Kegiatan literasi yang melingkupi berbagai segmen; membaca, kreativitas, digital, dan informasi telah menjadi program unggulan di negara ini. Secara harafiah, literasi yaitu kemampuan manusia dalam mencerna, memahami, dan mengolah informasi merupakan satu keniscayaan yang harus dimiliki dan mengendap dalam diri manusia di era keterbukaan. Literasi juga selalu berhubungan dengan minat baca dan cara manusia menyampaikan kembali informasi –salah satunya- secara verbal kepada halayak. Dengan kata lain –secara spesifik- kegiatan literasi berhubungan dengan komunikasi dua arah antara seseorang dengan orang lainnya.
Di negara-negara ketiga, kegiatan literasi dapat dikatakan sebagai hal baru meskipun jika saja kita berani melakukan spekulasi bahwa salah satu kegiatan literasi secara verbal dan visual telah menjadi akar budaya bangsa kita. Sebagai contoh: candi-candi yang ada di negara ini tidak mungkin berdiri begitu saja, dihiasi oleh ornamen dan relief jika nenek moyang kita belum melakukan kegiatan literasi. Melalui relief pada candi dan prasasti para leluhur kita telah mengaajarkan metode penyimpanan data, visualiasi peristiwa, dan informasi agar ditafsirkan oleh generasi sesudahnya. Dapat dikatakan, literasi –sebenarnya- telah membumi dan membudaya di negeri ini.
Literasi verbal yang telah lama berkembang di negara ini di antaranya; penyampaian cerita rakyat (folklore), ngadongéng, dan pemaparan kisah dari satu generasi ke generasi lain. Kemampuan memaparkan cerita dan mengolah informasi dari cerita yang dikemas tersebut berbanding lurus dengan penguasaan dan kepemilikan kata-kata, kemahiran dalam pragmatik, serta kemampuan grammar (undak-usuk basa, dalam terma Sunda). Kemampuan seperti ini hanya dimiliki oleh bangsa-bangsa besar, berperadaban, dan telah mengembangkan budaya-budaya pasca pra-sejarah.
Pajar peradaban manusia selalu lahir dari wilayah-wilayah yang mengembangkan kegiatan literasi. Di Perancis, pada tahun 1940 Ravidat menemukan sebuah gua, di dalamnya terdapat lukisan berbagai macam hewan buruan hasil coretan tangan manusia yang diperkirakan berusia sekitar 17.000 tahun. Melalui lukisan di dalam gua Lascaux manusia di jaman sekarang telah menafsirkan betapa pada ribuah tahun lalu nenek moyang manusia telah melakukan kegiatan literasi sederhana dengan melukiskan berbagai gambar binatang pada dinding-dinding gua agar informasi tersebut kelak diterjemahkan oleh generasi yang hidup setelahnya. Sejak penemuan itu manusia mulai mengalihkan orientasi cara pandang dari memperdebatkan persoalan-persoalan langit (agama) kepada masalah-masalah yang langsung dialami oleh manusia.
Ada rasa jenuh dan bosan dalam kehidupan manusia setelah selama hampir 7 abad selama era kegelapan manusia berjibaku dan saling hantam hanya karena cara pandang yang tidak sejalan terhadap langit. Perubahan cara pandang dan pemikiran manusia tersebut melahirkan anthroposentris, manusia menjadi pusat perhatian, penelitian, dan berbaurnya antara dirinya sebagai subyek pelaku sekaligus obyek yang harus diteliti. Keadaban mengalahkan kebiadaban. Orang-orang di belahan bumi bagian Barat sedang memasuki era pencerahan pada abad ke 17, literasi di berbagai bidang kehidupan dikembangkan.
Hal pertama yang dilakukan oleh Eropa di era pencerahan adalah membangkitkan kembali cerita, dongeng, epik, dan mitologi Helenisme dan Romawi. Eropa menggali kembali dongeng-dongeng masa lalu nenek moyang mereka, yang dipandang oleh mereka sebagai manusia yang telah menempati puncak evolusi. Dari cerita masa lalu dan dongeng-dongeng yang dibahasakan kembali ini telah melahirkan sikap superioritas, klaim dari mereka sebagai ras unggul, bangsa pilihan, dan tentu saja sebagai bangsa pilihan harus dapat membuktikannya dengan melahirkan kreasi-kreasi yang telah dihasilkan oleh nenek moyang mereka pada ribuan tahun lalu. Mereka mendapatkan kembali informasi tentang kemashuran peradaban Yunani dan Romawi tersebut dari buku-buku yang telah diterjemahkan dari Bahasa Yunani dan Romawi oleh para sarjana dan ulama Muslim. Eropa membuka diri terhadap pemikiran yang dikembangkan oleh para sarjana dan ulama Muslim tersebut. Sikap terbuka merupakan jendela masuk berkembangnya literasi di Eropa. Pada akhirnya penemuan-penemuan pun menjadi ciri khas Eropa pada abad ke-17 dan pengaruhnya berlangsung hingga sekarang.
Eropa secara telaten menjadikan dongeng kejayaan Yunani dan Romawi sebagai basis pengajaran pertama keluarga dan masyarakat kepada anak-anak mereka. Anak-anak di Eropa pada abad pertengahan dan abad kegelapan hanya diberika kisah purgatorium, pembersihan jiwa-jiwa kotor di neraka, kisah-kisah manusia di kerajaan Tuhan, dan itu ada pada dimensi masa depan. Dalam pandangan kaum agnostic dongeng-dongeng seperti itulah yang telah meracuni pikiran anak-anak Eropa lalu melemparkan mereka ke jurang kejumudan berpikir dan berkreasi sebab dalam dongeng berbentuk dogma tersebut siapapun dilarang untuk bertanya dan kritis.
Anak-anak Eropa disuguhi cerita betapa gagah perkasanya Aechiles pahlawan Perang Troya, seorang manusia setengah dewa. Mereka juga mengisahkan kemashuran Alexander dari Makedonia, seorang raja, penakluk, sekaligus filsuf karena merupakan murid dari Aristoteles. Mereka menerima dongeng tentang keperkasaan Hercules anak Zeus yang menjelma menjadi manusia fana tetapi dapat mengalahkan dewa-dewa dan raksasa-raksasa. Mitologi Romulus dan Remus diceritakan oleh para orangtua kepada anak-anak Eropa. Kesemuanya itu diawali dengan penerbitan ulang berbagai buku cerita yang telah disadur agar cerita dan dongeng mudah dicerna oleh anak-anak. Hasil dari “ngadongéng” adalah tumbuhnya kesadaran dalam diri mereka kepedulian terhadap bangsanya sendiri,patriotisme, dan rasa bangga sebagai diri sendiri, meskipun dalam beberapa babak sejarah saat sikap tersebut diyakini secara berlebihan telah melahirkan rasisme, kolinialisme, perbudakan, dan fasisme (contoh: Perang Dunia I dan II).
Remaja-remaja Eropa abad pencerahan disuguhi pandangan-pandangan para sarjana Yunani. Sebelumnya mereka hanya disuguhi kisah pertempuran saat perang salib, dipaksa agar membenci keyakinan orang lain, dan kelompok di luar mereka. Perubahan padangan (ide) besar-besaran dilakukan oleh sekolah-sekolah. Mereka mulai mengenal kembali Socrates, Plato, dan Aristoteles. Perguruan tinggi memformulakan rumus kemajuan bagi remaja dan pemuda-pemuda Eropa. Wahyu dan firman Tuhan dalam kitab suci mereka reinterpretasi atau ditafsirkan ulang agar lebih relevan dengan kehidupan. Mereka sama sekali tidak mengenyahkan kitab suci (Gospel), mereka menafisirkannya sesuai dengan relevansi. Bagi kalangan gereja tentu saja hal ini merupakan bentuk penyimpangan atau bidah tetapi hal-hal yang dipandang penyimpangan sama sekali tidak berlaku dalam konteks ilmu dan pengetahuan. Para sarjana dan ilmuwan Eropa hanya memperkenalkan rasional dan irrasional, sahih dan cacat melalui kajian dan metodologi bukan terletak pada ayat-ayat dalam kitab suci secara tekstual.
Spiritualitas Eropa berkembang dari stagnan ke dinamis. Cara pandang terhadap neraka dan sorga mereka adaptasi dari karya Dante Alighieri :Divina Commedia. Melalui karya ini masyarakat Eropa telah berusaha memindahkan konsepsi kegaiban neraka dan sorga kepada konsep yang seolah kasat mata dan menyertai kehidupan mereka di dunia. Selanjutnya mereka mengenalkan konsepsi: all'alta fantasia qui mancò possa, Tuhan sama sekali tidak terjangkau oleh fantasiku. Kalimat ini dapat saja diartikan, Eropa mulai memosisikan Tuhan sebagai basis dari spiritualitas semata, harus dipisahkan dari kehidupan materi. Sejarah Eropa dan kemajuan peradaban manusia selalu berbanding lurus dengan kegiatan literasi yang dikembangkan adalah merupakan satu keniscayaan.
Ngadongéng Sunda
Salah satu kegiatan literasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Sukabumi adalah Nadongéng Sunda. Satu kegiatan penyampaian dongeng yang telah lama berkembang di masyarakat Sunda kepada khalayak. Ideal yang hendak dicapai dari kegiatan ini untuk mengembalikan kembali literasi ngadongeng dan bercerita oleh para orangtua kepada anak-anaknya. Sebab bagaimana pun, kita harus mengakui bahwa kegiatan ngadongeng dan bercerita ini sudah menjadi hal yang jarang dilakukan oleh para orangtua. Penyebabnya antara lain; pembiasaan literasi dalam bentuk ngadongeng sudah kurang memasyarakat lagi, adanya transisi budaya yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan informasi, orangtua dan anak-anak ada kecenderungan lebih memerdulikan gadget dan lebih banyak menyerap informasi secara langsung dari media (youTube) daripada harus berbicara dan mendengarkan, segala tetek-bengek!
Program literasi ngadongéng Sunda ini sebenarnya telah penulis bahas bersama Dinas dan Kearsipan Kota Sukabumi sejak beberapa tahun lalu. Inisiasi ini diawali oleh beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan antara lain; pasanggiri ngadongéng tingkat Kota Sukabumi, biantara Basa Sunda dalam acara jambore literasi tahun 2018, dan pada tahun ini diselenggarakan Road-Show Ngadongéng Sunda. Penyelenggaraan ngadongéng Sunda ini sejalan dengan salah satu misi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Sukabumi dengan bidikan utama mewujudkan ketahanan keluarga –salah satunyanya- dengan peningkatan literasi di keluarga.
Menceritakan dan mendongéngkan kembali cerita dan kisah yang bersentuhan langsung dengan lokalitas akan menumbuhkan kebanggaan anak-anak dan generasi muda terhadap bahasa ibu dan budaya yang menyertai kehidupan mereka. Lebih jauh lagi, mereka akan menyerap informasi tentang leluhur, nenek moyang, atau karuhunnya dan bersentuhan langsung meskipun melalui folklore dan cerita rakyat. Kebanggaan tersebut memang harus tumbuh dalam diri anak-anak agar generasi mendatang dapat terhindari dari wabah inferioritas, sikap minder berlebihan, dan rendah diri. Sebuah bangsa akan maju hanya jika dihuni oleh generasi-generasi yang tumbuh kemandirian, mengakui dirinya sebagai bagian dari lokalitas, dan menghargai jejak-jejak leluhurnya. Maka, ceritakan dan dongengkanlah cerita rakyat dan kisah-kisah yang telah lama berkembang di masyarakat kita agar anak-anak kita lebih bangga kepada Sangkuriang daripada Batman.
Radar Sukabumi, 31 Juli 2019
Audio Dongeng Sunda
Dongeng Kean Santang
Dongeng Nyimas Cai Wangi
Posting Komentar untuk "Literasi Ngadogeng Sunda"