Dalam film tahun 1985 yang mengisahkan perjalanan dakwah Walisongo di tanah Jawa kita dapat melihat beberapa adegan pertarungan antara Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga. Format pertarungan itu dipertontonkan dalam bentuk ngadu jajatén, adu kesaktian.
Film yang diproduksi pada era Orde Baru ini memang sebatas hiburan namun dipengaruhi oleh peran kuat pemerintah dalam mengendalikan setiap hiburan yang dipublikasikan kepada masyarakat.
Pesan tersirat kemenangan Sunan Kalijaga atas Siti Jenar memiliki dua sisi. Pertama, kemenangan Raden Said merupakan kemenangan penguasa atas masyarakat biasa. Kedua, kemenangan itu merupakan semakin mengokohkan kekuatan jawasentris dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Padahal, kondisi sebenarnya, apa yang terjadi pada abad ke-15, kisah kontroversial Siti Jenar dan pertentangan ajarannya dengan ajaran yang dikembangkan oleh para wali sama sekali luput dari catatan sejarah dan sampai saat ini masih menjadi polemik.
Dalam sudut pandang kekuasaan, tentu saja para wali yang lebih dekat dengan kekuasaan akan lebih mendapatkan perhatian lebih dari penguasa saat itu. Hubungan timbal balik antara pranata politik dengan agama tidak hanya berlangsung di abad ke-15 dan di Nusantara saja.
Sejak zaman dahulu simbiosis mutualisma ini telah terjalin erat. Kekuasaan Mesir Kuno menjalin sel-sel kekerabatan antara para penguasa dengan para imam keagamaan Mesir Kuno. Ajaran yang tampak nyeleneh akan langsung diberangus tanpa ampun.
Hukuman bagi pembangkang keyakinan selain dibakar hidup-hidup juga dapat dipenggal kepala. Kekuasaan dan kemapanan keagamaan memandang ajaran-ajaran nyeleneh dan di luar kebiasaan umum merupakan virus yang harus dibasmi.
Jika saja mata batin kita dapat membuka diri dalam memandang kisah Siti Jenar dengan Sunan Kalijaga maka akan melahirkan pandangan jernih. Dalam tradisi masyarakat Nusantara telah tercipta kesantunan, seseorang yang lebih muda seperti Sunan Kalijaga (Lahir tahun 1450 M) tidak akan pernah melakukan tindakan asusila kepada Siti Jenar. Apalagi Siti Jenar ini merupakan seorang wali yang dipandang paling berilmu di antara wali-wali lainnya.
Pertengkaran antara seorang anak muda dengan orang tua merupakan perbuatan asusila dalam tradisi Nusantara.
Tetapi kekuasaan dan politik dalam sejarah perkembangannya bukan pranata tempat penggemblengan etika, moral, dan sikap. Suatu hari Socrates diajak untuk membuka lembaga pendidikan oleh penguasa saat itu. Tanpa sungkan dan takut Socrates menolak tawaran tersebut. Socrates mendirikan akademia, sebuah sekolah kehidupan tanpa sekat dan bangunan. Sikapnya telah membuat kelompok tyranoi sakit hati, Socrates dipenjara dan dipaksa meminum racun.
Penolakan Socrates bukan berarti dia membenci kekuasaan melainkan agar pranata pendidikan benar-benar terbebas dari tindakan politik praktis. Lembaga pendidikan jika telah disusupi oleh para aktor politik tidak akan dapat melahirkan filsuf yang jernih dan obyektif dalam memandang kehidupan.
Siti Jenar merupakan seorang sufi. Kondisi masyarakat saat itu terbelenggu oleh kerakusan kaum elite yang menempatkan diri mereka sebagai kelompok aristokrat. Pengkastaan yang telah lama berkembang di Nusantara diubah menjadi pranata sosial penindasan.
Di Nusantara telah berkembang enam kasta, oleh para penguasa transisi pascamajapahit dikerucutkan menjadi dua kasta: kawula dan gusti. Dalam pandangan Siti Jenar, terpisahnya kawula dan gusti dalam tatanan kehidupan ini telah mengakibatkan kebobrokan dalam tubuh kerajaan dan kaum elite-nya. Pada sisi lain telah melahirkan ketakutan di dalam kehidupan kawula. Ketika manusia telah merasa sebagai pemegang kekuasaan (gusti) akan semakin semena-mena terhadap para kawula yang dihinggapi paranoia akut.
Menurut Siti Jenar, kehidupan harus harmonis, diperlukan pandangan Manunggaling Kawula Gusti dalam tatanan sosial. Kaum elit bangsawan harus duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan para kawula dan jelata.
Para elite kekuasaan saat itu merupakan orang-orang transisi antara saat runtuhnya kemasyhuran Majapahit dengan berdirinya kerajaan Islam di Jawa sudah pasti bertolak pikiran dengan Siti Jenar.
Dalam pandangan mereka, masa transisi merupakan saat yang tepat untuk merebut dan tampil sebagai peguasa (gusti) atau sebaliknya, kekuasaan akan direnggut oleh orang lain.
Konversi atau perpindahan keyakinan dari agama Hindu ke Islam merupakan satu keberhasilan cara para wali dalam mendakwahkan substansi ajaran Islam. Sudah tentu cara-cara dakwah akomodatif ini dilakukan oleh para wali, salah satunya Siti Jenar dengan mengamati suasana batin atau psikologi masyarakat saat itu.
Masyarakat biasa (kawula) didominasi oleh para penganut kapitayan akan mudah menerima Islam karena kedua ajaran ini memiliki hubungan organis dalam konsep teologisnya, ketauhidan.
Tetapi bagi orang-orang yang telah lama menduduki jabatan tertentu sebagai pemegang kekuasaan di dalam kerajaan, cara dakwah ditempuh melalui dialog panjang. Sebagai contoh: Washil Ibn Atho' seorang pendiri gerakan Mu'tazilah dapat mengislamkan 6000 orang penganut Zoroaster (Majusi) setelah terjadi diskusi panjang antara dirinya dengan kaum elite Persia saat itu.
Siti Jenar pun melakukan hal yang sama, kepada masyarakat dan kaum elit di Jawa, ia menempuh cara dakwah melalui pendekatan personal. Mendiskusikan kedudukan manusia di dunia. Kepada kaum elite - orang-orang yang di kemudian hari akan tersingkirkan dari wilayah kekuasaan- Siti Jenar mengajarkan bahwa sudah saatnya manusia kembali kepada kematian.
Menjadi manusia biasa yang menginjak "lemah/tanah", bersatu kembali dengan para kawula. Siti jenar lebih mengutamakan mengenalkan substansi Islam kepada kelompok ini alih-alih memperkenalkan Islam dalam bentuk formal.
Dinamika cara memperkenalkan atau mendakwahkan ajaran Islam seperti di atas sebetulnya bukan hal baru.
Para Rosul telah menempuh langkah seperti Siti Jenar saat mendakwahkan ajaran kebaikan. Musa –saat itu merupakan orang yang biasa hidup bergelimang kemewahan- menerjunkan diri memasuki getho-getho daerah kumuh bangsa Yahudi di Mesir, bercengkrama dengan manusia yang dipandang sebagai budak oleh penguasa Mesir.
Gauthama seorang anak penguasa yang bergelimang kemewahan membuka jubah emasnya, turun langsung menyapa masyarakat miskin di balik dinding tebal kekuasaan. Nabi Muhammad bersentuhan langsung dengan para 'abid (budak), kelompok marjinal, dan masyarakat tertindas di Mekah.
Ajaran kebaikan yang didakwahkan oleh orang-orang baik itu menyiratkan hal hakiki dalam kehidupan: konsep musawwa, manunggaling kawula gusti, kebersamaan dan persamaan manusia sebagai mahluk di dunia. Hanya dengan sikap seperti ini, manusia memandang manusia lainnya sebagai manusia yang akan melahirkan kedamaian dalam kehidupan.
Namun, kekuasaan tidak memandang demikian. Segala apapun termasuk agama dan ajaran kebaikan dalam kekuasaan selalu ditempatkan sebagai piranti atau alat untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Sebab dalam konsepsi kekuasaan, manusia unggul merupakan perwakilan Tuhan di dunia, dapat bertindak apa saja atas nama Tuhan. Konsepnya sangat gamblang, harus ada yang memerintah dan diperintah.
Sementara, dalam pandangan para nabi, rasul, sufi, dan filsuf, dunia ini bukan tempat manusia saling memberikan perintah dan diperintah oleh orang lain, manusia merupakan mahluk merdeka, saling menghargai kemerdekaannya tanpa menihilkan kemerdekaan orang lain. Jika pandangan seperti ini telah tertanam dalam setiap manusia, kehidupan akan lebih teratur, manusia akan mengerti tugas utamanya dalam kehidupan.
Secara personal, baik Siti Jenar, Sunan Kalijaga, dan para wali lainnya pada akhirnya benar-benar mengakui bahwa konsep dasar dalam kehidupan adalah terciptanya harmonisasi, kerukunan, ketentraman, dan kematian dur angkara. Sunan Kalijaga menciptkan Kidung Wahyu Kolosebo dalam memandang kehidupan merupakan aplikasi ajaran agama dalam bentuk budaya, seperti halnya Siti Jenar memandang kehidupan sebagai Jiwanggo kalbu, samudro pepuntoning laku // Tumuju dateng Gusti, Dzat Kang Amurbo Dumadi // Manunggaling kawulo Gusti, krenteg ati bakal dumadi // Mukti ingsun, tanpo piranti.
Posting Komentar untuk "Siti Jenar dan Raden Said"