Oleh Kang Warsa
Guru MTs Riyadlul Jannah – Anggota PGRI Kota Sukabumi
DALAM acara pengukuhan ‘Bunda Literasi’ 7 (tujuh) kecamatan di Kota Sukabumi, telah melahirkan satu gagasan baru, Kota Sukabumi harus menjadi Kota Adiliterasi, artinya sebagian besar penduduk Kota Sukabumi harus benar-benar memiliki minat literet yang keluar dari dalam dirinya sendiri. Karena sampai saat ini, pikiran kita masih tetap terjebak oleh cara pandang bahwa minat membaca apalagi menulis bangsa kita masih berada di bawah negara-negara maju.
Cara pandang seperti di atas sebenarnya dengan sangat mudah dapat kita bantah. Fakta yang sebenarnya, tentang berapa persen penduduk di negara ini yang belum melek aksara atau buta huruf hanya merupakan embel-embel untuk meng-inferioritas-kan bangsa kita sendiri. Standar atau ukuran dapat membaca dan mengenal aksara saja hanya dibatasi oleh ‘mengenal huruf latin’, tidak lebih dari itu.
Di medio abad ke-20, upaya meng-inferioritas-kan bangsa kita masih terlihat. Nenek penulis telah dapat membaca dan menulis aksara Arab Pegon tetap disebut sebagai seorang buta aksara, karena tidak mahir membaca dan menulis aksara latin. Dan pikiran-pikiran seperti ini, sampai sekarang masih tetap terpelihara dengan apik, bahwa tingkat melek huruf bangsa kita masih jauh di bawah negara lain.
Telah menjadi keharusan, program pengentasan buta aksara tersebut tidak terlalu difokuskan terhadap sasaran atau obyeknya semata melainkan harus dibuatkan formula agar ‘cap’ buta aksara kepada orang yang menjadi sasaran pengentasan buta aksara tersebut tidak terkesan memojokkan.
Tentang minat membaca dan menulis saja, apalagi ketika kita telah terkoneksi dengan internet, harus diakui, angka pertumbuhan minat membaca dan menulis mengalami peningkatan secara drastis dan sporadis. Dalam satu hari, seseorang yang telah terkoneksi dengan internet melalui gadget yang dimilikinya dapat menghabiskan waktu 2-3 jam melakukan kegiatan membaca dan menulis, baik di media sosial atau blog.
Sebuah ikhtiar untuk mewujudkan Kota Sukabumi bahkan Kabupaten Sukabumi sebagai Kota dan Kabupaten literasi tentu saja harus diawali oleh upaya menumbuhkan minat membaca dan kekuatan lama dalam membaca. Kekuatan lama dalam membaca sendiri dilahirkan oleh sebuah kebiasaan, bagaimana seseorang menetapkan dalam dirinya bahwa membaca merupakan sebuah kebiasaan. Ikhtiar inilah yang memerlukan waktu, tenaga, dan pikiran yang sangat besar.
Ikhtiar ini harus diawali dengan menjabarkan kebiasaan membaca (buku-kitab) merupakan tradisi bangsa ini yang telah dicontohkan oleh para pendahulu kita. Lahirnya simbol-simbol, prasasti, naskah kuna, lembaran kuna, dan relief-relief pada candi merupakan fakta sejarah bahwa bangsa kita memang telah terbiasa melakukan aktivitas literasi. Adanya prasasti dan relief pada candi tersebut tidak dimaksudkan untuk memberi pesan kepada generasi kita saat ini. Pada zamannya, hal-hal yang disebutkan tadi merupakan media pembawa pesan kepada khalayak.
Digunakannya aksara Jawa Kuna, Sunda, dan Arab Pegon tidak hanya dimaksudkan agar dikenal oleh kita saat ini melainkan agar bangsa kita di masa lalu dapat mempelajari sistem keyakinan dan pengetahuan yang berkembang pada saat itu. Dengan kata lain, bangsa kita merupakan bangsa literasi sebab telah mempraktikkan secara langsung adiliterasi mereka dan menggunakan media mereka sendiri.
Makna literasi sendiri secara luas bukan terbatas pada membaca dan menulis saja. Berbagai hal yang ada kaitannya dengan budaya baik verbal atau non verbal, penyampaian pesan baik melalui simbol maupun tersurat merupakan kegiatan literasi. Dengan semangat literasi inilah bangsa kita telah mewujudkan berbagai keheterogenan; adat, tradisi, bahasa, dan seni. Bangsa besar ini jangan sampai menjadi bangsa inferior hanya karena frasa: buta aksara.
Tradisi Pondok Pesantren telah melahirkan para literet di abad ke 18 dan 19. Secara makro, abad ke 19 merupakan abad kebangkitan para pemikir bangsa. Mayoritas dari mereka dilahirkan dari tradisi pondok pesantren yang pada saatnya nanti tradisi ini disebut sebagai kaum tradisional oleh prasangka kolonial. Meskipun dalam konteks ini, tradisional berarti mempertahankan tradisi yang telah berkembang di masyarakat, namun penyebutan ‘kaum tradisional’ oleh kolonial memiliki arti lain, sebagai kelompok yang belum tercerahkan, jumud, atau stagnan.
Jika kita harus jujur terhadap sejarah, semangat literasi ini telah dibangkitkan oleh lembaga-lembaga keagamaan seperti pondok pesantren (Islam), Zending (Kristen), dan Pedande (Hindu). Dalam tradisi pesantren, membaca dan menulis telah menjadi keharusan. Para kyai dan guru harus benar-benar memahami kitab-kitab kuning. Dalam khazanah kitab kuning saja biasa dikenal kitab-kitab matan (inti), syarh (ulasan), dan hasyiyah (catatan pinggir). Hal ini merupakan metode agar siapa pun memiliki kemudahan dalam menemukan sumber-sumber rujukan.
Adanya tradisi membuat syarh (ulasan) dan hasyiyah (catatan pinggir) mengindikasikan bahwa tradisi literasi ini memang telah dilakukan oleh bangsa kita, menggambarkan sejarah panjang keilmuan yang telah berkembang di negeri ini. Para ulama Nusantara seperti Syaikh Nawawi al-Bantani, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari telah biasa menggunakan metode ini dalam karya-karyanya.
Artinya, ikhtiar kita saat ini, bukan untuk membangun atau meciptakan literasi versi kita, melainkan sebuah upaya untuk membangkitkan kembali ruh (spirit) literasi yang –memang – telah menjadi tradisi bangsa kita.
Posting Komentar untuk "Membangkitkan Semangat Literasi"