Berita tidak benar atau hoaks tidak hanya terjadi dan dikonsumsi masyarakat di era ketika masing-masing individu terhubung dengan internet. Di zaman ketika dunia masih terlalu sederhana dalam mengelola informasi, berita-berita palsu telah dijadikan sebagai propaganda oleh satu kelompok untuk melemahkan kelompok lainnya. Selama perang dingin (cold war), dua blok, Amerika dan Soviet paling gencar memproduksi berita-berita palsu dengan tujuan meyakinkan kepada satu pihak namun memukul pihak lawan.
Saat Perang Dunia II, kekalahan Nazi dari pasukan sekutu tidak terlepas dari adanya berita hoaks yang disebarkan oleh agen-agen sekutu. Bahkan meletusnya dua perang dunia saja dipicu oleh informasi tidak terpercaya, tidak semata disebabkan oleh rebutan kekuasaan. Hollocaust oleh Nazi terhadap komunitas Yahudi diaspora sampai saat ini masih merupakan misteri, propaganda anti-semit pun merupakan pemicu meletusnya perang dunia satu dan dua. Bagi Garraudy, propaganda anti semit, sebenarnya dihembuskan oleh sebuah grand design agar terjadi eksodus besar-besaran bangsa Yahudi ke tanah harapan (Palestina).
Di era internet, berita-berita hoaks dan isu-isu kebencian dengan sangat mudah diproduksi dan dengan sangat cepat dapat menyebar, lalu diserap oleh masyarakat. Dalam sejarah perkembangan media massa, kita pernah mengenal yellow journalism, media-media melakukan propaganda kepada masyarakat bukan ditentukan oleh kebenaran konten berita melainkan oleh seberapa besar judul dalam pemberitaan dapat menarik minat pembaca. Tidak heran, dengan judul panjang, seolah mewakili konten berita, dilengkapi oleh minat dalam membaca bangsa kita masih jauh di bawah negara-negara maju, maka judul berita tersebut telah ditafsirkan sebagai sesuatu yang benar.
Kelompok Saracen, para penebar berita hoaks dan penebar kebencian menyebut diri mereka demikian: Saracen. Hal tersebut merupakan ambiguitas, pertama Saracen bisa berarti akronim dari Sara-Central, pusat pengelola berita-berita SARA. Kedua, Saracen secara linguistik mengacu kepada kata-kata yang telah lama dikenal oleh masyarakat Eropa terhadap Islam.
Jika ditelaah melalui pendekatan bahasa, Pada abad pertengahan, kata Saracen telah digunakan oleh masyarakat Eropa untuk menunjukkan orang-orang Islam yang tinggal di gurun atau jazirah Arab. Saat perang salib, sebutan Saracen disematkan oleh masyarakat Eropa kepada tentara Islam yang dihadapi oleh tentara Kristen di Yerussalem. Secara etimologi, kata Saracen sendiri berasal dari "Saaraqin" yang berarti perampok atau begal. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kebiasaan masyarakat gurun melakukan perampokan kepada para kafilah dagang yang melintasi wilayah mereka.
Pada abad ke-4 SM, orang-orang Yunani menyebut Sarakene kepada masyarakat yang tinggal di utara Sinai. Ada juga yang menderivasikan kata Saracen berasal dari Syarakah, klan, kelompok masyarakat, atau komunitas. Kata lain sebagai sumber dari Saracen adalah syrq, berarti orang-orang Timur karena secara geografis, masyarakat ini tinggal di sebelah timur dari wilayah Eropa.
Maka sangat tepat jika mereka sebagai para penyebar hoaks dan kebencian itu menyebutkan diri mereka sebagai Saracen, para begal atau perampok informasi. Bukan tanpa alasan, mereka melakukan penyebaran hoaks dan kebencian tentu saja sebagai laskar bayaran, setiap berita hoaks yang disebatkan dipesan dan dihargai sampai 100 juta. Kejahatan intelektual seperti ini merupakan kebiasaan kelompok radikal atau ekstrimis dari agama mana saja. Sebagai contoh kejahatan intelektual dari kelompok ini: mereka dapat menjiplak buku siapa saja terus dipotong-potong agar sesuai dengan tujuan tang mereka harapkan.
Hal yang menyedihkan dengan terbongkarnya kelompok Saracen ini, mereka merupakan kelompok Islam. Agama yang telah memberikan arahan yang jelas kepada manusia dalam menyikapi isu dan pemberitaan. Bersuudzan tidak boleh bahkan dzan atau berprasangka saja sangat dilarang oleh Islam. Bagaimana lagi dengan memproduksi berita palsu yang berisikan konten kebencian kepada sesama? Tentu saja, keberadaan Saracen ini telah mencoreng Islam itu sendiri. Walaupun sebenarnya pemesan berita kepada kelompok ini tidak hanya dari golongan Islam saja.
Kejahatan dengan memotong informasi hingga dihasilkan informasi sekunder telah dapat memecah belah umat sendiri. Beberapa bulan lalu, seorang Buni Yani memotong-motong apa yang disampaikan oleh Ahok di Kepulauan Seribu, terbentuk opini beragam, antara menistakan agama Islam atau tidak, luapan emosi, demo berjilid-jilid sebagai bentuk fanatisme keberagamaan, akal sehat ditempatkan di bawah amarah, sampai kepercayaan kepada penegak hukum pun sempat mengecil. Dan umat menjadi lega saat Ahok sebagai korban dari konspirasi keculasan pemotongan informasi dipenjarakan.
Konsentrasi pemberitaan para penebar hoaks ini bukan hendak membuka kebenaran secara obyektif melainkan menyajikan aib dan kejelekan pihak yang diberitakan. Secara psikologis, manusia akan lebih bersemangat membaca isu dan gosip kejelekan orang lain daripada membaca informasi keilmuan dan keIslaman. Setelah informasi hoaks disebar dan dibaca oleh masyarakat, barulah mereka menawarkan alternatif atau berita yang seolah-olah memiliki solusi terhadap berita sebelumnya.
Keberadaan Saracen, penebar hoaks bukan dilakukan kelompok Islam revivalis saja, juga oleh agama-agama lain dan kelompok manapun. Hal ini terjadi karena semakin terbukanya media-media dan semakin mudahnya media dikelola melalui sistem online. Siapa saja dapat memproduksi berita di era internet ini, baik dengan jujur atau berbohong.
Saat Perang Dunia II, kekalahan Nazi dari pasukan sekutu tidak terlepas dari adanya berita hoaks yang disebarkan oleh agen-agen sekutu. Bahkan meletusnya dua perang dunia saja dipicu oleh informasi tidak terpercaya, tidak semata disebabkan oleh rebutan kekuasaan. Hollocaust oleh Nazi terhadap komunitas Yahudi diaspora sampai saat ini masih merupakan misteri, propaganda anti-semit pun merupakan pemicu meletusnya perang dunia satu dan dua. Bagi Garraudy, propaganda anti semit, sebenarnya dihembuskan oleh sebuah grand design agar terjadi eksodus besar-besaran bangsa Yahudi ke tanah harapan (Palestina).
Di era internet, berita-berita hoaks dan isu-isu kebencian dengan sangat mudah diproduksi dan dengan sangat cepat dapat menyebar, lalu diserap oleh masyarakat. Dalam sejarah perkembangan media massa, kita pernah mengenal yellow journalism, media-media melakukan propaganda kepada masyarakat bukan ditentukan oleh kebenaran konten berita melainkan oleh seberapa besar judul dalam pemberitaan dapat menarik minat pembaca. Tidak heran, dengan judul panjang, seolah mewakili konten berita, dilengkapi oleh minat dalam membaca bangsa kita masih jauh di bawah negara-negara maju, maka judul berita tersebut telah ditafsirkan sebagai sesuatu yang benar.
Kelompok Saracen, para penebar berita hoaks dan penebar kebencian menyebut diri mereka demikian: Saracen. Hal tersebut merupakan ambiguitas, pertama Saracen bisa berarti akronim dari Sara-Central, pusat pengelola berita-berita SARA. Kedua, Saracen secara linguistik mengacu kepada kata-kata yang telah lama dikenal oleh masyarakat Eropa terhadap Islam.
Jika ditelaah melalui pendekatan bahasa, Pada abad pertengahan, kata Saracen telah digunakan oleh masyarakat Eropa untuk menunjukkan orang-orang Islam yang tinggal di gurun atau jazirah Arab. Saat perang salib, sebutan Saracen disematkan oleh masyarakat Eropa kepada tentara Islam yang dihadapi oleh tentara Kristen di Yerussalem. Secara etimologi, kata Saracen sendiri berasal dari "Saaraqin" yang berarti perampok atau begal. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kebiasaan masyarakat gurun melakukan perampokan kepada para kafilah dagang yang melintasi wilayah mereka.
Pada abad ke-4 SM, orang-orang Yunani menyebut Sarakene kepada masyarakat yang tinggal di utara Sinai. Ada juga yang menderivasikan kata Saracen berasal dari Syarakah, klan, kelompok masyarakat, atau komunitas. Kata lain sebagai sumber dari Saracen adalah syrq, berarti orang-orang Timur karena secara geografis, masyarakat ini tinggal di sebelah timur dari wilayah Eropa.
Maka sangat tepat jika mereka sebagai para penyebar hoaks dan kebencian itu menyebutkan diri mereka sebagai Saracen, para begal atau perampok informasi. Bukan tanpa alasan, mereka melakukan penyebaran hoaks dan kebencian tentu saja sebagai laskar bayaran, setiap berita hoaks yang disebatkan dipesan dan dihargai sampai 100 juta. Kejahatan intelektual seperti ini merupakan kebiasaan kelompok radikal atau ekstrimis dari agama mana saja. Sebagai contoh kejahatan intelektual dari kelompok ini: mereka dapat menjiplak buku siapa saja terus dipotong-potong agar sesuai dengan tujuan tang mereka harapkan.
Hal yang menyedihkan dengan terbongkarnya kelompok Saracen ini, mereka merupakan kelompok Islam. Agama yang telah memberikan arahan yang jelas kepada manusia dalam menyikapi isu dan pemberitaan. Bersuudzan tidak boleh bahkan dzan atau berprasangka saja sangat dilarang oleh Islam. Bagaimana lagi dengan memproduksi berita palsu yang berisikan konten kebencian kepada sesama? Tentu saja, keberadaan Saracen ini telah mencoreng Islam itu sendiri. Walaupun sebenarnya pemesan berita kepada kelompok ini tidak hanya dari golongan Islam saja.
Kejahatan dengan memotong informasi hingga dihasilkan informasi sekunder telah dapat memecah belah umat sendiri. Beberapa bulan lalu, seorang Buni Yani memotong-motong apa yang disampaikan oleh Ahok di Kepulauan Seribu, terbentuk opini beragam, antara menistakan agama Islam atau tidak, luapan emosi, demo berjilid-jilid sebagai bentuk fanatisme keberagamaan, akal sehat ditempatkan di bawah amarah, sampai kepercayaan kepada penegak hukum pun sempat mengecil. Dan umat menjadi lega saat Ahok sebagai korban dari konspirasi keculasan pemotongan informasi dipenjarakan.
Konsentrasi pemberitaan para penebar hoaks ini bukan hendak membuka kebenaran secara obyektif melainkan menyajikan aib dan kejelekan pihak yang diberitakan. Secara psikologis, manusia akan lebih bersemangat membaca isu dan gosip kejelekan orang lain daripada membaca informasi keilmuan dan keIslaman. Setelah informasi hoaks disebar dan dibaca oleh masyarakat, barulah mereka menawarkan alternatif atau berita yang seolah-olah memiliki solusi terhadap berita sebelumnya.
Keberadaan Saracen, penebar hoaks bukan dilakukan kelompok Islam revivalis saja, juga oleh agama-agama lain dan kelompok manapun. Hal ini terjadi karena semakin terbukanya media-media dan semakin mudahnya media dikelola melalui sistem online. Siapa saja dapat memproduksi berita di era internet ini, baik dengan jujur atau berbohong.
Posting Komentar untuk "Saracen: Laskar Bayaran Penebar Hoaks"