Pertemuan beberapa orang dari unsur pemerintahan dan masyarakat di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Sukabumi dua hari lalu merupakan terobosan baru; bagaimana peran serta pemerintah bersama masyarakat dalam meningkatkan minat dan budaya masyarakat. Gerakan literasi di berbagai bidang memang telah diupayakan melalui kegiatan-kegiatan keliterasian baik di lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarkat.
Pemasyarakatan minat dan budaya baca bukan berarti masyarakat dituntut atau dipaksa agar menjadi masyarakat yang hanya gemar membaca an sich. Membaca dan aktivitas literasi lainnya harus memasyarakat, bukan hanya dikenal term dan istilahnya, tetapi setiap orang diharapkan dapat menyadari bahwa kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan merupakan bagian dari literasi.
Minat dan budaya baca sampai saat ini sebetulnya tidak lagi menjadi masalah serius. Masyarakat pascareformasi merupakan masyarakat yang harus diakui telah melek huruf. Hal terpenting dari kegiatan literasi di era Revolusi Industri 4.0 ini menyadarkan masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan keseharian mereka memang tidak pernah kering dari kegiatan literasi ini.
Pertumbuhan minat dan budaya baca di masyarakat saat ini dapat dikatakan mengalami kemajuan. Pemerintah telah membangun sarana dan prasara dalam upaya peningkatan minat dan budaya baca ini. Perpustakaan dengan jumlah buku yang cukup memadai telah merambah ke pelosok-pelosok. Kota Sukabumi selain memiliki Perpustakaan Umum Daerah juga memiliki beberapa perpustakan sampai tingkat kelurahan. Antusiasme masyarakat terhadap keberadaan “ruang ilmu” selama tiga tahun ini dapat dikatakan cukup menggembirakan.
Kenapa pemerintah selalu menggagas kebijakan-kebijakan yang menargetkan pada peningkatan minat dan budaya baca? Apakah sampai sekarang minat dan budaya masyarakat masih rendah? Sebetulnya tidak sekadar itu, setiap rumah telah memiliki televisi, sudah dipastikan melalui media elektronik ini masyarakat telah terbiasa membaca tagline atau judul-judul berita yang tertera pada layar televisi. Kebijakan pemerintah terkait pemasyarakatan minat dan budaya baca dimaksudkan ke hal yang lebih besar, agar masyarakat benar-benar memusatkan bacaan mereka kepada sumber bacaan yang telah lama dikenal; buku baik cetakan maupun elektronik, lebih tepatnya karya ilmiah.
Hal ini tentu saja merupakan bentuk penyederhanaan gagasan. Artinya, pemasyarakatan minat dan budaya baca merupakan langkah dan upaya pemerintah untuk menghidupkan kembali alam pikiran masyarakat, membongkar kembali kebiasaan lama yang pernah dilakukan saat duduk di bangku sekolah; membaca buku. Dan jika dihubungkan dengan Islam, gerakan pemasyarakatan minat dan budaya baca merupakan upaya untuk menghidupkan wahyu pertama yang diterima oleh Rosulullah: membaca.
Jika sebuah negara dimana membaca telah menjadi budaya warganya sudah dapat dipastikan produk berita palsu atau hoaks akan lebih sedikit daripada berita-berita obyektif. Kita memang gemar membaca namun baru sebatas judul-judul dengan ukuran yang besar saja. Kecuali itu, jika membaca telah menjadi budaya dapat dipastikan tulisan-tulisan sepanjang apa pun akan dibaca terlebih dahulu, apakah isi bacaan sesuai dengan judul besar yang meledak dan meledek atau hanya sebatas murni pergunjingan? Produk hoaks semakin menjamur sudah tentu dihasilkan dari kehidupan yang tunabaca.
Tahun politik selalu menjadi lahan subur bagi manusia-manusia tunakemanusiaan. Mereka akan memanfaatkan kondisi masyarakat tunabaca dengan memproduksi berita-berita jenis hoaks. Mesin-mesin politik akan berubah menjadi gerilyawan medsos, tugas mereka adalah mematai-matai setiap berita, jika sebuah berita mengabarkan tentang saingan mereka apalagi jika berita itu dikategorikan negatif, dengan segera mesin politik yang telah menyewa ratusan “gerilyawan hoaks-er” mengolah dan menggoreng berita yang siap disajikan kepada penghuni jagat maya.
Berita-berita palsu disebar melalui media-media, agar para penghuni jagat maya tertipu mereka membuat berita di dalam website –seolah resmi- kemudian dibagikan. Pada akhirnya para penghuni medsos dan layanan obrolan daring pun tidak ketinggalan ikut berperan menyebarkannya kepada orang lain hanya dengan membaca judul, kemudian jempol menekannya, bagikan, beres.
Sangat menarik sekali apa yang ditulis oleh Buya Maarif dalam kolom Resonansi Republika hari Selasa, 09 Oktober. Beliau menulis hoaks merupakan ancaman bagi sila kedua Pancasila. Meskipun tahun politik secara ideal selalu mengupayakan hadirnya demokratisasi yang sehat, tetapi ketika manusia-manusia yang tidak memegang teguh prinsip sila kedua pancasila ini tampil sebagai monster, mereka akan mencabik-cabik dan memporak-porandakan demokrasi yang telah dibangun.
Wajar Buya Maarif mengingatkan kita, monster pencipta berita palsu sama sekali tidak memerdulikan kerugian yang dirasakan baik oleh negara atau oleh orang secara individual. Kepentingan mereka hanya satu: menghasilkan uang dari kreativitas jahatnya menciptakan hoaks. Hasilnya adalah perpecahan, percekcokan, menihilkan rasa keadilan dan menghilangkan keadaban. Bukankah ketika kita menyudutkan orang lain (misalnya calon presiden baik Jokowi atau Prabowo) atas dasar berita palsu, keadaban kita telah hilang? Bangsa beradab adalah mereka yang akan tetap menghormati siapapun, apalagi kepada orang-orang yang lebih tua usianya dari kita.
Melalui budaya baca diharapkan masyarakat dapat membentengi diri dari berita dan tulisan hoaks sebagaimana yang telah dan sedang terjadi di tahun politik ini. Lebih jauh lagi kita harus memandang berita-berita dan meme lucu di tahun politik ini anggaplah sebagai kelakar dan guyonan semata. Tetapi tentu saja berbeda dengan berita palsu dan hoaks yang sengat diproduksi oleh mesin politik dan monster hoaks-er. Kita sudah pasti dapat membedakan mana guyonan politik dan mana hoaks. Guyonan politik biasanya diproduk oleh masyarakat dan jika dibaca atau dilihat akan membuat kita tersenyum meskipun kita berada di kubu yang sedang diguyonkan.
Di media sosial tersebar guyonan seperti ini: “ Saya doakan semoga Pak Prabowo menjadi capres abadi…” ada juga meme seperti ini, Saat Sandiaga mencium tangan K.H Ma’ruf Amin pada acara penetapan nomor urut, Jokowi berbisik dalam hati: Hmm… Mulia sekali akhlak anak muda ini, semoga terpilih di Pilpres nanti..” Inilah contoh guyonan dan kelakar di tahun politik. Dapat kita bandingkan dengan berita palsu atau hoaks, bisanya cara penyebarannya melalui layanan Whatsapp dengan tulisan cukup panjang dan pada layanan WA kita tertulis: selanjutnya.
Maka sudah tepat demi melihat fenomena yang berkembang di tahun politik ini, pemerintah dari pusat hingga daerah mengeluarkan kebijakan pemasyarakatan minat dan budaya masyarakat. Pemerintah daerah tinggal menyusun strategi dan teknis kegiatan peningkatan dan pemasyarakatan minat dan budaya baca ini. Sebuah kota akan lebih beradab jika diisi oleh masyarakat yang mengandrungi keadaban yang dapat dihasilkan melalui proses membaca.
Pemasyarakatan minat dan budaya baca bukan berarti masyarakat dituntut atau dipaksa agar menjadi masyarakat yang hanya gemar membaca an sich. Membaca dan aktivitas literasi lainnya harus memasyarakat, bukan hanya dikenal term dan istilahnya, tetapi setiap orang diharapkan dapat menyadari bahwa kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan merupakan bagian dari literasi.
Minat dan budaya baca sampai saat ini sebetulnya tidak lagi menjadi masalah serius. Masyarakat pascareformasi merupakan masyarakat yang harus diakui telah melek huruf. Hal terpenting dari kegiatan literasi di era Revolusi Industri 4.0 ini menyadarkan masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan keseharian mereka memang tidak pernah kering dari kegiatan literasi ini.
Pertumbuhan minat dan budaya baca di masyarakat saat ini dapat dikatakan mengalami kemajuan. Pemerintah telah membangun sarana dan prasara dalam upaya peningkatan minat dan budaya baca ini. Perpustakaan dengan jumlah buku yang cukup memadai telah merambah ke pelosok-pelosok. Kota Sukabumi selain memiliki Perpustakaan Umum Daerah juga memiliki beberapa perpustakan sampai tingkat kelurahan. Antusiasme masyarakat terhadap keberadaan “ruang ilmu” selama tiga tahun ini dapat dikatakan cukup menggembirakan.
Kenapa pemerintah selalu menggagas kebijakan-kebijakan yang menargetkan pada peningkatan minat dan budaya baca? Apakah sampai sekarang minat dan budaya masyarakat masih rendah? Sebetulnya tidak sekadar itu, setiap rumah telah memiliki televisi, sudah dipastikan melalui media elektronik ini masyarakat telah terbiasa membaca tagline atau judul-judul berita yang tertera pada layar televisi. Kebijakan pemerintah terkait pemasyarakatan minat dan budaya baca dimaksudkan ke hal yang lebih besar, agar masyarakat benar-benar memusatkan bacaan mereka kepada sumber bacaan yang telah lama dikenal; buku baik cetakan maupun elektronik, lebih tepatnya karya ilmiah.
Hal ini tentu saja merupakan bentuk penyederhanaan gagasan. Artinya, pemasyarakatan minat dan budaya baca merupakan langkah dan upaya pemerintah untuk menghidupkan kembali alam pikiran masyarakat, membongkar kembali kebiasaan lama yang pernah dilakukan saat duduk di bangku sekolah; membaca buku. Dan jika dihubungkan dengan Islam, gerakan pemasyarakatan minat dan budaya baca merupakan upaya untuk menghidupkan wahyu pertama yang diterima oleh Rosulullah: membaca.
Jika sebuah negara dimana membaca telah menjadi budaya warganya sudah dapat dipastikan produk berita palsu atau hoaks akan lebih sedikit daripada berita-berita obyektif. Kita memang gemar membaca namun baru sebatas judul-judul dengan ukuran yang besar saja. Kecuali itu, jika membaca telah menjadi budaya dapat dipastikan tulisan-tulisan sepanjang apa pun akan dibaca terlebih dahulu, apakah isi bacaan sesuai dengan judul besar yang meledak dan meledek atau hanya sebatas murni pergunjingan? Produk hoaks semakin menjamur sudah tentu dihasilkan dari kehidupan yang tunabaca.
Tahun politik selalu menjadi lahan subur bagi manusia-manusia tunakemanusiaan. Mereka akan memanfaatkan kondisi masyarakat tunabaca dengan memproduksi berita-berita jenis hoaks. Mesin-mesin politik akan berubah menjadi gerilyawan medsos, tugas mereka adalah mematai-matai setiap berita, jika sebuah berita mengabarkan tentang saingan mereka apalagi jika berita itu dikategorikan negatif, dengan segera mesin politik yang telah menyewa ratusan “gerilyawan hoaks-er” mengolah dan menggoreng berita yang siap disajikan kepada penghuni jagat maya.
Berita-berita palsu disebar melalui media-media, agar para penghuni jagat maya tertipu mereka membuat berita di dalam website –seolah resmi- kemudian dibagikan. Pada akhirnya para penghuni medsos dan layanan obrolan daring pun tidak ketinggalan ikut berperan menyebarkannya kepada orang lain hanya dengan membaca judul, kemudian jempol menekannya, bagikan, beres.
Sangat menarik sekali apa yang ditulis oleh Buya Maarif dalam kolom Resonansi Republika hari Selasa, 09 Oktober. Beliau menulis hoaks merupakan ancaman bagi sila kedua Pancasila. Meskipun tahun politik secara ideal selalu mengupayakan hadirnya demokratisasi yang sehat, tetapi ketika manusia-manusia yang tidak memegang teguh prinsip sila kedua pancasila ini tampil sebagai monster, mereka akan mencabik-cabik dan memporak-porandakan demokrasi yang telah dibangun.
Wajar Buya Maarif mengingatkan kita, monster pencipta berita palsu sama sekali tidak memerdulikan kerugian yang dirasakan baik oleh negara atau oleh orang secara individual. Kepentingan mereka hanya satu: menghasilkan uang dari kreativitas jahatnya menciptakan hoaks. Hasilnya adalah perpecahan, percekcokan, menihilkan rasa keadilan dan menghilangkan keadaban. Bukankah ketika kita menyudutkan orang lain (misalnya calon presiden baik Jokowi atau Prabowo) atas dasar berita palsu, keadaban kita telah hilang? Bangsa beradab adalah mereka yang akan tetap menghormati siapapun, apalagi kepada orang-orang yang lebih tua usianya dari kita.
Melalui budaya baca diharapkan masyarakat dapat membentengi diri dari berita dan tulisan hoaks sebagaimana yang telah dan sedang terjadi di tahun politik ini. Lebih jauh lagi kita harus memandang berita-berita dan meme lucu di tahun politik ini anggaplah sebagai kelakar dan guyonan semata. Tetapi tentu saja berbeda dengan berita palsu dan hoaks yang sengat diproduksi oleh mesin politik dan monster hoaks-er. Kita sudah pasti dapat membedakan mana guyonan politik dan mana hoaks. Guyonan politik biasanya diproduk oleh masyarakat dan jika dibaca atau dilihat akan membuat kita tersenyum meskipun kita berada di kubu yang sedang diguyonkan.
Di media sosial tersebar guyonan seperti ini: “ Saya doakan semoga Pak Prabowo menjadi capres abadi…” ada juga meme seperti ini, Saat Sandiaga mencium tangan K.H Ma’ruf Amin pada acara penetapan nomor urut, Jokowi berbisik dalam hati: Hmm… Mulia sekali akhlak anak muda ini, semoga terpilih di Pilpres nanti..” Inilah contoh guyonan dan kelakar di tahun politik. Dapat kita bandingkan dengan berita palsu atau hoaks, bisanya cara penyebarannya melalui layanan Whatsapp dengan tulisan cukup panjang dan pada layanan WA kita tertulis: selanjutnya.
Maka sudah tepat demi melihat fenomena yang berkembang di tahun politik ini, pemerintah dari pusat hingga daerah mengeluarkan kebijakan pemasyarakatan minat dan budaya masyarakat. Pemerintah daerah tinggal menyusun strategi dan teknis kegiatan peningkatan dan pemasyarakatan minat dan budaya baca ini. Sebuah kota akan lebih beradab jika diisi oleh masyarakat yang mengandrungi keadaban yang dapat dihasilkan melalui proses membaca.
Posting Komentar untuk "Gerakan Pemasyarakatan Minat dan Budaya Baca di Tahun Politik"