Persoalan seputar kata 'fiksi' dan 'fiktif' telah menjadi popular kembali sejak tiga minggu terakhir ini. Polemik muncul ketika Rocky Gerung menyebutkan semua kitab suci merupakan fiksi saat acara Indonesia Lawyer Club yang ditayangkan pada tanggal 10 April 2018. Kelompok umat beragama dari agama apa saja telah ada yang mengambil sikap terhadap pernyataan ini sebab ranah fiksi dan fiktif bagi sebagian besar masyarakat masih dipandang sebagai sesuatu yang khayali, ada di wilayah awang-uwung atau melangit.
Terlepas apakah pernyataan Rocky Gerung berbau politis atau tidak (murni sebagai pernyataan seorang ahli filsafat), secara keilmuan kita dituntut untuk bersikap bijak terhadap polemik yang sedang terjadi. Mencermati kata 'fiksi' kita dituntut tidak sekadar memberi makna hanya dengan melihat arti kata berdasarkan makna kamu atau leksikal. Secara lugas -berdasarkan KBBI- kata fiksi memiliki arti: cerita rekaan tidak berdasarkan kenyataan. Jika hanya melihat dengan mencermati makna kamus, sudah tentu umat beragama akan memperlihatkan sikap tidak menerima mereka jika kitab suci sebagai firman Tuhan dikatakan fiksi.
Namun jika makna fiksi ini diartikan secara lebih luas sikap 'berang' sebagian umat beragama tidak akan dimunculkan secara serampangan. Fiksi dapat diartikan sebagai peristiwa yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi. Tidak hadir di dalam kenyataan dimaksudkan memang ada namun tidak bersifat membumi. Hal penting yang harus dicermati dalam karya fiksi adalah pesan dan amanat yang ada di dalamnya. Cerita "Sangkuriang Kabeurangan" merupakan sebuah karya fiksi, terlepas apakah karya tersebut diyakini benar atau tidaknya namun cerita tersebut memiliki pesan dan amanat moral yang dapat dijadikan cermin di dalam kehidupan.
Tidak sedikit karya fiksi dalam genre cerpen, novel, dan roman yang telah dilahirkan oleh pujangga dan pengarang besar di negeri ini. Pada tahun 1955, Ali Akbar Navis menulis cerpen Robohnya Surau Kami, sebuah cerita fiksi yang telah banyak diteliti,diulas, dan dikritik baik oleh sastrawan juga oleh para akademisi yang konsern terhadap kekusastraan. Memberi tafsir secara letter-lerk terhadap cerpen ini akan menimbulkan kesan sebuah surau tempat orang-orang kampung sembahyang, mengaji, dan syukuran telah roboh karena dimakan usia.
Telaah lebih lanjut terhadap karya monumental A.A Navis ini tidak sekadar pada penafsiran secara leksikal atau makna kamus. Cerpen Robohnya Surau Kami dilatarbelakangi oleh cara pandang manusia juga dalam memberi makna terhadap agama atau keyakinan yang dianutnya. Pergolakan pemikiran terhadap Islam dan ajarannya telah berlangsung jauh-jauh hari sebelum cerpen ini diterbitkan. Bagi kelompok puritan -mereka memiliki pandangan- Islam harus benar-benar ditegakkan secara kaffah, utuh, tidak setengah-setengah, bahkan kelompok ini sering menasirkan ajaran sebagai hal yang berisafat tekstual. Jika di dalam kitab suci termaktub aturan A maka tidak dapat ditafsirkan lain, ia harus A.
Berbeda dengan kaum puritan, kelompok reformis dan tasawuf lebih memandang Islam dan ajarannya merupakan nilai yang akan terus dapat mengakomodir setiap masa dan milieu. Nilai di dalam Islam tidak berubah tetapi nilai-nilai ini dapat memberi warna terhadap kondisi dan keadaan zaman yang terus berubah. Pandangan seperti ini telah dibumikan oleh para penyebar Islam di Nusantara, sikap akomodatif para wali terhadap tradisi dan kebudayaan masyarakat Nusantara menjadikan Islam dan ajarannya telah lebih mudah diterima oleh masyarakat yang telah menganut agama Hindu dan Budha sebelum kedatangan Islam.
Di dalam cerpen Robohnya Surau Kami, A.A. Navis menggambarkan pergolakan kegeragamaan ini. Seorang Garin yang biasa dipanggil Kakek oleh masyarakat telah memilih berdiam diri di depan surat, menjaga surau, dan membersihkannya. Bagi Si Kakek dengan melakukan hal tersebut sebagai bentuk pengabdian dan ibadah kepada Yang Maha Kuasa akan menjadi modal utama dirinya dimasukkan ke dalam sorga.
Keyakinan seorang Kakek ternyata dikalahkan hanya oleh bualan cerita dari Ajo Sidi, salah seorang tokoh yang lebih menganut nilai positivisme di dalam kehidupan. Ajo Sidi membual, begitu kata orang-orang kepada Si Kakek. Di Akhirat nanti, justru orang-orang yang hanya mengandalkan ibadah, duduk bersimpuh di surau atau masjid, seperti layaknya Haji Soleh akan dimasukkan ke dalam neraka , keraknya pula. Kenapa? Bagi Ajo Sidi, orang-orang yang mengamalkan agama demikian dikategorikan sebagai manusia-manusia malas. Tugas utama manusia adalah mengelola alam yang telah dianugerahkan oleh Alloh. Bagaimana bisa manusia mengklaim dirinya akan masuk sorga jika alam yang dipenuhi oleh berbagai potensi ini dibiarkan begitu saja, dikeruk oleh bangsa lain, dan dirampok oleh orang-orang yang bukan haknya. Ajo Sidi lebih memilih untuk bekerja daripada terus memegang dan memutar-mutar biji tasbih.
Ucapan Ajo Sidi sebagai tokoh antagonis dalam cerpen ini rupanya memengaruhi diri Si Kakek. Di akhir cerita disebutkan Si Kakek menjadi bingung dan akhirnya memutuskan mengakhiri dirinya sendiri secara mengenaskan, ia memotong lehernya sendiri dengan sebuah pisau. Dengan tanpa berikir panjang dan menelitinya dari berbagai sudut tentu saja kita akan menghakimi Si Kakek kelak akan dimasukkan ke dalam neraka karena telah melakukan sebuah dosa besar, bunuh diri. Tetapi hal paling penting dari cerita ini bukan sekadar sorga dan neraka melainkan sikap manusia itu sendiri di dalam mengartikulasikan pesan dan amanat yang dikandung di dalam kitab suci dan ajaran agama. Paska meninggalnya Si Kakek, orang-orang menjadi lebih tak acuh terhadap surau yang telah menua, yang pada akhirnya surau itu pun roboh.
Posting Komentar untuk "Robohnya Surau Kami"