Madzhab Immanent

Hampir sebagian besar teman-teman saya merupakan para penggemar film. Meskipun di Sukabumi sejak satu setengah dekade lalu bioskop telah benar-benar tidak ada, tetapi obrolan antara saya dengan beberapa teman selalu menjurus kepada film-film terbaru, bahkan hampir tiap hari kita terbiasa menonton film di komputer, laptop, atau ponsel cerdas, baik secara online atau mengunduhnya terlebih dahulu di situs-situs penyedia film. Konon, menurut cerita dan berita, situs-situs tidak resmi penyedia film tersebut dapat meraih keuntungan 75 – 100 juta perbulan.

Tiga hari lalu, salah satu situs tidak resmi penyedia film itu mengunggah film The Dark Tower dengan kualitas bluray, kualitas film yang sering dinanti-nanti oleh para penggemar film. Beberapa teman dengan hanya melihat trailler film tersebut berani merekomendasikan agar saya menontonnya. Sebuah film Hollywod bergenre sci-fi. Bagi saya sendiri, film-film bergenre sci-fi atau fiksi ilmiah memang sangat enak ditonton, selain dapat mengerutkan kening dan menguras alam pikiran, film-film jenis ini juga tentu saja dihasilkan oleh berbagai riset dan komparasi dengan pemikiran-pemikiran yang berkecamuk di dalam kehidupan ini.

Sci-fi atau fiksi ilmiah sering berbanding lurus dengan keyakinan yang selama ini dipegang oleh manusia. Diyakini adanya namun tanpa pertimbangan akal sehat. Manusia sangat meyakini akan dibangkitkan kembali pascakematian, keyakinan ini telah berkembang bukan saja di zaman kita hidup, jauh sebelumnya masyarakat di Mesir Kuno hingga Tiongkok Kuno telah memegang keyakinan ini. Pembuat kebaikan akan ditempatkan di tempat yang dipenuhi kenikmatan sedangkan pembuat onar dan kejahatan akan disatukan dengan iblis-iblis di dalam neraka, keyakinan itu telah dipegang oleh masyrakat kuno hingga modern, tentu saja dengan tanpa mempertanyakan apakah benar adanya? Sebab pertanyaan semacam itu merupakan hal tabu dalam sebuah keyakinan. Manusia hanya berbeda penafsiran saja tentang semua itu, meskipun hakikatnya hampir sama, setelah meninggal kita akan dihidupkan kembali.

Tentu saja, alam pikiran semacam sci-fi ini akan ditolak mentah-mentah oleh orang-orang atheis. Mereka memang menolak ruang-ruang immanent teraplikasikan dalam kehidupan, mereka telah sepenuhnya menghambakan diri pada hal-hal ilmiah meskipun dengan keyakinan yang rigid. Dikatakan rigid, sebab fakta sebenarnya di balik keyakinan orang-orang atheis yang menuhankan logika dan akal semata mereka sama sekali tidak dapat menjawab secara ilmiah ketiadaan Tuhan dan hal-hal immanent yang tidak diyakininya. Suatu hari, saya pernah bertanya kepada orang-orang atheis di ruang perdebatan: sodorkan kepada saya satu bukti penelitian yang telah membuktian secara ilmiah bahwa Tuhan dan hal-hal gaib memang tidak ada? Jawaban mereka tetap saja berputar-putar tentang ketiadaan itu. Padahal, ketiadaan dikatakan ada karena memang diawali oleh ada, melalui penalaran filsafat, "tidak ada" dikatakan ada karena memang ada, adanya sebutan "tidak ada" karena didahului oleh ada. Siapapun tidak akan mengenal hal yang "tidak ada" jiga tidak diawali oleh hal yang ada.

Film-film bergenre sci-fi yang diproduksi oleh industri perfilm-an Hollywod sering menghadirkan ruang immanent di dalam tema-temanya. Kehidupan di dalam film The Dark Tower tampak sebanding dengan konsep buana yang telah diyakini oleh orang-orang Timur bahwa kehidupan manusia, sebelum mereka kembali menghadap Pencipta, terdiri dari tiga ruang; bawah, tengah, dan atas. Dalam setiap keyakinan, ruang-ruang kehidupan dan kematian ini diyakini dengan berbagai penafsiran dan interpretasi yang berbeda. Ajaran Islam dan agama-agama semit lainnya (Yahudi dan Kristen) menawarkan konsep alam azali, rahim, dunia, barzakh, dan akhirat. Artinya, manusia harus melewati alam-alam ini sebelum mereka kembali kepada Tuhan, proses ini merupakan purifikasi atau penyucian manusia sebelum kembali kepada Yang Maha Suci.

Di dalam film The Dark Tower konsepsi buana yang telah lama berkembang di dalam kehidupan masyarakat Sunda begitu kental. Kehidupan tiga alam, buana larangan, buana panca-tengah, dan buana nyungcung. Ketiga alam ini diisi oleh berbagai manusia berdasarkan perbuatannya, penyucian akan terus berlangsung sebelum siklus alam kembali kepada awal. Yang ada di luar ketiga alam itu adalah kejahatan yang akan terus berusaha memasuki kehidupan jika 'keyakinan kepada Tuhan' telah hampa dalam kehidupan. Konsepsi keyakinan masyarakat Timur ini cenderung meyakini bahwa Tuhan merupakan hal-hal baik, menciptakan hal baik, tidak pernah Tuhan menciptakan hal buruk, keburukan justru tercipta oleh partikel non ilahi yang berada di luar hal-ilahiah. Itulah yang menjadi alasan, keyakinan dari Timur selalu tampak berusaha mendekatkan Tuhan dengan kehidupan melalui Tuhan yang personal terlukiskan dan tergambarkan.

Keyakinan Semit, seperti Islam, Yahudi, dan Kristen lebih didominasi oleh konsepsi-konsepsi Mesir dan Mesopotamia terhadap menafsirkan eksistensi Tuhan. Ketiga agama ini hanya menyentuh ranah simbolik tentang Tuhan, Islam hanya menyimbolkan nama Tuhan mealui kata atau aksara (Alloh), Yahudi melalui YHWH, Kristen telah melewati itu, keyakinan mereka telah menyimbolkan-Nya dengan Yesus, itulah yang menjadi salah satu alasan Yahudi sama sekali tidak sependapat dengan rabbi-rabbi yang telah berani membesarkan nama Yesus pascapenyaliban. Tetapi di dalam ajaran Krsiten pun, mereka meyakini tentang Dia Yang Maha Tunggal.

Konsepsi yang berusaha memurnikan Tuhan dari hal apapun justru dapat dijumpai di dalam masyarakat Sunda Buhun sebelum terjadinya akulturasi dan pencampuran konsepsi ketuhanan dengan kebudayaan lain. Masyarakat Sunda Buhun telah memiliki keyakinan bahwa Tuhan merupakan "hal anu pamali diwangkongkeun dina kahirupan", hal yang sangat tabu diperbincangkan. Artinya mereka telah meyadari bahwa Tuhan memang sangat berbeda dengan manusia, manusia sama sekali tidak akan dapat memperbincangkan hingga menafsirkan hal yang berbeda dengan dirinya. Perdebatan manusia tentang Tuhan dapat dibaratkan sekumpulan ponsel cerdas yang telah dibuat oleh manusia, kemudian ponsel-ponsel tersebut berdebat satu sama lain tentang bentuk atau kondisi manusia yang telah membuatnya, dari perdebatan tersebut dihasilkan satu kesimpulan bahwa wujud pencipta ponsel-ponsel tersebut tidak jauh berbeda dengan dir ponsel baik secara ragawi juga sifat-sifatnya. Karena Tuhan berbeda dengan manusia, maka di dalam masyarakat Sunda Buhun telah ternaman pikukuh yang menekankan pamali atau tidak boleh sembarangan memperbincangkan Tuhan dalam kehidupan.

Jika kita jeli, film-film yang diproduksi oleh Hollywood, sebenarnya selalu tidak jauh dengan kehidupan kita sebagai orang Timur. Sebagai contoh, film Avatar menggambarkan kehidupan tradisional yang dirusak oleh kebengisan manusia pencipta mesin dan teknologi akan membawa kita pada kehidupan di daerah-daerah pedalaman baik dari tatanan sosial dan sistem religi-nya. Dalam film Avatar dihadirkan Toruk Makto, seekor burung gagah perkasa yang harus ditunggangi oleh Sang Panakluk, bukankah di dalam masyarakat Sunda telah dikenal Manuk Dadali sebagai sebutan lain dari Burung Garuda yang ditemui di dalam buku Sutasoma? Sering sekali kita melupakan bahwa kehidupan di dunia ini memang telah begitu komplit dan menyediakan apa pun yang kita perlukan, tetapi kita selalu serakah untuk mengambil hal-hal yang ada di luar diri kita.

Dikirim dari iPhone saya

Posting Komentar untuk "Madzhab Immanent"