Membaca karya-karya Franz Kafka bagi saya pada awalnya dapat dikatakan cukup berat karena karya-karyanya tampak harus disikapi bukan saja secara serius namun kita diajak untuk berpikir mendalam. Absurditas sebagai sebuah term yang sering digunakan oleh para eksistensialis terus menampakkan dirinya dalam tulisan Kafka baik yang mengalir lembut atau tulisan-tulisan yang meledak-ledak. Kehidupan diakui atau tidak memang selalu beririsan antara apa yang kita anggap sederhana, rumit, logis, takhayul, puncaknya tampak sering absurd.
Cara pandang Kakfa yang menghadirkan absurditas dalam karya-karyanya dipengaruhi oleh alam dan lingkungan di mana dia hidup. Panggung sejarah manusia mencatat dua abad pascaaufklarung, pada abad ke 19 dan awal abad ke 20 merupakan fase benturan berbagai ideologi dan paham. Ideologi baik yang berlandaskan keyakinan atau sains menjamur dengan berbagai varian dan pandangan-pandangan dari pengikutnya. Konflik berkepanjangan antara kelompok agamawan dan para saintis telah melahirkan masyarakat yang terbenturkan hingga berbenturan pandangan, dualitas pikiran lahir; baik-jahat, benar-salah, lurus-sesat.
Dari kondisi seperti itulah absurditas lahir, begitu pandangan Sartre. Tuhan telah menciptakan manusia dengan welas asihnya, tetapi saat manusia telah ajeg berada di alam dunia, mereka mencoba merebut posisi Tuhan dengan meraung-raungkan kalimat ilahiah dengan tanpa welas asih menghantam sesama karena mereka berada di kubu yang berbeda. Artinya, absurditas lahir sebagai akibat dari ketidaksadaran manusia sendiri terhadap posisi dirinya kemudian tidak menyadari eksistensi-eksistensi lain yang berada di sekitarnya.
Dalam perpolitikan kontemporer kita pun demikian. Satu kubu dengan kubu lainnya sudah tidak lagi memandang kubu yang berseberangan sebagai politisi. Kubu yang berseberangan telah diposisikan sebagai lawan yang harus benar-benar diserang dan diperangi, dipereteli martabat kemanusiannya hingga habis. Manusia telah menjadi para gerilyawan yang mengendap-endap dan mengawasi setiap pemberitaan kubu lawan. Saat pemberitaan yang dipandang akan melemahkan kubu lain selanjutnya dikomentari dengan umpatan dan serapah. Kita tidak lagi asing dengan ungkapan "dungu", IQ rendah, cebong, kampret, dan kalimat sarkastik lainnya.
Likuifaksi –sebagaimana ungkatan Yudi Latif- tidak hanya sebatas pada ungkapan lugas di mana daerah-daerah yang terkena bencana gempa seperti Palu terseret oleh tanah padat yang secara tiba-tiba menjadi lumpur cair. Likuifaksi telah menenggelamkan tatanan negara ini dalam arti denotatif. Padahal jika dipikir secara mendalam siapapun yang berada di kubu bersebarangan dalam ingar-bingar kontestasi Pilpres harus dipandang sebagai politisi, mereka sama dengan kita manusia biasa bukan sebagai binatang yang harus dicaci hingga diakhiri kehidupannya. Mereka merupakan para politisi yang bergelut dengan kepentingan dan pada akhirnya bisa saja menjadi kawan politik.
Seorang Dokter Desa dalam karya Kafka dihadirkan untuk mengingatkan kita terhadap masalah sederhana betapa sering kita tidak menyadari kehadiran kita di dunia dan menyadari seutuhnya tentang hal-hal yang ada di sekeliling kita. Bunga mawar yang mekar di pagi hari tentu akan kita sadari kehadirannya kemudian kita memiliki anggapan bahwa bunga tersebut mekar di pagi hari untuk menyambut pagi agar ceria dan berbunga. Tentu saja tidak demikian, bagi para penganut eksistensialis, kesadaran seperti itu tidak tepat karena bunga mawar tumbuh dengan sendirinya sama sekali tidak hadir untuk menyambut pagi kita, dia tumbuh dan mekar begitu saja.
Bagaimana seorang dokter desa menyia-nyiakan hidupnya demi menyelamatkan orang lain sementara dirinya sendiri tidak terselamatkan secara sosial-kultural. Rosa, seorang perempuan yang tinggal di dalam rumah dokter itu sama sekali tidak digubris sebagai seorang perempuan yang seharusnya menjadi pendamping hidup sang dokter. Seorang pasien dari desa sebelah berusaha disembuhkan tetapi karena alasan penyakit tersebut sudah akut pada akhirnya tidak tertolong juga. Absurditas dalam hidup jika tidak disikapi oleh kita secara bijak akan menghilangkan kebermaknaan kita dalam hidup. Banyak sekali, karya-karya para penganut eksistensialis yang menampilkan cerita tragis di setiap epilog kehidupannya.
Kesulitan terbesar dalam hidup adalah lebih banyak belajar ke dalam diri sendiri daripada banyak belajar ke luar diri. Sejak bayi karena kita hidup sebagai manusia eksistensialis selain selalu ingin diakui keberadaannya juga acapkali mengambil pelajaran dari luar diri kita. Pikiran kita sering terpengaruh oleh apa yang berada di luar diri sendiri, belajar ke luar, menghardik ke luar, menyalahkan pu ke luar. Sepi sekali hiruk- pikuk dan riuh gemuruh itu diakui dan disisipkan ke dalam diri kita. Harus disadari juga : anugerah paling tinggi yang telah kita terima adalah kita telah dilahirkan sebagai manusia. Karena dengan demikian, kita banyak memiliki waktu untuk terus memupuk kesadaran kita.
Sulit bagi kita untuk menyembuhkan orang lain seperti seorang dokter desa dalam cerita Kafka kecuali kita berusaha menyembuhkan diri kita sendiri.
Kang Warsa
Guru MTs Rijan, PGRI Kota Sukabumi
Posting Komentar untuk "Seorang Dokter Desa"