Menjadi Orang Baik


ADA semacam anggapan –meskipun saya pikir hal ini merupakan tekanan- yang telah lama diwariskan oleh –katanya- kaum Kolonial kepada bangsa-bangsa terjajah, manusia terutama para siswa diharuskan oleh orangtuanya menjadi siswa nomor satu di kelas. Rengking Satu. Dengan demikian, siswa tersebut akan membawa nama baik keluarga, orangtua, dan dirinya sebagai sang juara. Sisi baik dari tradisi ini adalah memberi semangat kepada seorang anak, namun begitu kuat pengaruh sikap individualis diwariskan secara turun-temurun. Pada akhirnya, rata-rata masyarakat kita tidak dapat membedakan antara sikap individualis dengan individualisme sebagai sebuah pemikiran.

Hari ini, Jum’at tanggal 4 Mei 2018, Koran Radar Sukabumi memuat Opini tulisan A.S Laksana berjudul “Kami Tidak Ingin Jadi Nomor Satu”.  Simpulan besar dari opini tersebut menyoal kemajuan pendidikan di negara-negara Skandinavia salah satunya Finlandia. Tentu saja, kemajuan pendidikan di negara tersebut tidak dapat disimpulkan hanya oleh sebuah opini, karena prestasi negara-negara Skandinavia dalam pendidikan dihasilkan melalui sebuah proses panjang. Proses inilah yang digambarkan oleh AS Laksana sebagai hal mendasar keberhasilan segala sesuatu, terutama pendidikan. Masyarakat dan pemerintah Finlandia sendiri sama sekali tidak mengawali usaha untuk memajukan pendidikan negaranya dengan niat untuk menjadi nomor satu. Bagi mereka, menjadi nomor satu merupakan sebuah akibat dari proses panjang, bukan tujuan.

Robbie Williams, di  tahun 2001 mempopulerkan sebuah lagu dengan judul “  Better Man”, lagu tersebut tidak diberi judul “ To Be a Number One”. Jika diartikan secara harfiah, menjadi manusia baik akan lebih utama dari sekadar menjadi manusia nomor satu. Kualitas diri yang akan menentukan kuantitas seseorang. Dalam siaran Radio Australia di tahun 1980-1990an, selain mengucapkan kalimat sapaan Good Pagi, Selamat Morning, saya mengingat ucapan Kang Ebet Kadarusman, “ Memang baik menjadi orang penting, tapi jauh lebih penting untuk menjadi orang baik”. Penekanan yang kuat antara Robbie Williams dengan pepatah tersebut ada pada kata baik sebagai sebuah nilai atau kualitas.

Bahkan kening kita akan lebih sangat mengkerut jika menonton sebuah film berjudul “Three Idiots”. Rancho, diperankan oleh Aamir Khan merupakan seorang jenius. Dia telah menjadi manusia jenius sejak dilahirkan. Tetapi, manusia langka ini kurang menyukai tradisi berbau formalitas, dari peringkat kelas hingga gelas kesarjanaan bukan tujuan utama dia bersekolah. Gelar kesarjanaan dengan predikat sangat memuaskan pun tidak segan diberikan kepada tuannya. Bagi Rancho, kecerdasan merupakan anugerah namun manusia berhak menjadi manusia yang benar-benar merealisasikan bakat dan kecerdasannya masing-masing. Film ini merupakan satire terhadap tradisi dan kebijakan-kebijakan di India dan negara-negara berkembang lainnya yang telah terinfeksi virus –menurut Ronald Dore- bernama ‘Diploma Disease”, penyakit diploma, rakus oleh gelar kesarjanaan bukan haus oleh pengetahuan.

Secara alamiah, sifat dasar manusia itu bukan selalu ingin menjadi manusia nomor satu, melainkan menjadi manusia juara, berkualitas, dan menjadi pemenang. Sejak pertama kali sel sperma membuahi ovum realitas upaya untuk menjadi yang terbaik itu memang telah dialami oleh setiap manusia meskipun tanpa disadari. Orangtua dan leluhur kita juga sering memberikan petuah bijak: kudu jadi jalma bener jeung jujur dina hirup (harus menjadi manusia baik dalam hidup), kata jujur dalam terminologi Sunda yaitu baik. Orangtua dan leluhur kita jarang memberikan petuah di dalam hidup ini kita harus selalu menjadi orang nomor satu!

Ajaran setiap agama pun menyatakan demikian. Tujuan akhir keberagamaan manusia itu melahirkan manusia-manusia baik (sholeh) agar dapat kembali kepada Tuhan. Bukan memesan agar menjadi manusia nomor satu yang dapat memasuki sorga. Hal ini telah memengaruhi para nabi hingga filsuf untuk memupuk kualitas diri dari sekadar memperlihatkan atribut-atribut dan embel-embel kehidupan. Ada sebuah paragraph cukup bijak yang dapat kita jadikan cermin di dalam kehidupan: “Dulu, aku memiliki cita-cita ingin menjadi dokter, pilot, pengusaha. Menjelang dewasa aku bercita-cita menjadi kyai, agamawan, atau rohaniwan. Setelah cukup lama diriku mengarungi samudera kehidupan, maka segala cita-cita tersebut aku genapkan dalam sebuah kalimat: Aku ingin menjadi manusia baik saja.

Jujur, sangat sulit menjadi manusia baik itu, memerlukan proses panjang dan berliku. Karena itu, manusia sering mencari-cari celah menjadi Si Nomor Satu saja meskipun dengan cara kurang elok.

KANG WARSA

Posting Komentar untuk "Menjadi Orang Baik"