Dua kampung ketika Kecamatan Baros masih merupakan bagian dari Kabupaten Sukabumi diberi nama dengan awalan yang sama yaitu Cicadas Girang dan Cicadas Hilir. Secara etimologi pemberian nama kedua kampung ini didasarkan atas letak atau posisi kedua kampung itu, Cicadas Girang terletak di sebelah utara Kampung Tespong dan Cicadas Hilir terletak di sebelah selatannya. Karena penamaan kedua kampung ini didasarkan atas posisi Kampung Tespong sudah dapat dipastikan pemberi nama kedua kampung ini merupakan para tokoh yang berasal dari Kampung Tespong.
Penamaan sebuah kampung pada zaman pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan biasa dilakukan oleh para tokoh yang berdomisili di pusat pemerintahan desa setelah melalui konsensus atau kesepakatan para tokoh masyarakat. Letak kantor Kelurahan Jayamekar sebelum dipindahkan pada tahun 2005 ke perbatasan Cicadas Girang dan Tespong berada di Kampung Tespong tepat di depan SDN Tespong Raya. Salah seorang tokoh yang pernah diwawancarai oleh penulis M. Mustafid (alm) pada tahun 2006 merupakan ketua LPM Jayamekar pernah menyebutkan konsensus pemberian nama-nama tempat di sekitar Kelurahan Jayamekar ini telah dilangsungkan di awal abad ke 20, beberapa tahun sebelum Indonesia merdeka.
Nama-nama tempat atau perkampungan di sekitar Kampung Tespong yang memanjang mengikuti pola jalan Tata Nugraha dan Jalan Proklamasi rata-rata diawali dengan kata “Ci” seperti Cipeujeuh, Cikéong, Cipetir, Ciwaringin, dan Cicadas. Masyarakat umum sering menerjemahkan kata “Ci” dalam Bahasa Sunda dengan air, meskipun arti sebenarnya dari “Ci” ini adalah refleksi cahaya matahari yang terpantul melalui air. Kata “Ci” atau “Cai” telah mengalami transfer makna dari makna asal ke makna baru, kata “air” sendiri di dalam Bahasa Sunda Buhun yaitu banyu.
Melalui pendekatan bahasa ini dapat ditafsirkan, Cicadas memiliki arti air cadas atau air yang keluar dari batu cadas. Penamaan kampung - secara bahasa ini - tidak terlepas antara pemberian nama kampung berdasarkan konsensus dan keadaan atau potensi alam daerah itu. Areal persawahan yang mengelilingi Kampung Cicadas Girang, Tespong, dan Cicadas Hilir merupakan tanah merah, jika digali beberapa meter dari permukaan tanah merupakan batu-batu cadas yang keras. Tidak heran, sampai tahun 1992 di ketiga tempat itu terdapat beberapa lokasi penggalian pasir berbentuk kolam-kolam yang luas serta dalam.
Melalui studi komparasi atau perbandingan, meskipun di kalangan sejarahwan metode komparasi ini masih diperdebatkan apakah sejarah harus dihasilkan dari perbandingan dengan sejarah yang telah ada atau tidak? Max Weber sebagai salah seorang sejarahwan banyak melakukan komparasi terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Weber melakukan pendekatan komparasi dapat disebutkan sangat wajar, mengingat posisi dia sebagai seorang ilmuwan yang diklasifikasikan ke dalam ilmuwan splitter melihat fenomena sebagai sesuatu yang memiliki perbedaan. Melalui pendekatan ini telah dihasilkan teori model, suatu teori yang menyederhanakan sebuah peristiwa.
Apa yang terjadi, kondisi masyarakat di kedua kampung, Cicadas Girang dan Cicadas Hilir tidak akan jauh berbeda dengan kondisi di kampung-kampung yang ada di sekitarnya. Pada tahun 1997, saat pemekaran wilayah Pemerintahan Kota Madya Sukabumi, Kecamatan Baros menjadi bagian dari Kota Madya Sukabumi, menjelang penyelenggaraan Pemilu 1997, Pemilu terakhir di era Orde Baru, Walikota Sukabumi, H. Udin Koswara meminta kepada Kepala Desa (Lurah) Jayamekar, Jajang (alm) agar memenangkan kembali Golkar pada pesta demokrasi 1997. Jaminan yang diberikan oleh Walikota jika Golkar tetap unggul di atas 80% perolehan suara, jalan sepanjang Ciwaringin sampai Tespong, sekarang diberi nama Jl Tata Nugraha yang saat itu masih berupa jalan batu akan diaspal.
Kampung Tespong sendiri terletak di tengah-tengah beberapa perkampungan di Kelurahan Jayamekar. Menurut penuturan M.Mustafid (alm) pada awal abad ke 20, di kampung Tespong baru berdiri beberapa rumah sederhana saja. Salah seorang tokoh yang terkait dengan kampung ini bernama Abah Toha, menurut cerita yang dituturkan secara turun-temurun, penamaan Tespong sebagai nama kampung atau lembur tidak terlepas dari peran Abah Toha yang menemukan banyak pohon Tespong tersebar di pinggir perkampungan. Meskipun Belanda telah membuka akses jalan kecil sebagai penghubung Jalan Baros dengan Jalan Pelabuan hanya sedikit saja pendatang dari luar kampung mulai menetap di kampung ini. Hal tersebut sangat lumrah, mengingat perkampungan sepanjang bantaran Sungai Cimandiri sampai awal abad ke 20 masih berupa lahan terbuka hijau yang ditumbuhi oleh pohon-pohon berukuran besar. Masyarakat lebih memilih mendiami daerah-daerah yang terletak di dekat pusat kekuasaan daripada di daerah peripheral.
Kedatangan penduduk baru dari kampung-kampung terdekat dan kampung lainnya dilatarbelakangi oleh potensi dan sumberdaya alam kampung ini yang telah menyediakan material bangunan seperti pasir, kerikil, dan batu. Awalnya mereka membangun tempat peristirahatan sementara setelah seharian menggali pasir dan batu, lambat laun mereka membawa anak dan istrinya menetap di kampung ini. Jumlah penduduk terus mengalami perkembangan pasca Indonesia merdeka. Lima tahun setelah merdeka, sebagai kampung yang berdekatan dengan pegunungan yang dijadikan tempat persembunyian kaum gerombolan, tidak sedikit orang-orang di kampung ini diculik oleh kaum gerombolan.
Sampai tahun 1970-an, sesuai dengan penamaan Kampung Tespong yang diambil dari nama sebuah pohon yang mirip dengan seledri, bentuk daun bergerigi, kaya dengan klorofil, dan anti-oksidan, di daerah ini terdapat banyak orang yang dapat mengobati berbagai penyakit melalui pengobatan alamiah. Menurut beberapa keterangan dari seorang tokoh masyarakat, pohon tespong merupakan lalap yang dapat mengobati penyakit panas dalam artinya kondisi kampung Tespong seperti yang diharapkan oleh orang yang memberikan penamaan kampung ini dapat menjadi sebuah kampung yang menentramkan siapa saja yang menjadi penghuninya.
Penamaan sebuah kampung pada zaman pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan biasa dilakukan oleh para tokoh yang berdomisili di pusat pemerintahan desa setelah melalui konsensus atau kesepakatan para tokoh masyarakat. Letak kantor Kelurahan Jayamekar sebelum dipindahkan pada tahun 2005 ke perbatasan Cicadas Girang dan Tespong berada di Kampung Tespong tepat di depan SDN Tespong Raya. Salah seorang tokoh yang pernah diwawancarai oleh penulis M. Mustafid (alm) pada tahun 2006 merupakan ketua LPM Jayamekar pernah menyebutkan konsensus pemberian nama-nama tempat di sekitar Kelurahan Jayamekar ini telah dilangsungkan di awal abad ke 20, beberapa tahun sebelum Indonesia merdeka.
Nama-nama tempat atau perkampungan di sekitar Kampung Tespong yang memanjang mengikuti pola jalan Tata Nugraha dan Jalan Proklamasi rata-rata diawali dengan kata “Ci” seperti Cipeujeuh, Cikéong, Cipetir, Ciwaringin, dan Cicadas. Masyarakat umum sering menerjemahkan kata “Ci” dalam Bahasa Sunda dengan air, meskipun arti sebenarnya dari “Ci” ini adalah refleksi cahaya matahari yang terpantul melalui air. Kata “Ci” atau “Cai” telah mengalami transfer makna dari makna asal ke makna baru, kata “air” sendiri di dalam Bahasa Sunda Buhun yaitu banyu.
Melalui pendekatan bahasa ini dapat ditafsirkan, Cicadas memiliki arti air cadas atau air yang keluar dari batu cadas. Penamaan kampung - secara bahasa ini - tidak terlepas antara pemberian nama kampung berdasarkan konsensus dan keadaan atau potensi alam daerah itu. Areal persawahan yang mengelilingi Kampung Cicadas Girang, Tespong, dan Cicadas Hilir merupakan tanah merah, jika digali beberapa meter dari permukaan tanah merupakan batu-batu cadas yang keras. Tidak heran, sampai tahun 1992 di ketiga tempat itu terdapat beberapa lokasi penggalian pasir berbentuk kolam-kolam yang luas serta dalam.
Melalui studi komparasi atau perbandingan, meskipun di kalangan sejarahwan metode komparasi ini masih diperdebatkan apakah sejarah harus dihasilkan dari perbandingan dengan sejarah yang telah ada atau tidak? Max Weber sebagai salah seorang sejarahwan banyak melakukan komparasi terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Weber melakukan pendekatan komparasi dapat disebutkan sangat wajar, mengingat posisi dia sebagai seorang ilmuwan yang diklasifikasikan ke dalam ilmuwan splitter melihat fenomena sebagai sesuatu yang memiliki perbedaan. Melalui pendekatan ini telah dihasilkan teori model, suatu teori yang menyederhanakan sebuah peristiwa.
Apa yang terjadi, kondisi masyarakat di kedua kampung, Cicadas Girang dan Cicadas Hilir tidak akan jauh berbeda dengan kondisi di kampung-kampung yang ada di sekitarnya. Pada tahun 1997, saat pemekaran wilayah Pemerintahan Kota Madya Sukabumi, Kecamatan Baros menjadi bagian dari Kota Madya Sukabumi, menjelang penyelenggaraan Pemilu 1997, Pemilu terakhir di era Orde Baru, Walikota Sukabumi, H. Udin Koswara meminta kepada Kepala Desa (Lurah) Jayamekar, Jajang (alm) agar memenangkan kembali Golkar pada pesta demokrasi 1997. Jaminan yang diberikan oleh Walikota jika Golkar tetap unggul di atas 80% perolehan suara, jalan sepanjang Ciwaringin sampai Tespong, sekarang diberi nama Jl Tata Nugraha yang saat itu masih berupa jalan batu akan diaspal.
Kampung Tespong sendiri terletak di tengah-tengah beberapa perkampungan di Kelurahan Jayamekar. Menurut penuturan M.Mustafid (alm) pada awal abad ke 20, di kampung Tespong baru berdiri beberapa rumah sederhana saja. Salah seorang tokoh yang terkait dengan kampung ini bernama Abah Toha, menurut cerita yang dituturkan secara turun-temurun, penamaan Tespong sebagai nama kampung atau lembur tidak terlepas dari peran Abah Toha yang menemukan banyak pohon Tespong tersebar di pinggir perkampungan. Meskipun Belanda telah membuka akses jalan kecil sebagai penghubung Jalan Baros dengan Jalan Pelabuan hanya sedikit saja pendatang dari luar kampung mulai menetap di kampung ini. Hal tersebut sangat lumrah, mengingat perkampungan sepanjang bantaran Sungai Cimandiri sampai awal abad ke 20 masih berupa lahan terbuka hijau yang ditumbuhi oleh pohon-pohon berukuran besar. Masyarakat lebih memilih mendiami daerah-daerah yang terletak di dekat pusat kekuasaan daripada di daerah peripheral.
Kedatangan penduduk baru dari kampung-kampung terdekat dan kampung lainnya dilatarbelakangi oleh potensi dan sumberdaya alam kampung ini yang telah menyediakan material bangunan seperti pasir, kerikil, dan batu. Awalnya mereka membangun tempat peristirahatan sementara setelah seharian menggali pasir dan batu, lambat laun mereka membawa anak dan istrinya menetap di kampung ini. Jumlah penduduk terus mengalami perkembangan pasca Indonesia merdeka. Lima tahun setelah merdeka, sebagai kampung yang berdekatan dengan pegunungan yang dijadikan tempat persembunyian kaum gerombolan, tidak sedikit orang-orang di kampung ini diculik oleh kaum gerombolan.
Sampai tahun 1970-an, sesuai dengan penamaan Kampung Tespong yang diambil dari nama sebuah pohon yang mirip dengan seledri, bentuk daun bergerigi, kaya dengan klorofil, dan anti-oksidan, di daerah ini terdapat banyak orang yang dapat mengobati berbagai penyakit melalui pengobatan alamiah. Menurut beberapa keterangan dari seorang tokoh masyarakat, pohon tespong merupakan lalap yang dapat mengobati penyakit panas dalam artinya kondisi kampung Tespong seperti yang diharapkan oleh orang yang memberikan penamaan kampung ini dapat menjadi sebuah kampung yang menentramkan siapa saja yang menjadi penghuninya.
Posting Komentar untuk "Cicadas-Tespong"