Kader dan Pilkada

BANYAK yang bertanya, kenapa hampir dalam setiap penyelenggaraan Pilkada, Partai-partai lebih cenderung mengusung bakal calon atau calon yang bukan dari kader partai? Tentu saja atas pertanyaan ini akan banyak sekali jawaban baik secara pandangan politik atau komunikasi. Apakah saat ini partai-partai politik telah kehilangan tokoh-tokoh penting dan merupakan figur di dalam partai politik tersebut?

Sejak awal reformasi, sifat partai politik yang ada di negara ini telah bersifat cair, mengalir tidak hanya di kelompok elit saja, juga telah menyusuri turun hingga ke kelompok akar rumput. Pemilu pertama di era reformasi, dipandang oleh banyak pengamat sebagai reinkarnasi kembali partai-partai peserta Pemilu 1955. Setelah beberapa kali meyelenggarakan Pemilu dengan peserta itu-itu juga di era Orde Baru, pada tahun 1999, dari hasil penjaringan oleh pemerintah, Partai politik yang melakukan reinkarnasi di masa reformasi dengan jumlah mencapai seratus lebih partai politik, sebanyak empat puluh delapan partai memiliki hak untuk dipilih dalam penyelenggaraan Pemilu 1999.

Kebangkitan kembali partai lama dan munculnya partai baru di era reformasi memberi keleluasaan kepada setiap orang untuk mengekspresikan hak politik hingga hasrat politik yang telah dikekang selama tiga dekade pada masa pemerintahan Suharto. Masyarakat berhal memasuki dan memilih menjadi kader atau sekadar menjadi simpatisan dari sekian puluh partai yang ada. Mereka tinggal memilih berdasarkan kecenderungan pandangan berdasarkan ideologi apa yang mengendap dalam diri mereka, nasionalis atau agama?

Begitu berbeda dengan Pemilu dua tahun sebelumnya, pada tahun 1997, Orde Baru masih dapat bersikap represif terhadap pemilih dengan menggunakan jargon pembangunan. Dalam Pemilu 1999, masyarakat memiliki kemerdekaan menggunakan atribut partai apa saja saat kampanye, bahkan dapat menjadi pengurus sebuah partai dengan tanpa rasa takut dan ancaman dari birokrat.

Kelemahan dari perubahan sistem baik dari segi penyelenggaraan pemilihan umum atau dari sistem pemerintahan adalah telah melahirkan generasi yang lebih sangar dan beringas daripada orde sebelumnya. Masyarakat -entah digerakkan oleh siapa - menjadi lebih berani mengemukakan pendapat dengan cara terbuka, di akhir masa pemerintahan Suharto, masyarakat telah berani mengucapkan sumpah serapah kepada aparat. Saat kepolisian mengeluarkan paradigma baru menyodorkan kebijakan Polingga, Polisi Pelindung Warga, tidak sedikit serapah dari masyarakat menyebutkan Polisi Maling Juga kepada akronim tersebut.

Selama satu dekade ke depan, hampir setiap partai politik memiliki kelemahan di dalam kegiatan pendidikan politik bagi kader-kadernya. Partai politik cenderung melakukan kaderisasi hanya beberapa bulan saja sebelum penyelenggaraan pemilihan umum. Mereka acap kali memiliki pandangan telah menguasai basis-basis massa pemilih. Pendidikan politik malahan sering dilakukan oleh pemerintah sendiri, padahal tugas tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab partai politik. Hal ini menjadi sebab semakin mudahnya kader dari partai apa pun berpindah-pindah ke partai lain.

Kekalutan politik tidak terjadi begitu saja di kelompok akar rumput. Hingga tataran elit pun hal ini tampak sering muncul. Perebutan jabatan ketua umum dan ketua partai dari pusat sampai daerah selalu menjadi wacana panas setiap lima tahun sekali. Sebagai contoh, dalam suksesi ketua umum Partai Golkar pada tahun 2015-2016 terjadi pergolakan antara dua kubu: Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Persoalan tersebut merembet hingga ke daerah-daerah, kader-kader di daerah melalui DPD dipaksa untuk memberikan dukungan secara sah kepada masing-masing calon ketua yang akan bertarung pada Munas partai.

Hal lain yang terjadi selama hampir dua dekade ini adalah apa yang dialami oleh Harry Tanusoedibyo, dia telah memelopori pendirian berbagai partai politik, Nasdem, Hanura, dan sekarang Perindo. Begitu dengan mudah juga hanya karena berbeda pandangan dengan beberapa elit partai tersebut, HT pindah haluan memilih partai lain. Bahkan Nasdem berdiri pun sebagai akibat kekalahan Surya Paloh dalam Munas Golkar.

Konflik internal itu tidak hanya terjadi di kelompok elit. Di daerah-daerah pun mengalami hal yang sama. Beberapa tahun lalu, PDIP menyelenggarakan Musyawarah Daerah, Iwan Kustiawan kembali menjabat sebagai Ketua DPC PDIP Kota Sukabumi, perebutan kursi nomor satu di partai tersebut berlangsung alot dan sempat saling tarik-ulur antara simpatisan Iwan Kustiawan dengan Dadang Jhon. Kekalahan di Musda tersebut mengakibatkan Dadang Jhon menyeberang ke Partai Gerindra pada Pemilu 2014 lalu.

Dalam penyelenggaraan Pemilu 2009, Partai Golkar telah mengubah arah, haluan, dan paradigma partai. Pendaftaran Calon Anggota Legislatif dalam penyelenggaraan Pemilu dengan sistem proprsional terbuka itu dimaknai siapa pun terbuka menjadi anggota legislatif jika memperoleh suara terbanyak, tidak terbatas dan dibatasi untuk kader partai saja. Jona Arizona ikut mendaftar sebagai calon anggota legislatif ke Partai Golkar di Daerah Pemilihan 2 (Baros, Lembursitu, Cibeureum). Jona meraih suara terbanyak jika dibandingkan dengan caleg lain dari partai yang sama.

Tetapi pada Pemilu 2009, Suara Golkar merosot tajam, dari 9 kursi di DPRD Kota Sukabumi menjadi hanya meraih 5 kursi saja, artinya Golkar kehilangan 4 kursi. Demokrat mengalami peningkatan dengan meraih 7 kursi DPRD. Proses pencalegan di dalam Golkar sebetulnya sangat ketat, sebab tidak serta-merta orang dapat begitu saja mendaptar, dia -minimal- pernah menjadi pengurus Pimpinan Kecamatan, yang akan memengaruhi nomor urut caleg yang diusulkan oleh DPD kepada KPU.

Jika saja kita dituntut untuk jeli dan mau jujur menanggapi fenomena yang terjadi pada Partai Golkar, beberapa bulan sebelum pendaftaran calon anggota legislatif, masyarakat tidak pernah mengenal Jona Arizona sebagai kader partai, kecuali pada saat itu, dia diangkat menjadi Wakil Pimpinan Kecamatan Lembursitu saja, prosesnya pun terlalu cepat, sebab untuk menjadi pengurus meskipun hanya setingkat kelurahan, proses penggantian jabatan harus dilalui melalui Muscam Luar Biasa, prosedur yang berlaku di dalam partai Golkar harus ditempuh, misalnya harus adanya perubahan terhadap Surat Keputusan tentang susunan personalia, tanpa menempuh hal-hal tersebut maka telah dapat ditaksir, rata-rata setiap partai politik hanya selalu berkecimpung dengan persoalan kepentingan saja, meskipun hanya ada di tingkat akar rumput.

Di zaman modern, partai politik pun harus mengadapinya dengan modern, sayangnya selalu saja paradigma kemajuan tersebut beririsan dengan kepentingan pribadi, tanpa mempertimbangkan kebaikan di masa depan. Jona Arizona lebih memilih melepaskan jabatan yang sedang dipegangnya sebagai Wakil Ketua DPRD dari Fraksi Golkar kemudian diusung oleh PPP menjadi calon Wakil Walikota dalam Penyelenggaraan Pemilukada 2013 berpasangan dengan Mulyono.

Dari pandangan siapapun langkah itu merupakan 'blunder' baik bagi Jona juga bagi Partai Golkar sendiri. Akhirnya, DPP Golkar memberhentikan Jona sebagai pengurus DPD Partai Golkar Kota Sukabumi. Meskipun wacana yang berhembus adalah diberhentikan sebagai kader Golkar. Penting ditekankan, tidak akan ada yang dapat memberhentikan seseorang sebagai kader sebuah partai sebab kader partai bukan jabatan struktural di partai. Masyarakat menjadi kader itu bukan atas pengangkatan siapa pun, mereka memilih atas prakarsa mereka sendiri.

Partai politik memang cenderung menawarkan ambisi dan hasrat kepada siapa saja, sebab tujuan besar yang ingin dicapai oleh setiap partai adalah kekuasaan dari pusat hingga ke daerah. Pada akhirnya menyebabkan partai-partai politik tidak hanya konsern bagaimana mereka membangun kader melainkan berusaha meraih suara terbanyak meskipun dengan cara yang tidak pantas, misalnya money politic atau politik uang. Memberikan uang atau membagikannya kepada pemilih hanya memandang bahwa uang sebatas pada nominal saja, padahal dalam dunia politik atau apa pun uang harus ditafsirkan lebih dari itu, uang merupakan nilai. Misalnya, memberikan uang sebesar Rp. 100.000,- kepada pemilih hanya merupakan nominal sedangkan memberikan uang sebesar Rp. 50.000,- kepada mesin partai untuk melakukan kaderisasi dapat dikatakan merupakan nilai. 

Dalam pandangan politik, sebenarnya tidak dikenal istilah politisi kutu loncat, sebab di saat iklim dan badai politik telah begitu mencair, siapa saja dapat dengan mudah memilih hingga pindah haluan, tidak ada idea atau pandangan serta pola pikir yang menyebutkan hukum haram berpindah partai, pegangan, atau haluan. Bahasa sederhana di dalam politik adalah: Jika anda tidak ingin dipimpin oleh orang-orang bodoh, maka anda sendiri yang harus terjun langsung ke dunia politik. Era reformasi bukan lagi merupakan era hegemoni partisan, reformasi merupakan milik semua kelompok, terlepas apakah seseorang akan dikatakan sebagai oportunis, pragmatis, atau sekadar pemberi semangat. Di dalam budaya non-hegemoni akan jarang dijumpai kader militan, militansinya juga akan dipertanyakan ketika ada kelompok yang mencoba mengganggu kepentingannya. 

Kang Warsa

Posting Komentar untuk "Kader dan Pilkada"