Banjir Balandongan


Banjir, sebetulnya ini jarang terjadi di Sukabumi, menerjang Balandongan dan perkampungan sekitarnya pada hari Minggu, 10 Mei 2020. Air benar-benar melimpah ruah dari terminal Lingkar Selatan sampai kampung Pangkalan.

Pemukiman warga Balandongan RT 04 RW 05 sebelumnya tidak pernah dilanda banjir ikut mendapatkan bagian bencana "urban" tersebut. Beberapa warga tidak bisa menyembunyikan rasa heran, sambil memotret rumah dan lingkungan yang tergenangi air, mereka berserapah, kemudian mengunggah potret ke dalam media sosial.

Beberapa kolam ikan milik warga jebol, ikan-ikan lepas, seolah terbebas dari penjara, berenang ke tempat yang lebih luas. Barangkali, begitu pikiran para ikan. Anak-anak berhamburan membawa "ayakan" dan lamit, mereka menangkap ikan. Bagi siapa pun, ikan dari kolam yang telah lepas ke alam bebas telah menjadi milik bersama.

Sama halnya dengan para preman yang berani memalak para pedagang di pasar tradisional yang tanpa perlindungan atap. Toh, kita jarang mendengar ada preman yang berani memalak pasar swalayan, super market, mini market, dan pasar modern yang memiliki bangunan raksasa.

Kehebohan di tengah banjir

Kembali ke permasalahan banjir, di Balandongan Wetan ada kehebohan, uang seorang pedagang ayam sebesar Rp 10 juta terbawa banjir. Warga dengan antusias membantu pedagang itu mencari-cari ke mana larinya uang yang dibungkus dengan kantong kresek itu? Nasib pedagang ayam masih terbilang mujur, kantong kresek berisi uang sepuluh juta dapat ditemukan, menyempil di sela-sela ranting di pinggir selokan.

Tidak jauh berbeda dengan Balandongan, air dari selokan benar-benar meluap sampai ke jalan. Polsek Lembursitu bersama warga Cipanengah terpaksa menutup jalan Merdeka dari arah Santiong dan Tegallaya supaya tidak dilalui pengguna jalan. Arus banjir cukup deras dengan ketinggian di atas lutut, terlalu berisiko untuk dilalui.

Teman-teman mempunyai asumsi beragam terhadap banjir

Asumsi dan pandangan orang-orang terhadap banjir dadakan ini sangat beragam. Teman saya mengatakan, banjir ini disebabkan selokan yang menyempit, bagian atas selokan dibeton oleh beberapa warga, di atasnya didirikan bangunan. Jelas sekali, pendirian bangunan dengan cara dibeton di atas selokan merupakan perbuatan ilegal. Selokan bukan milik pribadi seseorang meskipun dia memiliki lahan di bantarannya. Membangun rumah di atas selokan sama saja dengan mendirikan bangunan di tengah jalan.

Teman saya yang lainnya memberikan pandangan lain, banjir ini disebabkan oleh hujan yang turun sangat deras, di luar kebiasaan. Hal ini terdengar cukup aneh juga, kenapa hujan deras mengakibatkan banjir? Sejak saya kecil, belum pernah mengalami kejadian banjir melanda Balandongan meskipun hujan turun dengan deras.

Bagaimana dengan resapan air? Semakin berkurangnya tanah resapan akibat betonisasi oleh manusia sendiri dapat saja menjadi salah satu penyebab banjir. Air seharusnya meresap ke dalam tanah, karena permukaan tanah telah dibeton akhirnya mengalir ke tempat lebih rendah, debitnya bertambah, kemudian meluap.

Ngabuburit di saat banjir

Tapi bagi kaum ibu, banjir tetap disambut dengan suasana hangat penuh canda. Sambil membersihkan lantai rumah dari endapan banjir, seorang ibu berkata: "Wah, ieu mah itung-itung ngabuburit bae, sabari nungguan adzan magrib!"*)

Sebenarnya, banjir tidak hanya dialami oleh warga Balandongan dan sekitarnya, di beberapa kecamatan juga mengalami hal yang sama. Wilayah perbatasan kota kabupaten di sebelah tenggaran (Terminal Jubleg) dilanda banjir akibat air dari Sungai Cimandiri meluap ke areal terminal dan jalan. Saya mendapatkan kabar tersebut dari seorang teman, bahkan melengkapinya dengan sejumlah foto.

Sudah tentu heran, wilayah-wilayah yang jarang diterjang banjir pun sekarang mulai akrab dengan kosa kata yang sangat popular di kota-kota besar di tahun 70-80an: Banjir. Orang kampung, seperti saya, ketika kecil hanya mengenal banjir dengan kosa kata "caah", itu pun hanya terjadi di selokan ketika hujan. Ketika anak-anak, kosa kata banjir lebih sering saya lihat dan baca di media cetak seperti Pos Kota, lebih dari itu hanya mendengarnya dari ajengan di kampung ketika mengisahkan banjir di zaman Nabi Nuh.

Pertanda akhir zaman kah?

Menghadapi hal apa pun tentu harus dicerna secara rasional. Akhir-akhir ini, terutama di media sosial, kita sering disuguhi istilah-istilah mentereng oleh beberapa pihak yang begitu cinta kepada keyakinan akan datangnya hari akhir. Fenomena alam yang terjadi , sebetulnya merupakan hidangan alamiah, selalu mereka asumsikan semakin dekatnya kehidupan ini dengan hari akhir.

Abnormalitas banjir yang melanda daerah-daerah yang sebelumnya tidak pernah dilanda air bah ini juga selalu tidak luput dari asumsi dan sorotan kelompok ini. Banjir dan mala petaka lainnya sering dipandang tanda-tanda akhir zaman. Apalagi jika disandingkan dengan pandemi Covid-19, lengkap lah asumsi makin dekat akhir zaman dengan kita. Tempo hari ada yang berasumsi dengan penuh percaya diri: kiamat akan terjadi pada 15 Ramadlan, prediksi itu melesat lagi setelah delapan atau sembilan tahun lalu dunia dihebohkan oleh isu armagedon atau akhir alam semesta pada 12 Desember 2012 berdasarkan penanggalan kalender suku Maya.

Penganut keyakinan, terutama yang bersumber dari narasi Ibrahimiyyah, telah menjadikan kedatangan hari kiamat sebagai landasan keyakinan atau salah satu rukun iman, wajib diyakini. Memang benar, apalagi jika melihat kepada teori big bang, alam semesta ini ternyata mengembang, benda-benda angkasa yang berjalan pada orbitnya itu lambat laun akan lepas karena semakin mengecilnya gaya gravitasi.

Tidak hanya itu, milyaran bintang telah meredup, lalu mati, tidak memancarkan cahaya lagi. Tentu saja, jika merujuk kepada teori alam semesta yang mengembang ini, akhir alam semesta akan terjadi, namun dapat saja terjadi milyaran tahun ke depan. Di dalam kosmologi Hindu yang pernah saya baca lebih dahsyat lagi, satu siklus kehidupan alam semesta ini ternyata bisa berumur sampai 300 milyar tahun. Setelah itu, alam semesta baru akan lahir kembali, terus-menerus.

Mengingat salah satu fitrah manusia selalu berbeda pandangan, keyakinan, dan tetek bengek lainnya, tidak aneh bagi kita ada orang atau pihak-pihak tertentu yang selalu menghubung-hubungkan fenomena atau persitiwa alam termasuk di dalamnya bencana, bahwa kesemuanya merupakan tanda alam akan segera berakhir. Rata-rata, hal ini dikemukakan oleh penganut teori flat-earth, bumi datar, atau para penggemar teori konspirasi.

Saya bukan nabi, maka berpikirlah lebih manusiawi

Saya tidak ingin bermanja-manja dengan ramalan, prediksi, hingga view of prophecy, sebab agama sama sekali tidak dilahirkan dari kelompok penganut bumi datar. Ayat-ayat akhir zaman atau kiamat dalam Quran merupakan ungkapan yang agung, dipenuhi oleh metafora, sekaligus sebagai satire bagi orang-orang Mekah yang menafikan hari kemudian (akhirat). Masyarakat kapitalis kuno seperti orang-orang Mekah di era jahiliyyah adalah mereka yang benar-benar menafikan beragam fenomena supranatural. Memang tidak semua, namun mayoritas mereka, terutama para saudagar Mekah yang kaya raya itu selalu bertanya-tanya: apakah mungkin daging yang telah hancur dan tulang-belulang yang telah terpisah-pisah itu bisa dihidupkan lagi? Mereka terkekeh, girang, lantas menyebut bahwa sang Nabi sedang menceracau kayak orang gila!

Kita adalah orang-orang yang telah mengaku tercerahkan, modern, berpikiran maju, dan berwawasan luas seluas Samudera Hindia, tentu dapat menarik kesimpulan melalui penalaran jernih: kenapa akhir-akhir ini banyak bermunculan keganjilan, misalnya banjir di daerah yang dulu sama sekali tidak pernah mengalaminya? 


*) Wah, anggap saja ini ngabuburit sambil menunggu kumandang adzan magrib.

Posting Komentar untuk "Banjir Balandongan"