya yang tercermin dalam kehidupan, sholat sebagai simbol aktivitas kehidupan selalu diawali oleh wudhu. Jika hal yang sering dipandang kecil seperti menjaga kebersihan saja masih berat dilakukan, bagaimana bangsa kita bisa melakukan tugas-tugas besar apalagi hendak bersaing dengan bangsa lain?
FAHMI
Diakui atau tidak, kita sebagai bagian dari negara dunia ke-tiga masih belum secara maksimal mencerminkan nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Quran. Setelah menyimak paparan Achmad Fahmi, Wakil Walikota Sukabumi, saya akan menguraikan dalam beberapa paragraph ke depan. Memang benar, sampai saat ini, pengejewantahan nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Quran masih belum sepenuhnya dilakukan. Sampai detik ini, kita hanya sebatas mempersoalkan hal-hal yang bersifat tekstual saja. Padahal, al-Quran yang hanya terdiri dari 6.236 ayat (ada juga yang memiliki pandangan 6.666 ayat) terlalu kecil jika hanya dipandang sebagai sekumpulan teks tanpa penerapan nilai-nilainya secara kontekstual.
Maka benarlah ketika di dalam al-Quran tertera ayat: Sesungguhnya Kami telah menurunkan adz-dzikra (al-Quran), dan Kami-lah yang akan menjaganya, mengharuskan adanya keterlibatan atau partisipasi umat dalam bentuk pengamalan isi al-Quran. Penggunaan kata “Kami” atau “Nahnu” dalam Bahasa Arab mengindikasikan harus adanya peran manusia itu sendiri. Jika tidak demikian, maka berlaku hadits Rosulullah: Di zaman akhir, al-Quran hanya akan menjadi hiasan saja karena hanya dibaca secara tekstual tanpa penerapan dalam kehidupan secara kotekstual.
Di Indonesia saat ini, saya memandang sedang berlangsung ledakan keagamaan. Pandangan lain tentang kebangunan kehidupan agama ini telah dikemukakan oleh Karel A Steenbrink. Kebangunan keagamaan pernah terjadi di Indonesia pada abad 19, ditandai oleh beberapa fenomena; bertambahnya masjid dan pesantren, meningkatnya Jemaah haji, dan lahirnya status sosial baru: kyai-santri. Sayang sekali, dua abad setelahnya, bukan kebangunan keagamaan yang lahir justru ledakan keagamaan.
Ledakan keagamaan ini telah melahirkan sikap kasar dalam kehidupan dengan mengatasnamakan agama. Percik-perciknya terlihat begitu jelas dalam kehidupan umat: se-agama, se-akidah, se-madzhab, hingga se-suku bisa saling hujat dan cemooh hanya karena berbeda pilihan dalam Pilkada. Bagi orang-orang seperti ini, Pilkada telah ditempatkan lebih tinggi dari Ukhuwah Islamiyyah, tetapi dengan pongah dan congkak tetap tidak mengakui jika itu merupakan kesalahan besar.
RAJABAN
Rajaban atau peringatan Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW telah menjadi tradisi di masyarakat Islam. Meskipun sampai sekarang masih terus saja terjadi polemik antara yang membid’ahkan dengan yang membolehkan pelaksanaanya, tetap saja rajaban diselenggarakan di masjid-mesjid di setiap Bulan Rajab.
Peristiwa Isra-Mi’raj Rosulullah merupakan persitiwa peningkatan spiritualitas. Keluaran darinya adalah kewajiban menegakkan sholat. Puncak efifani telah membawa Rosulullah pada suasana ekstase seperti pertama kali menerima wahyu. Peristiwa perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha kemudian meningkat ke perjalanan ruhani dari bumi ke Sidhrotul Muntaha ini sering diceritakan oleh para penceramah saat pengajian di Bulan Rajab.
Kisah lain yang biasa diceritakan dalam ceramah Bulan Rajab adalah proses bargaining atau tawar-menawar jumlah waktu sholat antara rosulullah dengan Alloh. Tentu saja kisah seperti ini hanya sebagai pemanis suasana, tidak perlu dijadikan alasan kenapa Alloh memerintahkan penegakkan sholat.
Mencermati apa yang disampaikan oleh Kang Emil dan Kang Fahmi saat “ Gerakan Sholat Subuh Berjamaah” di Masjid Agung Kota Sukabumi, penegakkan sholat, antara imam dan ma’mum, kesadaran terhadap adanya arah kiblat, harus terejawantah dalam kehidupan ini. Sesuai dengan perintah Tuhan: Dirikanlah atau tegakkanlah sholat. Tidak sekadar di masjid dengan berbagai ritualnya namun harus diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Di situlah selalu tampak kesenjangan antara teori dan praktik. Saking beratnya sholat ditegakkan dalam kehidupan.
Kang Warsa
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Emil, Fahmi, dan Rajaban"