Tritangtu
dalam Budaya Sunda merupakan sebuah konklusi-meditatif yang telah dicetuskan
oleh para leluhur atau karuhun Sunda. Totalitas dalam kehidupan merupakan ciri
utama konsep ini. Pembagian masyarakat menjadi tiga kelompok dilakukan bukan
untuk membedakan melainkan untuk meneguhkan posisi dan jati diri setiap
individu. Resi, Rama/Sepuh, dan Ratu menjadi tiga lembaga , berperan dalam mensejahterakan
masyarakat; Ngaping, Ngajaring,
Ngaheuyeuk. Ngasah, Ngasuh, dan Ngaasih.
Pola
budaya seperti ini lahir sebagai pengejawantahan kebersamaan dan persamaan
manusia dengan kosmos (alam raya). Manusia Sunda bisa dikatakan sebagai
kelompok tradisional, dikatakan seperti itu memang wajar karena secara
historis, akar kebudayaan dan peradaban dunia ini berasal dari satu sumber dan
ajaran, sebagai software di alam
semesta ini. Software atau perangkat
lunak akan dikatakan sebagai perangkat lunak terpercaya ketika ada
kesinambungan antara hardware (Kosmos) dengan software-nya (Mikro-kosmos). Jika terjadi benturan atau konflik,
maka sudah bisa dipastikan keharmonian semesta akan berubah menjadi anomik.
Durkheim
menyebutkan dalam teori ‘Bunuh Diri” atau Suicide,
penyebab utama lahirnya masyarakat anomi adalah hilangnya atau berubahnya
nilai-nilai harmoni antara diri manusia dengan semesta dan lingungan sekitar.
Bisa dipastikan, masyarakat anomi atau “masyarakat menyimpang” terlahir karena
paksaaan yang berada di luar dirinya ketika manusia ingin menjadi dirinya
sendiri. Ciri utama masyarakat anomi adalah adanya kesenjangan antara kapasitas
dirinya dengan paksaan yang ada di luar dirinya sendiri.
Masyarakat
modern dipersatukan oleh sebuah solidaritas karena dipaksa oleh apa yang ada di
luar kapasitas dirinya. Misalkan, lahirnya kelompok-kelompok atau geng-geng
dalam kehidupan tidak ditentukan secara alamiah bahwa manusia menyukai
kelompok-kelompok tersebut melainkan dipaksa untuk mengikuti dan menjadi bagian
dari mereka. Maka, jika paksaan dari luar ini lebih kuat dari moralitas
individu, cara sederhana akan dilakukan, bunuh diri atau membangun klandestin
yang siap memerangi bahkan menghancurkan diri sendiri sebagai bentuk protes
terhadap kelompok lain.
Pemikiran
Durkheim berbanding lurus dengan Marx yang menyebutkan, sejarah dan kehidupan
manusia dibentuk oleh pertentangan kelas. Diferensiasi dan stratifikasi sosial
yang terjadi di masyarakat secara alamiah akan terus bertolak-belakang satu
sama lain, lahir in-harmony, chaos, keonaran (meminjam istilah yang
sedang ngtrend akhir-akhir ini), perang, pertikaian, dan puncaknya adalah Survival for the fittest sebagaimana dalam
teori Darwin, di mana dalam teori ini disebutkan hanya kelompok unggul yang
akan tetap bertahan. Secara umum, tiga pemikiran tokoh-tokoh tersebut; Durkheim
dalam Division of Labour, Marx dalam Social Conflict, dan Darwin dalam Struggle for Life mengukuhkan bahwa
kehidupan lahir karena adanya pertentangan. Tidak salah, kehidupan modern akan
terus dihinggapi oleh landasan berpijak seperti ini.
Sementara
pandangan utama dalam konsep tritangtu adalah lahirnya keharmonian karena pada
dasarnya manusia berasal dari satu sumber yang sama. Adanya totalitas dan
kesinambungan manusia yang dengan yang lain, hilangnya diferensiasi berdasarkan
subyektivitas diri, dan lahirnya kemanunggalan kehidupan dalam masyarakat.
Kesadaran bahwa manusia tidak berbeda dengan semesta mengharuskan manusia pun
menghormati alam dan manusia lainnya. Rakean Dharmasiksa, dalam Naskah Amanat
Galunggung menyebutkan, pentingnya manusia Sunda menghargai nilai-nilai
historis atau masa lalu sebagai pijakan untuk melangkah saat ini. Hana nguni
hana mangké, ada dahulu dan ada sekarang. Jika dielaborasi lebih jauh, masa
kini tidak terlepas dari masa lalu.
Akar
historis semesta dan kehidupan ini berjalan secara harmoni sesuai dengan
kehendak Sang Maha Pencipta. Maka, dalam naskah Amanat Galunggung tersebut,
Dharmasiksa begitu kuat menyebutkan bagaimana semestinya manusia hidup dalam
kehidupan ini agar tetap selaras dan harmoni. Konflik dan peperangan merupakan
hal tabu dalam masyarakat yang memegang teguh tritangtu sebab kepastian yang
lahir dalam kehidupan masyarakat seperti itu adalah kesejajaran yang
dipersatukan oleh fakta subyektif bahwa manusia membutuhkan orang lain bukan
dengan cara paksaan namun memang sudah alamiah.
Struggle for life,
perjuangan dalam tritangtu tidak hanya berhenti pada hal homogen dan tunggal.
Tidak sekadar melampiaskan hasrat penguasaan atau dominasi, sebab dominasi
terhadap apa pun akan menghilangkan keharmonian dan kesejajaran antara
-manusia-alam. Tritangtu , tiga adegan dalam hidup ini menyebar secara sporadis
pada beberapa milyar tahun lalu. Proses turbulensi sosial yang terjadi selama
kurun waktu tersebut mengakibatkan konsep atau software orisinal dari tritangtu berubah, berganti nama hingga
membentuk menjadi ajaran dalam bingkai teologis; trinitas Mesir Kuno (Ra,
Osiris, Isis), trinitas Arab Kuno (Latta, Uzza, Manaat), trinitas Hebrew
(Yahweh, Jahbulon, Elohim), trimurti Hindu (Brahma, Wisnu, Shiwa).
Hasil
obrolan saya dengan beberapa teman, akhir-akhir ini memang sungguh sulit untuk
mengupas apalagi menentukan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Sukabumi jika
merujuk kepada konsep tritangtu dalam kasundaan. Permasalahan yang tampak di
permukaan, tata ruang dan pemungsian lahan di dalam kehidupan modern sudah
tidak lagi memerdulikan aturan yang dikehendaki oleh alam hingga skala kecil
sekalipun. Hal tersebut terjadi sebagai akibat bukan tidak tahu menahunya
masyarakat Sukabumi terhadap konsep tritangtu kecuali semakin cairnya
masyarakat dalam memanfaatkan lahan dan tanah yang ada di sekitarnya.
Bagaimanapun
juga, jika cara pandang kita difokuskan secara utuh, pada dasarnya perencanaan
baik tata ruang, pemungsian lahan-lahan, dan pemanfaatan kewilayahan tetap
dilakukan oleh manusia di zaman sekarang. Saat ini, pembagian pemanfaatan lahan
sesuai dengan fungsinya masih tetap dijaga, areal pemakaman biasanya
ditempatkan di pinggir perkampungan, tempat ibadah ditempatkan di tengah
perkampunga, dan pemukiman pendidik ditempatkan mengikuti pola jalan.
Yang
belum kita lakukan adalah perencanaan dan permenungan untuk memahami di mana
seharusnya penempatan tempat ibadah, pusat pendidikan, dan pusat pemerintahan. Konsep
seperti ini sebetulnya jauh-jauh hari telah dipraktikkan oleh Amerika Serikat
saat awal berdirinya negara ini. Tiga komponen tempat benar-benar dibangun
berdasarkan pola yang telah disepakati oleh para leluhur mereka. Artinya, perlu
dan penting sekali adanya semacam “gempungan” setiap unsur dalam kehidupan:
pemimpin, pemuka agama, dan akademisi untuk menghasilkan consensus terhadap
sebuah tata ruang dan wilayah agar mengharsilkan satu harmoni antara manusia
dan alam.
Posting Komentar untuk "Sukabumi dan Tritangtu (2)"