Hampir dalam setiap kajian
baik keagamaan atau hal yang berbau filsafat sering dipaparkan lahirnya manusia-manusia
besar dihasilkan dari sebuah proses pertapaan, kontemplasi, meditasi, atau
dzikir. Dalam khazanah keislaman –misalnya- dikisahkan selama lima belas tahun
Rosulullah melakukan tahannuts dan uzlah menghindari keramaian dan
kerumunan ke sebuah goa bernama Hira. Rahasia besar dan keluasan semesta
–setelah dikaji oleh para cerdik pandai- ditemukan bukan dalam keriuhan dan
keramaian manusia. Saat menjadi diri sendiri dan individu lah pengetahuan tentang kesemestaan
merasuki seorang manusia.
Bukan hanya para nabi dan rosul, delapan abad
setelah Nabi Muhammad SAW menerima pencerahan dan wahyu, Rene Descartes
(1596-1659) melakukan hal yang sama, uzlah dari negara asalnya ke Belanda, ia
menyepi dari kehirukpikukan transisi pemikiran dari kegelapan ke era
rasionalisme. Filsuf dengan ungkapan cogito ergo
sum itu menuliskan , ‘ I desire ti live in peace and continue the life
I have begun under the motto : to live well you must live unseen’,
secara sederhana motto ini mengajak kepada kita: untuk menemukan kehidupan yang
baik, hiduplah tanpa dilihat oleh orang lain. Dalam tradisi Sunda kita
mengenalnya: nyumput buni dinu caang, bersembunyi di tempat terang.
Pikiran kita sudah pasti akan melakukan penyangkalan terhadap
ajakan kebaikan dan saran seperti yang dikemukakan oleh Descartes demi alasan:
manusia merupakan mahluk individu sekaligus mahluk sosial. Dalam diri manusia
telah mengendap tekanan dan hasrat untuk tetap eksis dan diakui keberadaannya
oleh orang lain. Descartes dan beberapa cerdik pandai lainnya tidak mengajak
manusia untuk menghempaskan eksistensi manusia sebagai mahluk sosial, tetapi
memberikan saran saja, sesekali dalam episode kehidupannya manusia harus
berusaha menurunkan ego dan keakuannya. Jelas sekali, sangat kontradiktif
dengan hasrat popularitas yang saat ini dianut secara luas oleh manusia modern,
hasrat yang sebetulnya sangat alamiah dan selalu menjadi dorongan manusia di
setiap milieu dan zaman. Bukankah saat ini kita saat ini dengan sangat mudah mengumbar keakukan, mengejar
popularitas, dan ketenaran? Dan bahkan saat diri kita mencoba untuk menjadi
manusia uzlah lantas dalam diri kita terbersit keinginan agar di kemudian hari
menjadi masyhur dan terkenal pun sangat kontradiktif dengan motto ‘unseen’ di
atas.
Dengan demikian, apakah kelahiran manusia-manusia besar itu memang
mengalir mengikuti arus sejarah atau memang dilahirkan atas kehendak manusia
itu sendiri? Jika hidup memang pilihan dan terdiri dari banyak pilihan, kenapa
sebutan dan gelar sebagai manusia besar itu justru diraih oleh orang-orang
tertentu yang kadang sama sekali tidak memikirkan bahwa diri mereka pada saatnya
nanti akan menjadi manusia-manusia besar? Kenapa tidak jatuh kepada diri kita
yang memilih dan ingin menjadi Si Besar? Apakah benar hidup ini memang harus
mengalir begitu saja dan kita tidak memiliki kehendak bebas atas apa yang
terjadi dengan diri kita? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu telah menjadi
perdebatan hingga saat ini. Para ahli bijak telah mencoba merumuskan jawaban, berbagai macam
pendekatan, tetapi sama sekali bukan jawaban yang baku dan tepat terhadap pertanyaan-pertanyaan
itu.
Paling tidak, di dalam kehidupan yang serba kompleks dan heterogen
ini, manusia tetap dituntut untuk menggunakan akal secara maksimal. Menjadi
manusia kamar (bertahannuts dan menyendiri), melakukan dialog batin,
merenung dapat dilakukan pada saat-saat tertentu. Sebab bagaimana juga kita
tidak dapat mungkin mengelak bahwa diri ketika merupakan manusia sebagai
manusia (homo sapiens) tetapi pada saat yang bersamaan diri kita
merupakan manusia yang bertautan atau terkoneksi dengan yang ilahi sebagai homo
deus.
Banyak kemusykilan di dunia ini dilahirkan dan dihasilkan dari
proses uzlah dan permenungan dan rata-rata merupakan pemaknaan terhadap hal-hal
sederhana yang sering kita sepelekan dalam keseharian. Newton mencetuskan gaya
gravitasi dan memformulasikannya ke dalam rumus-rumus fisika hanya karena
melihat buah apel jatuh dari pohonnya. Bukankah sebelum Newton mencetuskan gaya
gravitasi benda-benda baik berukuran kecil atau besar selalu jatuh ke bumi? Dan
kenapa Archimides mengeluarkan hukumnya saat dia mandi ke dalam bak? Hal
sederhana bagi masyarakat umum melahirkan hal besar jika ditafakuri dan
ditadzakuri oleh para manusia uzlah.
Cerita pewayangan sering memuat kisah manusia-manusia bertopeng
atau menggunakan topeng orang lain bukan untuk menyembunyikan kesalahannya
melainkan agar keikhlasan dan keilmuannya tidak diketahui oleh orang lain.
Dalam terminologi Descartes disebutkan: “ Masked, I advance!” Sebuah
hadits sangat popular mengajarkan manusia agar berbuat baik secara
sembunyi-sembunyi: “ Saat tangan kanan memberi, jangan sampai tangan kiri
mengetahuinya”. Memang sangat sulit bagi manusia modern yang serba mudah
menampilkan hasil jepretan kebaikan melalui media sosial mengambil peran
sebagai manusia uzlah atau manusia kamar. Padahal, masih menurut Descartes, “
To know what people really think, pay regard to what they do, rather than what
they say”. Untuk mengetahui apa yang dipikirkan oleh sebuah masyarakat
fokuslah terhadap apa yang mereka kerjakan, bukan terhadap apa yang mereka
bicarakan. Tentu saja, termasuk dalam menilai diri saya.
Posting Komentar untuk "Manusia Uzlah"