Alasan Menulis dan Berkomentar

Sangat masuk akal bagi saya, membaca setiap tulisan teman-teman, baik catatan atau status-status sederhana di facebook. Walaupun masih sangat jauh diri ini disebut sebagai penulis handal, tapi di dalamnya ada ikatan mental yang kuat antara diri saya dengan berbagai hal yang berkaitan dengan tulisan, karya tulis, atau literasi.

Ikatan mental itu terasa semakin kuat saat saya menyadari bahwa setiap orang memiliki keinginan dan harapan tentang aktualisasi diri. Manusia ingin diakui eksistensinya, dilihat, dan dihargai. Salah satu aktualisasi diri manusia tentu saja dengan menuangkan ide-ide cerdas dan pikiran-pikiran jenius dalam bentuk catatan atau status. Ini menjadi satu alasan, kenapa dalam setiap kesempatan, saya biasa membuka facebook dan banyak membaca apa yang dipikirkan oleh teman-teman, terlepas dikomentari atau tidaknya.

Paling tidak ada tiga alasan, kenapa saya sering tidak melewatkan perkembangan pikiran teman-teman. Pertama, saya sangat sadar betul, betapa banyak ide-ide cerdas terkumpul di dalam pikiran kita, betapa banyak fenomena-fenomena keseharian kita; tentang kesibukan-kesibukan hidup, kesibukan-kesibukan lain yang seolah-olah sibuk, menunaikan kewajiban dan hal-hal sunat dalam kehidupan. Sudah tentu mengambil kesimpulan dan menyederhanakan berbagai peristiwa serta fakta-fakta kehidupan ini tidak mudah.

Dapat dibayangkan, andai -hanya- fenomena-fenomena sosial saja yang dituangkan ke dalam tulisan, saya sangat yakin dalam satu hari kita akan mampu menghasilkan beberapa halaman tulisan. Jadi, betapa tidak mudahnya memindahkan ide dan pikiran ke dalam bentuk tulisan ini. Karena tidak mudahnya itulah menghargai penulis harus kita lakukan.

Menulis bukan pekerjaan mudah, relasi antara pikiran dengan apa yang dituangkan ke dalam tulisan akan membentuk kerucut terbalik. Optimalisasi sektor-sektor pikiran, diperlukan ketangkasan pemaknaan terhadap informasi yang ingin disampaikan. Kerumitan ini sama sekali tidak sebanding dengan cara membaca kita, maka sekali saya pertegas, penghormatan harus diberikan kepada para penulis. Meracik dan membuat masakan tidak lebih mudah dari sekadar menyantap makanan yang telah dihidangkan.

Dari sini telah terbaca, di dalam kehidupan ini penting adanya partikularisasi. Tidak semua orang dituntut untuk menjadi penulis meskipun mereka pada dasarnya telah terbiasa dengan kegiatan ini. Hukumnya bisa menjadi wajib dan sunat, namun tetap saja tulisan itu harus ada saat kita hidup di era sejarah. Bukankah sejarah manusia diawali saat manusia mengenal tulisan?

Kedua, interdepedensi manusia sebagai mahluk sosial tidak sekadar terjadi di dunia nyata saja. Dunia maya telah memasukkan dunia nyata ke dalam satu kotak yang bisa kita utak-atik. Saling ketergantungan pun semakin cair. Komunikasi verbal telah banyak dikonversi oleh komunikasi non verbal. Dalam sebuah ruangan -bahkan pasangan suami istri- akan menggunakan media chating atau medsos untuk saling menyapa dan menyampaikan pesan, tanpa perlu menggunakan bahasa verbal.

Hal di atas dapat dikatakan sebagai keruntuhan etika komunikasi. Namun pada saat bersamaan, hal itu dapat disebut merupakan revolusi komunikasi; saat pesan tidak tersampian secara lisan, dia bisa disampaikan dengan tulisan: SMS, email, atau pesan lainnya. Jadi, yang dibutuhkan dalam hal ini adalah seberapa efektif pesan tersebut diterima oleh orang lain. Dan ini terus tumbuh dalam ketergantungan antar personal.

Tidak melulu dalam hal materi. Kenapa facebook dibuat? Salah satunya untuk menyatukan sifat dasar saling ketergantungan dan keterikatan manusia di dunia maya, dunia yang telah memasukkan dunia realita ke dalam sebuah kotak kecil. Interdepedensi ini mencipta keinginan, bentuk penghargaan dari seseorang kepada orang lain. Saling mengisi, memberi masukan, berkomentar, atau mengacungkan jempol terhadap apa yang mereka temui. Bahkan, perhatian manusia terhadap fenomena keseharian pun telah memancing respon untuk dikomentari, lalu dituangkan ke dalam sebuah status di dalam facebook, twitter, dan media sosial lainnya.

Keriga, persoalan ikatan bathin, pertemanan, dan persahabatan. Seleksi memang menjadi keharusan. Di dunia nyata, berapa orang yang kita temui, kita sapa, kita ajak berkomunikasi, lalu berapa orang kah di antara sekian orang itu yang dapat menjadi sahabat baru? Kesibukan mencari jadi diri kita, kesibukan memikirkan hal-hal pelik dalam rumah tangga, seolah telah memandulkan kreatifitas manusia di dalam mencari pertemanan.

Di lingkungan sekitar, barangkali kita –dalam keseharian- hanya saling sapa alakadarnya dengan tetangga, di kantor pun, orang yang kita jumpai itu-itu juga. Saya sendiri hanya memiliki 0.3% teman di dunia nyata dari 300.000 jiwa penduduk Sukabumi. Betapa sulit sekali dalam dunia nyata ini kita menambah teman baru.

Di dunia maya lain hal, dalam sehari, cukup dengan satu klik-an, persahabatan bisa dijalin dalam satu detik. Meskipun persahabatan tanpa ikatan interpersonal tetap saja dibaca dalam dunia maya itu adalah sahabat kita. Keleluasaan ini telah menjadikan ruang public baru, kita bisa saling sapa dengan orang yang tidak kita kenal sebelumnya. Kita bisa berkelakar dengan mereka, tanpa sungkan, sampai membentuk sebuah komunitas. Nah, karena kesulitan dalam menemukan sahabat baru dalam dunia nyata inilah maka sangat gegabah jika kita sama sekali tidak menjaga persahabatan di dunia maya. Percayalah, sama halnya dengan dunia nyata, di dunia maya pun karakter-karakter dan adegan kehidupan tetap berlaku, sopan-santun, adan, etika, kesombongan, penipuan, kejahatan, seksualitas, dan lain sebagainya bisa kita temui. Kemunafikan pun sudah pasti menghiasi panging sandiwara di dunia maya ini. Disinilah pentingnya membangun ikatan interpersonal persahabatan. Bahkan, cinta pun bisa diraih di dunia maya ini.

~Kang Warsa~

Dikirim dari iPhone saya

Posting Komentar untuk "Alasan Menulis dan Berkomentar"