Pelajaran dari Sukrasana

Sriwedari

Orang ateis  akan mengangkat bahu saat membaca tulisan ini. Pendekatan 'paralogis' menjadi landasan dasar saya dalam memaparkan judul di atas. Meskipun bukan ahli agama, sastrawan, dan ahli pada bidang-bidang lainnya paling tidak, pemaparan tulisan dengan kajian 'paralogis' -istilah hiperboliknya di atas nalar- akan mudah dicerna sekalipun oleh manusia sederhana baik dalam pemikiran dan cara kita menarik kesimpulan. Kajian semacam ini merupakan metodologi penarikan kesimpulan yang pernah dilakukan oleh para filsuf kuno sampai era mandeknya pemikiran Eropa di abad pertengahan.

Sebagian dari kita mungkin telah mengetahui Sriwedari, orang Sukabumi mengenalnya sebagai nama salah satu kelurahan di Kecamatan Gunungpuyuh. Orang Solo mengenalnya sebagai  taman yang dibangun oleh Pakubuwana  X sekitar tahun 1877. Di dalam literatur Jawa Kuna seperti "Serat Arjunasasra" kata Sriwedari digunakan untuk menunjuk sebuah taman yang dibangun oleh Wisnu menyamai keelokan taman di surga. Beberapa tahun lalu, Sriwedari  digunakan oleh salah satu produsen rokok sebagai nama produknya.

Saya belum  melakukan penelitian , apakah ada alasan yang dapat menghubungkan antara kelurahan Sriwedari di Kota Sukabumi dengan taman Sriwedari di Solo? Hal ini tentu saja harus dijadikan bahan penelitian  baik secara akademik atau dilakukan oleh komunitas kasukabumian dan kesejarahan di kota ini. Korelasi yang nampak antara Sriwedari di Sukabumi dengan di Solo terlihat pada kondisi yang sama antara kedua tempat ini. Mengenai asal-usul penamaannya, sudah tentu taman Sriwedari di Surakarta itu lebih dulu dibangun daripada Sriwedari di Sukabumi.

Kedua tempat ini memiliki taman dan pepohonan yang sangat rimbun.  Orang Sukabumi akan merasakan nuansa berbeda saat berjalan-jalan di sekitar Setukpa Polri dengan saat berjalan di beberapa daerah di dekatnya. Sampai saat ini, nuansa taman sebuah ampiteater raksasa masih dapat dirasakan kehadirannya di sana. Bayangkan, diri anda berjalan menyusuri sepanjang trotoar di lokasi itu  pada suatu sore. Udara  hangat  dan cuaca cerah. Saya dapat memastikan, saat itu anda akan merasakan seolah sedang berjalan di sebuah taman, tepatnya di dalam surga, di antara himpunan bunga-bunga dan guyuran dedaunan akasia. Anda harus mencobanya sekali saja.

Sukrasana Moksa

Kata Sriwedari biasa digunakan dan disebut-sebut dalam cerita pewayangan untuk merujuk suatu taman yang dipersembahkan oleh Bambang Somantri. Tahun 2006, saya pernah menulis sinopsis ceritanya, sebuah pergumulan batin antara Somantri dengan adiknya. Sukrasana seorang manusia namun dirupakan sebagai seorang denawa kecil oleh Yang Maha Kuasa. Antara kakak dan adik memiliki rupa sangat berbeda secara diametral, Somantri dikarunia wajah tampan, postur tubuh ideal, ibarat para ksatria yang selalu dicitrakan oleh pikiran kita, tanpa cacat dan cela. Sukrasana merupakan manusia biasa, memiliki rupa yang buruk.

Sukrasana berhati bersih, dia jarang tampil di muka umum, tidak terlalu memerdulikan popularitas dan pujian dari siapa pun. Sikap tepa selira sangat tinggi, dia sangat menghormati Somantri dengan tulus. Dia jarang menemani kakaknya bukan karena 'minder' namun lebih memilih untuk menghormati Somantri. Dia tidak ingin orang-orang menggunjing atas kehadiran dirinya saat berdampingan dengan Somantri. Pandangan manusia selalu terpolarisasi, mereka akan bertanya-tanya: Kenapa Tuhan menciptakan dua sosok kakak dan adik tetapi memiliki fisik yang sangat berlawanan, Somantri gagah sedangkan Sukrasana buruk rupa?

Sukrasana berjanji kepada Somantri, dia akan selalu membantu kakaknya dengan cara apapun. Somantri diterima sebagai seorang ksatria di Maespati oleh Sasrabahu setelah menyelamatkan Citrawati yang diculik oleh orang-orang Magada. Kecantikan Citrawati telah memanjarakan pikiran Somatri, ia jatuh hati, dan ingin menikahinya. Satu  keinginan yang sangat sulit diwujudkan mengingat dirinya hanya seorang abdi dalem kerajaan. Sontak saja keinginan itu dianggap sebagai sikap kurang sopan oleh Sasrabahu.

Pertengkaran terjadi, Sasrabahu sebagai inkarnasi Wisnu mengubah dirinya menjadi seorang raksasa berhasil menginjak Somantri. Sasrabahu bersedia melepaskan Somantri dengan satu sarat,  ia harus membangun taman Sriwedari. Sarat itu disanggupi oleh Somantri. Peran penting Sukrasana dalam cerita ini yaitu dapat memindakan taman Sriwedari dari kayangan ke Masepati.

Poralisasi pikiran manusia yang selalu menjebak dirinya untuk menilai segala sesuatu antara baik dan buruk itu benar-benar menghantui Somantri. Saat Citrawati melihat sosok denawa sedang bersembunyi di balik pohon, ia berlari dan meminta Somantri mengusirnya. Pada saat itu Somantri berada pada persimpangan pikiran, mengeluarkan sebuah pengakuan bahwa sosok denawa itu adiknya atau mengusir Sukrasana. Polarisasi pikiran itu telah menempatkan Somantri sebagai seseorang yang memiliki kewajiban menghakimi daripada mengikuti kata hatinya. Ia mengarahkan Cakrabaskara kepada adiknya, tanpa disadari panah itu lepas dan tepat menancap pada jantung Sukrasana. Tragedi besar –terbunuhnya seorang adik oleh kakaknya, seperti yang pernah dikisahkan di dalam kitab-kitab suci- kembali terjadi.

Sukrasana  bergeming, ia kokoh, saat meregang nyawa satu untaian kalimat diucapkan olehnya. "Selamat tinggal dunia. Kehidupan yang selalu diliputi oleh kepalsuan. Kehidupan yang selalu dipenuhi oleh dualitas pikiran, baik dan buruk. Selama hidup, aku hanya dapat menyaksikan takdir dan kehendak-Mu. Melihat pentas-pentas yang diperankan oleh ciptaan-Mu. Aku akan pulang ke haribaan-Mu. Somantri, selamat tinggal!" Sukrasana meninggal dengan tulus, wajah dihiasi senyum, dia telah selesai memerankan sosok si Buruk Rupa dengan kebeningan jiwa.

Sukrasana Telah Hilang

Sapiens modern akan memandang cerita pewayangan tidak jauh berbeda dengan cara mereka memandang kisah leluhurnya sebagai mitos. Begitulah cara pandang kita terhadap masalah-masalah nir-nalar. Walaupun dalam praktiknya –antara cara nir-logis dengan cara manusia modern melakukan sesuatu- tidak jauh berbeda. Jika Sukrasana dapat memindahkan taman Sriwedari melalui teknologi teleportasi, maka orang-orang modern mewujudkannya melalui berbagai kajian dan analisa tata ruang, berusaha membangun taman-taman Sriwedari itu.

Manusia modern –disebutkan oleh Yuval Noah Harari sebagai homo-deus- berusaha memindahkan imaji atau citra surgawi di alam kekinian. Taman kota dan alun-alun dibangun. Teknologi teleportasi a la Sukrasana dibumikan dalam format baru bernama regulasi, aturan main, dan kebutuhan warga terhadap hadirnya taman. Melalui kejernihan batin dan hati Sukrasana dapat memindahkan taman Sriwedari ke dunia, manusia modern dapat membangun taman itu dengan anggaran, hasil pemikiran mereka di dalam gedung-gedung.

Tiga karakter yang termaktub dalam Serat Arjunasasra itu diperankan oleh manusia modern sebagai Sasrabahu, Somantri, dan Sukrasana. Di zaman ini, Sukrasana terwakili oleh sikap manusia-manusia biasa yang siap dan rela mengorbankan miliknya demi hasrat Sasrabahu mewujudkan taman Sriwedari. Siapa saja akan berdecak kagum saat Sriwedari telah terbentuk sebagai taman yang diwarnai keindahan, meskipun hanya sepintas saja.

Beberapa dekade lalu kita sering mendengar rakyat selalu dirugikan oleh kebijakan pembangunan, pelebaran jalan tanpa ganti rugi, sebab dalam diri mereka saat itu –terutama di era Orde Baru- merupakan sosok-sosok Sukrasana yang selalu merelakan miliknya dengan pertimbangan kebaikan bersama. Sekarang, sosok-sosok Sukrasana itu memang telah gugur dan akan jarang ditemui di dalam kehidupan. Manusia modern selalu memiliki anggapan, sebagai rakyat, akulah pemegang kedaulatan tertinggi, aku dapat berbicara apa saja, menurut aku benar itulah kebenaran. Sukrasana memegang teguh janji yang telah diucapkannya:  "selamat tinggal dunia…".

Posting Komentar untuk "Pelajaran dari Sukrasana"