H A M P I R sebelas tahun saya mengajar di Yayasan
Riyadlul Jannah, Cikundul sejak tahun 2007. Yayasan ini didirikan oleh K.H Cucu
Komarudin (alm). Pada tahun 2007 itu, saya diajak oleh Kang Jihad mengajar Matematika di PKBM Riyadlul Jannah.
Sudah tentu, ada perbedaan signifikan antara sekolah formal dengan PLS
seperti PKBM terutama dalam waktu pelaksanaan kegiatan belajar dan mengajar.
Bagi para siswa PKBM diberikan keleluasaan, kegiatan belajar dan mengajar
diselenggarakan hanya 3 (tiga) hari; Kamis, Jum'at, dan Sabtu. Waktu kegiatan pun
dilaksanakan pukul 13.00-17.00 WIB. Kecuali
membuka PKBM, sejak yayasan ini didirikan, K.H Cucu Komarudin telah membuat
divisi atau pembagian pengelolaan yayasan yang bergerak di bidang pendidikan
ini antara lain; (1) Pengelolaan Pondok Pesantren, (2) Kegiatan Majlis Taklim,
(3) Madrasah Ibtidaiyah, dan (4) Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
Masing-masing
divisi dikelola oleh pihak keluarga, Pondok Pesantren dan PKBM dikelola
langsung oleh K.H Cucu Komarudin. Kegiatan Majlis Taklim dikelola oleh Samsul
Puad sedangkan Madrasah Ibtidaiyah dikelola oleh H. Abdullah Amin. K.H Cucu
Komarudin sebagai salah seorang tokoh ulama sekaligus Rais Am
Nahdlatul Ulama Kota Sukabumi telah menempuh langkah-langkah akomodatif dengan
mendahulukan sikap al-mashalah al-ammah
(Kebaikan untuk semua) di dalam mengelola yayasan tersebut, salah satunya
dengan melibatkan orang-orang luar untuk bersama-saka mengembangkan yayasan ke
arah kemajuan.
Di awal
tahun 1980, Madrasah Ibtidaiyah didirikan. Menurut penuturan salah seorang
pengelola, pendirian Madrasah Ibtidaiyah
merupakan salah satu upaya membangun karakter religius anak-anak setempat. Di
tahun 1980-an, pemerintah sedang gencar-gencarnya membangun lembaga-lembaga
pendidikan dasar seperti SD Inpres dan lembaga-lembaga lain, Yayasan Riyadlul
Jannah, dulu masih berupa pondok pesantren membuka cakrawala baru dalam
memberikan pelayanan pendidikan kepada masyarakat. Dibangunnya Madrasah
Ibtidaiyah merupakan sejarah baru bagi lembaga ini, bahwa latar belakang dan
motivasi pembangunan karakter religious bagi masyarakat menjadi modal dari
kegiatan lembaga ini.
Pendidikan
Luar Sekolah (PLS) untuk tingkat SMP dan SMA di Kota Sukabumi berjalan tidak
semeriah sekolah-sekolah formal. Pasang surut Pendidikan Luar Sekolah ini
disebabkan oleh: motivasi siswa masih belum maksimal dalam melakukan kegiatan
belajar (karena PLS dianggap relatif bebas), stimulasi dana terhadap kegiatan
PLS tidak sebaik pendidikan-pendidikan formal, tenaga pendidik masih kurang
dalam segi jumlah, bahkan penambahan kuantitas tenaga pendidik untuk PLS ini
kurang diimbangi oleh kualitas tenaga pendidik tersebut. Pada akhirnya,
anggapan sederhana terhadap PLS dan PKBM ini adalah : sekolah gratis dan bebas
waktu.
Demi
alasan-alasan di atas, pada tahun 2010, Yayasan Riyadlul Jannah memokuskan
kegiatan pendidikan pada sektor formal. Hamzah mendirikan Madrasah Tsanawiyyah
(MTs) Riyadlul Jannah. Di awal pendiriannya, sebanyak 34 siswa menjadi peserta
didik di MTs Riyadlul Jannah. Mayoritas dari mereka adalah anak-anak lulusan MI
dan SD Negeri Cikundul. Maka semakin jelas, pendirian MTs ini merupakan langkah
ke-dua setelah pondok pesantren Riyadlul Jannah mendirikan Madrasah Ibtidaiyah
di awal tahun 1980.
Setelah
tiga tahun berdiri, Ruang Kelas Baru dibangun. Jumlah siswa sebanyak 83 orang
mengisi ruang-ruang kelas baru dari kelas I sampai kelas III. Satu hal baik,
karena pendidikan tingkat dasar ini masih didanai oleh Bantuan Operasional
Siswa (BOS), MTs Riyadlul Jannah memberikan pelayanan pendidikan tanpa biaya
kepada para peserta didiknya. Jelas sekali, ini begitu jauh berbeda dengan sekolah-sekolah
formal lain yang masih memberikan beban biaya kepada para siswa meski pun telah
mendapatkan Bantuan Operasional Siswa (BOS) dari pemerintah.
Peran K.H Cucu Komarudin tersebut tidak terlepas
dengan adanya koneksi yang dilatarbelakangi oleh hubungan dekat antara dirinya
dengan keluarga besar Pondok Pesantren Al-Mashturiyah, Cisaat.
Pandangannya terhadap pentingnya
mengembangkan pendidikan - salah satunya - dipengaruhi oleh Wasiat K.H Muhammad
Masthuro, " Ulah pagirang-girang
dina ngamajukeun pasantren” (Jangan berebut jabatan di dalam memajukan
pondok pesantren).
Enam
Wasiat (Washaya Sittah) K.H Muhammad
Masthuro secara khusus telah dibahas secara lengkap oleh Abdul Jawad di dalam
tesisnya "Washaya Sittah K.H
Muhammad Masthuro (1901-1968) dalam Pembentukan Islam Lokal di Sukabumi Jawa
Barat”. Wasiat pertama K.H Muhammad Masthuro, menurut Abdul Jawad
dimaksudkan agar setiap anggota keluarga dan anak cucu K.H Muhammad Masthuro
benar-benar memusatkan perhatian pada kemajuan pendidikan, terutama pesantren.
K.H Cucu
Komarudian menyadari benar pentingnya mengejawantahkan wasiat tersebut sebab
secara personal, istri beliau Hj Oom Hasanah merupakan cucu dari K.H Muhammad
Masthuro, sudah tentu wasiat-wasiat yang disampaikan oleh kakek mertua sekaligus
sebagai gurunya wajib dilaksanakan. Pengamalan dan aplikasi wasiat K.H Muhammad
Masthuro di Cikundul ini merupakan intisari dari ajaran-ajaran K.H Muhammad
Masthuro yang terdapat di dalam Washaya
Sittah butir ke-enam, Kudu mapay
torekat Abah, artinya harus mencari jejak dan menempuh jalan yang telah
ditempuh oleh K.H Muhammad Masthuro.
Abdul
Jawad (2017:164) menyebutkan Tarekat Abah sebagaimana yang tercantum dalam
butir ke-enam dari Washaya Sittah K.H
Muhammad Masthuro merupakan jalan hidup yang telah ditempuh oleh para kyai.
Aplikasi nyata darinya adalah penerapan akhlak
al-kariimah seperti; saling menyayangi, mencintai, tidak dengki, dan
menutupi kelemahan serta kekurangan orang lain. Ketika masih hidup, menurut
penuturan Hamzah, salah seorang putera K.H Cucu Komarudin, beliau selalu
memperlihatkan raut muka soméah
(berseri-seri), sering ingin membahagiakan orang lain meskipun hanya melalui
raut wajah.
Sebagai
salah seorang kyai di Sukabumi, K.H Cucu Komarudin biasa menjadi pemateri dan
pendakwah dalam berbagai pengajian baik di lingkungan masyarakat juga
pemerintahan. Suatu hari, seseorang menyapa beliau, meskipun -bisa saja -
beliau tidak mengenal atau lupa kepada orang yang menyapanya, tetapi dari diri
beliau tidak keluar pertanyaan; Siapa ini, saya lupa? Baginya, meskipun hanya
dengan mengeluarkan kalimat seperti itu -padahal dalam bentuk pertanyaan- takut
akan melukai hati penanya.
Semangat
K.H Cucu Komarudin di dalam mengembangkan Islam dan pendidikan yang bercorak Islam ini tidak pernah lepas dari
peran keluarga beliau secara turun-temurun, jika melihat kepada perkembangan
Islam di Cikundul didapati benang merah, kakek buyut hingga kepada ayahnya
merupakan orang-orang yang telah berjasa di dalam menyebarkan dan mengembangkan
Islam di daerah ini.
Proses
penyebaran dan perkembangan Islam di Cikundul –sama sekali – belum diteliti
secara serius dan utuh oleh para ahli. Berdasarkan beberapa obrolan dengan
beberapa tokoh, dapat diperkirakan pintu masuk penyebaran Islam ke Cikundul ini
melalui daerah Bangbayang dengan alasan, pada abad ke-15 daerah di lereng pegunungan
merupakan sebuah pasar tradisional dan perdagangan masyarakat. Penyebaran Islam di Sukabumi tentu berbanding
lurus dengan semakin kokohnya Kekuasaan Kerajaan Islam di Banten, Sundakelapa
dan Cirebon. Untuk mengetahui bagaimana proses penyebaran dan perkembangan
Islam di daerah Cipeueut, Bangbayang, Cikundul, dan daerah sekitarnya dapat terhubung oleh keberadaan beberapa
orang antara lain; Abah Acin (1820 – 1902), K.H Yunus (1843-1950), dan K.H
Sayuthi (1864-1988).
Abah
Acin, seorang tokoh sentral di kampung Jeruk dipercaya masih menganut ajaran
leluhur. Dia memiliki ilmu kanuragan, memang keajaiban atau kata yang merujuk
terhadap keajaiban ini kurang diterima secara ilmiah dan sulit untuk dimasukkan
ke dalam obyek penelitian. Tetap berdasarkan cerita yang tersebar di
masyarakat, keajaiban atau keistimewaan tentang orang-orang terdahulu seperti
sebuah fakta yang sulit dibantah. Dengan tidak mengurangi keilmiahan dan bisa
disebut pseudo-ilmiah, kesaktian Abah Acin tergambar dari beberapa penuturan sebagian
masyarakat yang dibahasakan secara turun-temurun.
Sebuah
peristiwa, banjir bandang pernah terjadi di Sungai Cimandiri, air meluap hingga
memenuhi bantaran, sebagai seseorang yang memiliki beberapa kerbau akan
menjumpai kesulitan bagaimana cara menyeberangkan kerbau dari bagian bantaran
sungai ke bantaran sebelahnya. Cukup dengan melambaikan tangan, kerbau-kerbau
itu seolah menurut kepada Si Pemiliknya, kemudian mereka menyeberangi melawan
arus Sungai Cimandiri dan bisa melintas
dengan selamat.
Abah
Acin tetap memegang teguh ajaran yang diterima dari leluhurnya hingga lanjut
usia. Kepada Yunus, anak sulungnya, dia sering mewasiatkan – meskipun dirinya
masih memegang teguh keyakinan leluhur – agar sang anak bersikeras dan
bersungguh-sungguh menimba ilmu ke luar kampung. Wasiat Abah Acin diterima baik
oleh Yunus. Di usia remaja, Yunus pergi ke Banten – sumber mengenai dimana
Yunus mengenyam pendidikan keislaman masih belum tepat pasti-. Setelah
mendapatkan ilmu keislaman yang cukup, Yunus kembali ke kampung halamannya.
Tidak langsung menyebarkan Islam kepada masyarakat terutama di tempat keramaian
seperti pasar tradisional tempat perdagangan.
Abah
Acin sendiri - meskipun beberapa sumber masih meragukan apakah dia memeluk
Islam atau tidak- tetapi saat kepulangan anaknya melakukan kebiasaan: mandi
atau 'beberesih', sebagai simbol atau tanda penerimaan seseorang sebelum
meyakini atau mempelajari sebuah ilmu. Keyakinan masyarakat yang berkembang
saat itu, ketika mereka akan mempelajari sebuah ilmu sudah bisa dipastikan akan
melakukan ritual mandi terlebih dahulu.
Salah
satu alasan Abah Acin memerintahkan agar Yunus menuntut ilmu keislaman
disebabkan oleh cara pandang orangtua tersebut terhadap gejala umum yang sedang
terjadi di wilayah lain seperti Banten dan Sunda Kelapa. Di usia remaja, Abah
Acin pernah melakukan perjalanan sampai ke Pelabuhan Sundakelapa, disana dia
melihat bagaimana penyebaran Islam dan perkembangannya yang dilakukan oleh para
pedagang begitu pesat hingga terbentuk masyarakat baru bernama komunitas muslim
di Banten dan Sundakelapa. Sebuah keniscayaan yang tidak akan terbendung
adalah konversi keyakinan lama ke
keyakinan atau agama baru. Konversi keyakinan ini bersifat masif selama abad ke
7 hingga abad ke 18.
Abah
Acin dengan tanpa banyak cerita memberikan harta miliknya kepada Yunus untuk
melakukan Ibadah Haji ke Tanah Suci pada tahun 1893. Pulang dari Mekah, K.H
Yunus mulai membuka pengajian dan pengajaran keislaman di Cikundul , tidak
dalam bentuk lembaga, melainkan secara personal atau individual. Islam menyebar
di Cikundul memiliki kemiripan dengan proses penyebaran Islam di Nusantara
melalui berbagai pendekatan terutama secara personal dan kultural.
Tradisi-tradisi lama sama sekali tidak pernah dijadikan penghalang oleh K.H Yunus
untuk meyampaikan ilmu keislaman. Masyarakat Cikundul dan sekitarnya masih
tetap melakukan tradisi leluhur seperti; nyekar, ngembang, puasa mati geni,
mencuci benda pusaka, dan kebiasaan lain yang telah diwariskan secara
turun-temurun.
Penyebaran
dan perkembangan Islam di Cikundul terlembagakan saat anak sulung K.H Yunus,
yaitu K.H Sayuthi mendirikan masjid dan pondok pesantren berukuran kecil tepat
di sebelah utara Sungai Cimandiri setelah menunaikan ibadah haji pada tahun
1930. Sikap K.H Sayuthi dalam menyebarkan Islam melalui jalur pendidikan ini
mendapatkan tanggapan kurang baik dari Pemerintah Kolonial. Menurut Schrieke,
dalam teori balapan antara Islam dan Kristen dalam proses penyebaran kedua
agama ini telah membawa pemikiran perang sabil dan perang salib yang terjadi di
abad pertengahan ke daerah koloni baru. K.H Sayuthi ditangkap dan dipenjarakan
oleh pemerintah Hindia Belanda selama Sembilan bulan. Teori balapan sebagai
salah satu teori penyebaran Islam di Nusantara diyakini sebagai teori konflik
yang dilandasi semangat dendam dua imperium Islam dan Kristen namun bernuansa
politis. Teori ini mendapatkan sanggahan dari beberapa ahli, misalkan Syed
Naquib Al-Attas menyebutkan, terlalu gegabah jika penyebaran Islam dikaitkan
dengan perang salib yang telah berlalu lima abad ketika Islam disebarkan oleh
para sufi pengembara dari Persia melalui pendekatan kultural dan individual.
Sikap
dan peran yang telah dilakukan oleh para leluhurnya tersebut diikuti oleh K.H
Cucu Komarudin dengan cara mengembangkan Islam melalui cara-cara yang santun
dan menghargai tradisi yang telah lama berlangsung di masyarakat Cikundul. Sebagai
salah seorang sesepuh Nahdlatul Ulama, K.H Cucu Komarudin memahami dengan benar
persoalan kaidah-kaidah kemaslahatan bagi umat. Salah satu jasa beliau di
bidang kemasyarakatan yaitu terwujudnya Jalan Merdeka saat Kota Sukabumi
dipimpinan oleh H. Udin Koswara. Masyarakat diajak duduk bersama,
memusyawarahkan pelebaran jalan, sebab pelebaran jalan oleh pemerintah itu pada
akhirnya berdampak baik juga bagi kemajuan masyarakat Cikundul.
K.H Cucu
Komarudin merupakan tipikal kyai atau
ajengan yang memusatkan perhatiannya kepada keluarga
terutama kepada istrinya, Hj. Oom Hasanah. Pemerintah memberikan penghargaan
kepada beliau dan istrinya sebagai keluarga sakinah teladan. Kecintaan kepada
keluarga telah dibuktikannya, beberapa tahun sebelum meninggal dunia, beliau
telah menyampaikan wasiat agar pendidikan dan melayani umat dilanjutkan oleh
keluarga. Dalam sebuah perbincangan dengan beliau, penulis pernah diberi
nasihat, mengajar itu ibarat jimat atau pusaka sakti, jangan sampai
dilepaskan meskipun kita mengahadapi kesibukan. Artinya, kepada siapa saja yang
berusaha mengamalkan ilmu yang dimiliki oleh orang tersebut, K.H Cucu Komarudin
akan menganggapnya sebagai bagian dari keluarga yang harus diberi nasihat.
Setelah
mengabdikan diri untuk kemajuan pendidikan dan kemasyarakatan di Kota Sukabumi
dan kampung halamannya, K.H Cucu Komarudin wafat pada tahun 2013. Rumah duka
dilawat oleh tokoh-tokoh penting di Sukabumi. Tokoh-tokoh yang hadir bukan
hanya dari kalangan ulama dan kyai, para tokoh dari lintas agama seperti;
Kristen, Katholik, dan Buddha juga mengikuti prosesi pemakaman beliau. Ade
Munhiar, ketua Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kota Sukabumi pernah berkata kepada penulis, K.H Cucu
Komarudin sangat menjunjung tinggi sikap toleran kepada siapapun. Untuk hal tersebut saat
prosesi pemakamannya ada kalimat yang keluar dari beberapa tokoh agama, jika
diibaratkan, K.H Cucu Komarudin sangat layak mendapatkan julukan “Gus Dur”-nya
Sukabumi.
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "K.H Cucu Komarudin dan Pesantren Taman Surga"