Saat
menulis judul di atas –terus terang saja – saya sedang mengalami kegelisahan. Banyak
para ahli menyebutkan, kegelisahan yang tidak disebabkan oleh rasa kekurangan
materi merupakan pertanda meningkatnya spiritualitas. Masa iya? Yang jelas, di
era serba mekanik ini rata-rata manusia mengidap kegelisahan, kadang tidak
pernah tahu-menahu apa penyebab kegelisahan tersebut, meskipun rata-rata hampir
senada, kegelisahan disebabkan oleh ketidakselarasan antara sikap ideal yang
ada di dalam diri dengan realitas yang terjadi. Orang lain akan menyebut:
kegelisahan itu disebabkan oleh keterikatan dan kemelekatan diri kita dengan
segala susuatu. Lantas muncul pertanyaan lain, apakah kita harus melepaskan
keterikatan diri kita dengan apa yang ada di luar diri kita?
Di
samping hal di atas, ada orang yang pernah mengatakan kepada saya, kegelisahan
sebagai sebuah pertanda meningkatnya spiritualitas dalam diri itu karena kita
sebagai manusia terus-terusan larut dalam pencarian, seperti anak remaja yang
selalu menjadikan alasan lahirnya kegelisahan dengan kalimat: saya sedang
berada dalam proses pencarian. Tapi tunggu dulu, apa sebetulnya yang kita –sebagai
manusia si Homo Dualismum itu- cari itu? Kita sedang mencari apa? Setelah apa
yang kita cari, apakah diri kita merasa terpuaskan dengan hasil pencarian? Atau
kita akan kembali kepada titik netral, gelisah kembali, lalu membuat alasan
lagi: kita sedang dalam proses pencarian? Jika kondisinya demikian, Albert
Camus dengan absurdisme-nya patut saya acungi jempol.
Kegelisahan
yang dialami oleh umat manusia di era modern merupakan sebuah keniscayaan. Ia lahir
dari gemuruh dilemma eksistensial yang dihadapi oleh manusia itu sendiri. Dualism
dalam kehidupan itu telah berlangsung –bisa jadi- sejak manusia menginjakkan
kakinya di Bumi. Kita tentu memiliki pikiran, manusia-manusia purba atau
pra-sejarah apakah mengalami dilema seperti kita saat ini? Dari catatan sejarah
kita dapat menarik sebuah kesimpulan mereka memiliki perasaan yang sama dengan
kita, manusia-manusia prasejarah itu merasakan kegelisahan saat mereka
benar-benar terikat oleh alam, sementara alam itu sendiri merupakan sebuah
ancaman besar bagi eksistensi dirinya, karena alam selain menyediakan makanan
yang berlimpah ruah, juga menyimpan kebuasaan yang kapan saja dapat memangsa
nenek moyang kita.
Dilema Eksistensial Manusia Modern
Sebetulnya,
dilema eksistensial manusia bukan bentuk keterpecahan manusia. Pandangan para
filsuf telah banyak menyebutkan berbagai dualitas dan dilema yang dihadapi oleh
manusi. Erich Fromm dalam bukunya Escape
From Freedom menyebutkan beberapa dilema eksistensial yang dihadapi oleh
manusia: Pertama, sebagai manusia kita selaku mengaku diri sebagai manusia sementara
pada sisi lain kita tidak dapat menghindar dari sifat binatang. Sebutan-sebutan
kepada manusia telah dikemukakan oleh para ahli antara lain: homo sapiens, homo
ludens, homo deus, artinya kemelekatan diri manusia dengan binatang itu memang
ada. Ulama-ulama Arab terutama para ahli
logika menyebutnya: al-insaanu
al-hayawaan an-naatiq, manusia adalah hewan yang berpikir. Tentu saja
sebagai manusia kita akan membenci orang lain yang lebih menampakkan nafsu
hewaninya di saat waktu yang sama dalam diri kita tersimpan berkas-berkas
kebinatangan.
Banyak
manusia yang memanjatkan do’a seperti ini, allohumma thowwil umuuronaa, artinya
ya Tuhan, panjangkanlah umurku. Memang benar, siapa yang ingin meninggal lebih
cepat? Dibangunnya berbagai klinik, puskesmas, rumah sakit, penuh sesaknya
tempat-tempat dokter praktik oleh pengunjung, bahkan manusia tetap makan dan
minum dengan tujuan agar kita sebagai manusia tetap bertahan hidup. Tetapi tetap
saja, pada akhirnya manusia akan tetap meninggal juga. Hidup dan mati merupakan
dilema dan merupakan problem aseli manusia. Ada sebuah hadits yang sering kita
dengar: berusahalah untuk duniamu seolah kamu akan hidup selama-lamanya, dan
beribadahlah untuk akhiratmu seolah kamu akan meninggal besok. Dilema hidup dan
mati ini terus membersamai kehidupan manusia. Manusia secara telaten berusaha
menghindari kematian, ingin tetap hidup, ingin immortal, tetapi mortalitas
tetap menghampiri manusia, bukan hanya besok atau lusa, juga dapat saja
seketika.
Era
pencerahan, renaissance di Eropa abad ke-18 atau di dunia Islam pada abad
pertengahan telah menjadikan manusia sebagai mahluk yang berada di piramida
puncak entah secara kognitif atau pada piramida kehidupan lainnya. Penekanan terhadap
manusia harus tampil sebagai individu telah mencuat dalam bingkai
anthroposentris, kajian terhadap Tuhan (theos) dialihkan kepada manusia itu
sendiri atau anthropos. Dulu, manusia mengkaji manusia melalui bingkai
ketuhanan, tetapi sekarang manusia mengkaji dan menalar tuhan sesuai versi
kemanusiaan, dari sudut pandang manusia sebagai pribadi. Apakah benar manusia
akan benar-benar terbebas dan mendapatkan kemerdekaan hakiki setelah dia
menjadi pribadi? Tidak sepenuhnya benar, pada kondisi ini manusia menghadapi
dilema bahwa dirinya merupakan manusia yang cenderung berkumpul, sebagai mahluk
sosial. Bahkan jika seseorang benar-benar merasa telah menjadi seorang individu
dia akan menemukan dirinya pada kondisi terasing, kesepian, dan benar-benar
menyendiri.
Kebebasan
atau liberalisasi yang selama ini digaungkan oleh manusia sebagai tujuan
ternyata merupakan dilema bagi dirinya sendiri. Sebaliknya, jika manusia telah
mampu melampaui individu dan menjelma sebagai mahluk sosial sejati, lambat laun
manusia akan kehilangan identitas dirinya, terjebak dalam sebuah kerumunan sama
artinya denga kehilangan kemerdekaan. Saat kita berada di dalam sebuah
kerumunan orang lain tidak akan memandang dan menilai kita sebagai individu,
kita akan dinilai oleh orang lain sebagai kelompok A, komplotan B, dan faksi C.
Posting Komentar untuk "Homo Dualismum"