Hubungan saling menguntungkan antara komunitas atau sekelompok masyarakat dengan alam untuk saat ini mungkin saja hanya dapat kita saksikan di film-film atau di kehidupan suku-suku pedalaman. Harus diakui, sampai saat ini pun kehidupan manusia modern tetap masih sangat tergantung kepada alam. Tetapi sejak revolusi Industri terjadi, hubungan manusia dengan alam itu sendiri tidak lagi sebagai hubungan saling menguntungkan dan saling menghormati antar sesame mahluk. Hubungan ini telah berubah –seolah – hubungan antara tuan dengan budaknya.
Bagi masyarakat-masyarakat di pedalaman –untuk memudahkan saya akan memberikan contoh kehidupan Suku Navi' dalam film Avatar- hubungan simbiosis mutualisma antara manusia dengan alam benar-benar mengejawantah. Penghormatan kepada alam dilakukan oleh mereka, pohon-pohon dibiarkan tetap tumbuh, bahkan simbol peradaban dan kemajuan mereka bukan terletak pada pembangunan tugu-tugu dari beton dan tiang baja melainkan kokohnya pohon besar yang tumbuh menjulang tinggi di areal pemukiman.
Pada abad pencerahan (enlighment) hubungan simbiosis mutualisma tersebut telah dipilah dan dipilih oleh para saintis sosial di Eropa sebagai bentuk pemujaan manusia-manusia primitive terhadap alam (baca: pantheisme). Sebutan-sebutan bagi keyakinan dihubungan dengan isme-isme yang telah diproduk melalui pendekatan ilmu-ilmu sosial ini. Sebagian lagi menyebutkan bentuk penghormatan manusia terhadap alam ini sebagai keyakinan primitive animism dan dinamisme. Dan pada bagian lain, keyakinan seperti ini tentu jauh berbeda dengan keyakinan-keyakinan Semit.
Tentu saja cara pandang seperti di atas, meskipun dengan menggunakan pendekatan sains atau keilmuan tetap tidak dapat menghindari penilaian subyektif sekelompok orang yang mendiami satu masa dan sosial cultural yang sangat berbeda terhadap sekelompok orang yang mendiami waktu dan daerah tertentu. Sama halnya dengan sikap kita memandang sejarah perang bangsa-bangsa Arab pada masa jahiliyah dan kenabian sebagai sikap barbar jika dilihat dengan kacamatan kita, manusia-manusia modern yang sedang hidup bukan dalam suasana perang hingga sosial cultural pun berbeda.
Bagi masyarakat yang kita anggap primitive, pemujaan kepada alam, pemuliaan terhadap entitas alam seperti pohon besar tentu saja bukan merupakan sebuah keyakinan (agama). Bagi mereka penghormatan tersebut tidak lain merupakan hubungan yang baik antara manusia sebagai mahkluk dengan alam sebagai makhluk juga. Bahkan bagi masyarakat Sunda Buhun, keyakinan atau agama yang dianut oleh masyarakat jelas sekali merupakan hasil kontemplasi mereka, bukan sekadar mengikuti keyakinan yang telah ada. Alasan tersebut menjadi satu bukti bagaimana Islam dengan sangat mudah diterima oleh orang-orang Sunda karena memiliki akar teologi ketauhidan yang dihasilkan dari proses kontemplasi sangat panjang.
Masyarakat primitive gurun tentu saja akan berbeda dengan masyarakat tradisional pegunungan atau di Nusantara. Masyarakat Arab Jahiliyah lebih menggantungkan hidup mereka kepada oase-oase di padang pasir, tidak heran beberapa abad sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, masyarakat Arab telah menjadikan Dewa Air sebagai sesembahan mereka. Kecuali air, masyarakat gurun terutama para kafilah yang biasa bepergian dari satu tempat ke tempat lain sangat menggantungkan hidup mereka kepada bulan, Dewi Bulan sebutan lain untuk Manaat diejawantahkan oleh mereka melalui patung Ishtar, atau Astarte, saat ini biasa diperingati oleh orang-orang Kristen dengan sebuatan Easter atau Paskah karena tradisi ini terus dipertahankan oleh sekelompok masyarakat di Yeussalem.
Sangat berbeda antara pemujaan kepada patung dan menhir dengan penghormatan masyarakat tradisional di Nusantara kepada alam seperti halnya pohon-pohon besar. Penghormatan mereka kepada alam tidak lain sekadar ungkapan terima kasih mereka kepada makhluk lain karena masih tetap memberikan hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia. Sayang sekali, kita sering memandang sikap mereka dengan paradigm agama sehingga bentuk penghormatan kepada alam sering kita nyatakan sikap syirik atau menduakan Tuhan. Padahal pemujaan terbesar manusia modern justru telah dialihkan kepada pemujaan tuhan-tuhan baru: Uang, Mobil, hingga Gadget. Kita terlalu mudah menilai orang lain dengan pandangan diri kita, sedangkan saat orang lain memandang diri kita dengan pandangan mereka dengan sangat fasih kita mengatakan: penistaan terhadap keyakinan.
Posting Komentar untuk "Omaticaya dan Pohon Besar"