Dua tahun lalu, di bulan Desember 2017 saya diundang oleh Dewan Kesenian Kota Sukabumi untuk mengikuti acara yang sangat bagus: "Ngaraga Budaya Sunda". Dalam acara dua tahun lalu itu, Panitia memokuskan pembahasan pada persoalan dan permasalahan kontemporer Budaya Sunda. Format dan metodologi kegiatan acara tersebut dilakukan melalui sebuah "wangkongan" atau dialog antara pemateri dengan peserta yang hadir dari berbagai latar belakang dan komunitas yang tersebar di Sukabumi dan Jawa Barat.
Pada bulan Oktober tahun 2018, saya kembali diundang pada acara yang sama dengan judul berbeda, Konservasi Seni dan Budaya. Secara substansial antara dua tahun lalu dengan sekarang sebetulnya merupakan hal yang sama, pada intinya kegiatan ini diselenggarakan sebagai pengingat kepada para pelaku seni dan pemerhati bahkan pencipta budaya pentingnya pemerintah dan masyarakat di Tatar Sunda melakukan konservasi atau ngamumulé Seni dan Budaya Sunda.
Hal ini tidak lepas dari persoalan dan permasalahan tradisi dan budaya di Tatar Sunda di era Revolusi Industri 4.0. Kita telah banyak membaca dan memerhatikan baik melalui media cetak atau elektronik beberapa pandangan dari para pakar budaya sebuah kekhawatiran akut adanya benturan budaya yang dapat saja mengikis secara perlahan kekayaan budaya asli sebuah bangsa. Pengikisan ini semakin terlihat ketika kita menyaksikan para generasi 2000-an atau generasi milenial sudah banyak yang tidak mengenal apalagi mencintai budaya dan tradisi yang pernah berkembang beberapa tahun lalu. Salah satu contoh: beberapa jenis permainan anak-anak sudah jarang dilakukan oleh anak-anak era milenial.
Padahal, budaya tidak dapat dipisahkan dengan manusia itu sendiri, karena manusialah yang telah melahirkan dan sebagai pemilik budaya itu. Beberapa unsur kebudayaan sudah begitu jelas, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ahli, melalui pendekatan sosiologis dan antropologis. Budaya merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Sudah menjadi kewajiban manusia, karena dilahirkan oleh dirinya maka konservasi atau pemeliharaan dan perlindungan terhadap budaya harus benar-benar dilakukan secara benar. Sudah tentu, konservasi seni dan Budaya Sunda tidak sekadar dilakukan melalui kegiatan yang bersifat seremonial saja. Seni dan Budaya Sunda harus benar-benar kembali membumi dengan bahasa sederhana harus dikembalikan ke jati dirinya.
Budaya Sunda merupakan sebuah hasil dari proses "kasundaan" dalam segala bidang dan aspek kehidupan, dari keyakinan, bahasa, sistem sosial, kesenian, dan penciptaan alat-alat atau barang yang dihasilkan untuk menunjang kehidupan. Jika melihat hal ini, sebetulnya budaya Sunda memang telah mengalir di dalam diri manusia Sunda. Anomali yang terjadi yaitu orang atau manusia Sunda sendiri banyak yang bertanya: kamarana atuh urang Sunda (Pada kemana orang Sunda)? Tentu saja ini merupakan satu bentuk rasa khawatir dalam diri orang Sunda, takut jati diri Sunda hilang dalam diri manusia Sunda.
Generasi tahun 90-2000an merupakan generasi yang benar-benar berasakan secara langsung gegar dan benturan budaya tersebut. Jati kasilih ku Junti sebagai pribahasa orang terdahulu merupakan peringatan semakin bergeraknya budaya asing masuk dengan cara infiltrasi hingga intervensi ke ranah Budaya Sunda. Faktanya memang demikian, kebudayaan yang bersifat cair sementara kehidupan manusia itu sendiri selalu dinamis dan terus menuntut perubahan. Hal yang semestinya tidak pernah berubah dalam kehidupan masyarakat Sunda adalah jati diri-nya. Saat jati diri hilang inilah, suasana bathin yang tercipta di masyarakat Sunda adalah kesenjangan antara prilaku (adab-adaban) sebagai bentuk kebudayaan dengan hati manusia Sunda. Sudah pasti, budaya yang lahir, tradisi yang lahir, dan kebiasaan yang lahir merupakan hal palsu yang tidak sesuai dengan jati diri manusia Sunda meskipun dipoles dengan apa saja bahkan sekalipun dibalut oleh dalil agama. Tetap hambar.
Hal ideal yang ingin dicapai oleh kegiatan Konservasi Seni dan Budaya bukan apa-apa. Nilai yang ada di dalam masyarakat Sunda harus hadir dan terejawantah dalam setiap hasil kreasi manusia Sunda. Kang Agung dalam paparan selama beberapa menit menekankan betapa pentingnya manusia Sunda mengenal sampai harus dapat menciptakan barang-barang sebagai salah satu bentuk kebudayaan fisik dengan bahan baku yang ada di sekitar kita. Penggunaan bambu sebagai bahan baku 'pakakas' dan alat-alat pendukung kehidupan bukan hal aneh dalam tradisi manusia Sunda. Sayangnya, saat ini tradisi bambuisasi telah mulai jarang dilakukan. Dengan kata lain, budaya yang dihasilkan oleh manusia Sunda merupakan budaya yang selalu bersentuhan dan berisisan dengan alam ini. Budaya yang telah diwariskan oleh para leluhur Sunda adalah menjaga dan merawat alam.
Ada pandangan aneh dicetuskan oleh orang Sunda sendiri terhadap ajaran yang menekankan pemeliharaan alam, kelompok ini sering mengaitkan tradisi atau budaya dengan agama yang mereka anut kemudian didasari oleh asumsi dan dalil-dalil yang lemah tetapi mereka mengatasnamakan bahwa dalil itu mereka ambil dari kitab suci. Budaya warisan karuhun Sunda seperti mupusti alam ditekan sedemikian rupa agar berada ditempat yang mereka sebut sebagai budaya syirik. Pandangan seperti ini sudah tentu sangat berbahaya karena selain telah membawa dalil-dalil sakral ke ranah keduniawian mereka juga telah menyejajarkan ayat Tuhan dengan budaya. Padahal agama merupakan rahmat bagi alam semesta. Membumikan kata rahmah atau kasih sayang ini sudah tentu harus melalui kehidupan yang berkebudayaan.
Bersamaan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda, secara pribadi saya menekankan ikhtiar manusia Sunda dalam melestarikan dan merawat budayanya sudah tentu harus dititiktekankan pada pesan penting dalam Sumpah Pemuda: penggunaan bahasa, tidak hanya bahasa persatuan juga bahasa ibu atau bagasa daerah. Pada peringatan Hari Bahasa Ibu beberapa bulan lalu, banyak yang merasa khawatir kepedulian manusia Sunda terhadap penggunaan bahasa daerah (Sunda) atau bahasa ibu semakin menipis. Jika dibiarkan tanpa ada strategi dari pemerintah dan orang-orang yang memerdulikan bahasa daerah lambat laun bahasa Sunda akan punah. Kekhawatiran ini memang terlalu berlebihan sebab bahasa dari generasi ke generasi bukan punah malah semakin berkembang. Artinya kekhawatiran itu tampak terhadap semakin berkurangnya penggunaan undak-usuk yang benar sesuai kaidah bahasa Sunda dalam percakapan sehari-hari.
Kehidupan dan dinamika sosial yang menyertainya dipengaruhi oleh asimilasi, akulturasi, difusi, infiltrasi, akomodasi, hingga intervensi dengan budaya-budaya lain. Sebagai contoh; akomodasi dalam bidang kebudayaan, orang Sunda memiliki falsafah hidup: miindung ka waktu, mibapa ka jaman, pindah cai pindah tampian. Artinya, manusia Sunda harus dapat beradaptasi dan menempatkan diri secara proporsional (baca: moderat). Hal tersebut tidak berarti manusia Sunda harus memiliki mental mimikri atau munafik, kesadaran ini harus terbentuk sebab budaya dan tradisi berada di ranah "luar" sementara saripati atau intisarinya berada di ranah jati diri Sunda. Mungkin, inilah maksud utama diselenggarakannya kegiatan Konservasi Seni dan Budaya di Kota Sukabumi yaitu budaya atau segala hasil produk manusia Sunda harus mengendap dan tersedimentasi dalam kehidupan manusia Sunda.
Konservasi Seni dan Budaya berusaha menggali kembali berbagai anasir budaya di Tatar Sunda tidak bisa lepas dengan keberadaan alam dan lingkungan yang telah dijaga dan dilestarikan oleh para pendahulu kita. Tidak akan ada lisung, halu, hawu, leuit, berbagai upacara adat, pakakas, aksara, dan cara hidup jika alam dan lingkungan ini tidak dijaga dan dilestarikan oleh para leluhur Sunda. Adanya lisung dan halu menadakan ada sawah, padi, dan kebun.
Posting Komentar untuk "Konservasi Seni dan Budaya Kota Sukabumi"